Artikel

Islam Laknatan lil ‘Alamin

Jika rakyat Amerika hingga hari ini belum bisa sembuh sepenuhnya dari trauma “9/11”, maka entah sampai kapan rakyat Indonesia akan juga sembuh dari trauma “4/11”, yang sejak tahun 2016 lalu “menghangatkan” suasana batin bangsa ini.

Sebab meski ada banyak faktor yang menjadikan kedua peristiwa ini berbeda secara konteks, tetapi aroma politik yang melatari dan sensitivitas rakyat sebelum dan sesudahnya boleh dibilang serupa, meski tak sama persis.

Trauma itu bernama fobia, yang melahirkan anak kembar bernama prejudis dan stigma, terhadap Islam.

Trauma masyarakat Amerika menyeruak kembali pasca terpilihnya Donald Trump sebagai presiden yang baru pada 9/11 tahun 2016, yang memenangkan lima puluh persen plus satu electoral treshold.

Pasalnya, Trump sering sekali secara lugas mengungkapkan ujaran kebencian dan ketidaksukaannya terhadap Islam dan para penganutnya, dalam berbagai pidato kampanyenya di masa pra pemilu. Lalu setelah menjabat sebagai presiden, ia juga berulangkali menerapkan kebijakan yang menyudutkan dan mendiskreditkan Islam.

Sementara itu, bagi bangsa Indonesia, aksi protes massa Islam atas pernyataan Basuki Cahaya Purnama alias Ahok di 4/11 tahun 2016, menjadi titik didih dari serangkaian episode demonstrasi dan aksi, yang bersinggungan secara langsung dengan peristiwa politik baik sebelum maupun sesudahnya.

Peristiwa itu seolah juga menjadi titik kulminasi pemicu eskalasi suhu politik selama dua musim pemilu di Indonesia. Polarisasi agamis vis a vis nasionalis yang pernah terjadi di periode awal konstelasi politik Indonesia pasca kemerdekaan, kembali menyeruak selama hampir satu dekade ini.

Peristiwa 4/11 yang juga dikenal sebagai “Aksi Bela Al-Quran” itu, secara langsung maupun tidak berdampak sistemik pada eskalasi kebencian atas nama Islam di Indonesia. Hari ini di Indonesia, boleh dikata, segala ihwal yang berbau Islam, seolah bau busuk saja adanya.

Ini adalah soal citra. Soal bagaimana orang melihat Islam di satu sisi, dan mendapati ekspresi para penganutnya di sisi yang lain. Soal bagaimana orang bercakap “katanya begini tapi nyatanya begitu” tentang Islam dan para penganutnya.

Sebab, sepanjang bicara soal konsep ideal, rasa-rasanya tidak ada seorang pun yang dapat memungkiri ketika Islam disebut sebagai agama yang cinta damai, agama yang humanis, dan sederet sebutan senada lainnya. Semua pasti serujuk sependapat dalam hal ini.

Akan tetapi, konsep ideal itu tampaknya berseberangan dengan citra yang ditampilkan oleh sebagian para penganutnya.

Sebagian itu artinya tidak seluruhnya. Bahkan boleh jadi hanya kecil, dihitung dari segi jumlah. Tetapi menjadi besar jika diukur dengan takaran pepatah, “karena nila setitik maka rusak susu sebelanga”.

Jika sudah menyangkut soal yang faktual dan yang aktual, kita harus berlapang dada untuk juga tak memungkiri, bahwa konsep ideal itu tak selalu sejurus dengan apa yang dipraktekkan oleh sebagian penganutnya di dalam kenyataan kehidupan.

Islam yang unggul dan tak tertandingi keunggulannya (al-Islamu ya’lu walaa yu’la alaih), nyatanya tak sepenuhnya terefleksikan dalam perikehidupan para penganutnya. Agama yang menjadi rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin) itu, nyatanya tak seluruhnya teraktualisasikan dalam  kehidupan umatnya.

Islam yang ideal tidak berbanding lurus dengan Islam yang faktual, karena dikangkangi oleh orang Islam itu sendiri (al-Islamu mahjubun bil muslimin).

