Artikel

Islam Indonesia di Era Millenial: Strategi Dakwah di Level Nasional

Latar Belakang

Agama Islam dengan pemeluk terbesar di muka bumi ini tidak berkembang dengan sendirinya, tetapi para nabi terdahulu hingga Nabi Muhammad saw. telah mendakwahkan ajaran yang turun dari Allah kepada para keluarga, sahabat dan pengikut beliau. Dakwah Nabi Nuh (QS Al-A’raf : 59 dan Al-Akabut :14), Dakwah Nabi Hud (QS Al-A’raf : 65), Dakwah Nabi Shaleh (QS Hud : 61), Dakwah Nabi Luth (QS Al-A’raf: 80-81), Dakwah Nabi Syu’aib (QS Al-A’raf:85), Dakwah Nabi Musa (QS At-Thaaha:43-44) , dan dakwah Nabi Isa dengan berbagai mukjizat semuanya ditujukan kepada golongannya.

Dakwah Rasulullah SAW tersirat di dalam Qur’an Suci sebagai berikut:

“Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah! dan pakaianmu bersihkanlah dan perbuatan dosa tinggalkanlah dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.” (QS Al Mudatsir : 1-7)

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (Al Hijr : 94).

Dakwah islam mencapai kejayaannya pada masa Rasulullah SAW ditandai dengan turunnya wahyu terakhir QS Al Maidah ayat 3: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agama bagimu”.

Hasil Dakwah rasulullah SAW ini  mulai redup ketika umat islam sendiri mulai meninggalkan sunnah nabi, melupakan syariat-syariat islam dan banyak melakukan kemaksiatan.

Melihat keadaan demikian, sebagian kaum muslimin merasakan sebagai musibah yang menimpa mereka. Mereka kembali bangkit menyadarkan kaum muslimin atas kelalaian yang mereka lakukan. Mereka berjuang kembali menghidupkan agama Islam. Tidak jarang mereka menggunakan kekerasan bagi mereka yang menentang. Setelah sekian lama, perjuangan mereka mulai menampakkan hasil. Umat Islam sadar dan kembali ke jalan yang benar.

 

Pengertian dakwah

Mengutip tulisan Prof. H. M. Arifin, M.Ed. yang menjelaskan bahwa dakwah  mengandung pengertian sebagai suatu kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku, dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mempengaruhi orang lain baik secara individual maupun kelompok agar supaya timbul dalam diri orang lain suatu pengertian, kesadaran, sikap penghayatan serta pengamalan terhadap ajaran agama sebagai message yang disampaikan kepadanya  dengan tanpa adanya unsur paksaan. Dengan demikian  maka esensi dakwah adalah terletak pada ajakan, dorongan (motivasi), rangsangan, serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran agama dengan penuh kesadaran demi untuk keuntungan dirinya sendiri, bukan untuk kepentingan juru dakwah/juru penerang, (Arifin, 1991: 6).

 

Hukum Berdakwah

Telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang hukum berdakwah bagi muslim dalam mengajak menusia ke jalan Allah SWT yaitu bahwa berdakwah termasuk kewajiban. Dalilnya sangat banyak, diantaranya, firman Allah SWT :

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS An-Nahl : 125)

“Dan serulah mereka ke (jalan) Rabbmu dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb.” (QS Al-Qashash : 87)

“Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama) Ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” (QS Yusuf : 108)

 

Realita Kehidupan Masyarakat Modern

Masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini. Pada umumnya masyarakat modern tinggal di daerah perkotaan, sehingga disebut masyarakat kota. Namun tidak semua masyarakat kota dapat disebut masyarakat modern. Masyarakt modern memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

  1. Hubungan antar manusia terutama didasarkan atas kepentingan-kepentingan pribadi.
  2. Hubungan dengan masyarakat lain dilakukan secara terbuka dengan suasana yang saling mempengaruhi
  3. Kepercayaan yang kuat akan Ilmu Pengetahuan Teknologi sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
  4. Masyarakatnya tergolong ke dalam macam-macam profesi yang dapat dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga pendidikan, keterampilan dan kejuruan
  5. Tingkat pendidikan formal pada umumnya tinggi dan merata.
  6. Hukum yang berlaku adalah hukum tertulis yang sangat kompleks
  7. Ekonomi hampir seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang didasarkan atas penggunaan uang dan alat-alat pembayaran lain.

 

Realita masyarakat Indonesia

Bagi para pendakwah, ada beberapa hal yang perlu dipahami, yaitu :

  1. Corak kemajemukan (pluralitas) masyarakat Indonesia sebagai suatu bangsa adalah ke-bhinekaan dalam beberapa aspek kehidupan yang meliputi pandangan hidup (filsafat), sosio-kultural, agama, suku, bahasa, politik dan sebagainya.
  2. Tendensi (kecenderungan) perkembangan masyarakat yang banyak  dipengaruhi   oleh kemajuan teknologi modern serta oleh ide modernitas yang telah mulai menjiwai trends pembangunan nasional ke arah apa yang disebut perubahan sosial (social change)  di mana nilai-nilai kebudayaan dan agama kita cepat atau lambat harus dapat secara normatif kultural mengontrol serta menjiwainya.
  3. Corak kehidupan psikologis masyarakat modern (maju) dan yang belum modern mengandung ciri-ciri yang menuntut sistem pendekatan yang berbeda satu sama lain. Semakin modern suatu kehidupan masyarakat maka semakin kompleks pula kehidupan psikologisnya dan semakin banyak menuntut sistem pendekatan yang bersifat antar ilmu dengan dilatar belakangi dengan prinsip-prinsip pandangan psikologis yang dalam dan luas.

 

Sasaran Dakwah

Sehubungan dengan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat, bila dilihat dari aspek kehidupan psikologis, maka dalam pelaksanaan program kegiatan dakwah terdapat pelbagai permasalahan yang menyangkut sasaran bimbingan atau dakwah perlu mendapatkan konsiderasi yang tepat yaitu meliputi hal-hal sebagai berikut:

  1. Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi sosiologis berupa masyarakat terasing, pedesaan, kota besar dan kecil, serta masyarakat di daerah marginal dari kota besar.
  2. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi struktur kelembagaan berupa masyarakat, pemerintah dan keluarga.
  3. Sasaran yang berupa kelompok-kelompok masyarakat dilihat dari segi sosial kultural berupa golongan Priyayi, Abangan, dan Santri. Klasifikasi ini terutama terdapat dalam masyarakat di Jawa.
  4. Sasaran yang berhubungan dengan golongan masyarakat di lihat dari segi tingkat usia berupa golongan Anak-anak, Remaja dan Orang tua.
  5. Sasaran yang berhubungan dengan golongan masyarakat di¬lihat dari segi okupasional (profesi atau pekerjaan) berupa golongan petani, pedagang, seniman, buruh, pegawai negeri (administrator).
  6. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi tingkat hidup sosial-ekonomis berupa golongan orang kaya, menengah dan miskin.
  7. Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi jenis kelamin (sex) berupa golongan wanita, pria dan sebagainya.
  8. Sasaran yang berhubungan dengan golongan dilihat dari segi khusus berupa golongan masyarakat tuna susila, tuna wisma, tuna karya, narapidana dan sebagainya.

Bila dilihat dari kehidupan psikologis masing-masing golongan masyarakat tersebut di atas memiliki ciri-ciri khusus yang menuntut kepada sistem dan metode pendekatan dakwah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sistem pendekatan dan metode dakwah dan penerangan yang didasari dengan prinsip-prinsip psikologis yang berbeda merupakan suatu keharusan bilamana kita menghendaki efektivitas dan efisiensi dalam program kegiatan dakwah dan penerangan Agama di kalangan mereka.

 

Strategi Dakwah Melalui Pesantren

Arifin memberikan defenisi pondok pesantren sebagai berikut: “Suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari Leadership seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independent dalam segala hal”.

Lembaga Research Islam (pesantren luhur), sebagaimana dikutip oleh Mujamil Qamar, mendefenisikan pesantren