Wajah Islam yang identik dengan nilai-nilai inklusif, toleran, demokratis, santun, dan ramah, terhijab dengan sendirinya oleh perilaku umatnya yang eksklusif, intoleran, suka marah-marah, dan bahkan beringas. Ditambah lagi oleh perilaku amoral sebagian kalangan yang menyebut dirinya sebagai ustadz, ulama, kyai, atau pun habib, dalam kehidupan seks, politik, maupun ekonomi mereka.

Karena itu, tak salah kiranya jika dalam sebuah kesempatan wawancara, Samir Nasri, pesepakbola dari tim nasional Prancis, dengan nada ironis menyatakan, “If you want to learn about Islam, go study Islam, don’t study the Muslims! Islam Is perfect, muslim are not!”.

Jika ingin belajar tentang Islam, maka pelajarilah ajarannya, jangan mempelajari penganutnya. Islam itu sempurna, tapi penganutnya tidak. Demikian kira-kira.

Pada skala yang lebih besar dan global, ada banyak satire, atau boleh dikata anomali, dalam hal kesenjangan antara idealitas Islam dan realitas dunia muslim. Antara lain dalam bentuk pemandangan keadaan negara-negara mayoritas muslim, atau bahkan yang secara konstitusional dideklarasikan sebagai negara Islam, kalau kemudian diperbandingkan dengan keadaan negara-negara yang oleh sebagian kalangan muslim dituding sebagai negara kafir, liberal, ateis, dan seterusnya.

Sebab konon misalnya, atas dasar tidak satu dua penelitian akademis, nilai atau rasa kedamaian dan kesejukan, yang itu adalah cita ideal Islam, justru ditemukan tidak di negara-negara Islam, tapi justru di negara-negara yang dituding kafir-liberal-ateis itu.

Satire yang paling menyakitkan adalah adanya kenyataan bahwa para penyintas dari negara-negara Islam yang berada dalam situasi kecamuk konflik dan perang saudara yang tak ada ujungnya itu, justru hijrah ke negara-negara Eropa yang dicap kafir-liberal-ateis itu, dan tidak ke negeri-negeri “saudara” mereka sendiri yang subur-makmur semacam Qatar, Dubai, atau Uni Emirat Arab.

Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk bisa memperpendek, untuk tidak berutopia menghilangkan sama sekali, jarak antara yang ideal dan yang aktual itu? Apa yang bisa kita usahakan bersama untuk membangun kembali citra Islam dan kaum muslimin supaya sesuai dengan cita-cita idealnya?

Kalau pun tidak bisa di tingkat global, setidaknya bagaimana peran itu bisa dilakukan di negeri sendiri. Atau yang paling mungkin, dari tingkat yang sangat lokal dan domestik, yakni lingkungan keluarga dan sanak kerabat terdekat.

Kata Edmund Burke, seorang filosof asal Irlandia di abad ke delapan belas, “The only thing necessary for the triumph of evil is that for good men do nothing”. Kejahatan akan merajalela dengan mudahnya jika orang baik tak melakukan apa-apa.

Sebagai sebuah Gerakan Pembaharuan yang mempunyai visi kemenangan Islam (fathi islam) melalui jalan dakwah yang santun dan mulia, dengan jargon “Membela dan Menyiarkan Islam dengan Keindahan”, Gerakan Ahmadiyah Indonesia sudah semestinya semakin menegaskan perannya di tengah situasi Indonesia dan dunia semacam ini.

Bukankah misi utama kita adalah melahirkan pribadi muslim ideal sesuai ajaran Qur’an Suci dan selaras dengan sifat jamali Nabi Suci (ahmadiyyah), yang dalam bahasa resmi qanun asasi gerakan yang kita sepakati berbunyi, “menegakkan Kedaulatan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, agar umat Indonesia mencapai keadaan jiwa (state of mind) atau kehidupan batin (inner life) yang disebut salam (damai).”

Jika bukan kita, siapa lagi yang bertugas memunculkan Islam sebagai agama yang menebar perdamaian, dan bukan permusuhan. Kalau bukan sekarang, kapan lagi Islam ditampilkan sebagai agama santun dan toleran, dan bukan agama kekerasan?

Kalau kita tetap berdiam diri saja, boleh jadi Islam akan terus hadir tidak sebagai agama rahmatan lil alamin, melainkan sebagai laknatan lil alamin!

Atau, jangan-jangan, kita ini pengikut kaum ashabul-kahfi?

 

Oleh: Asgor Ali

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »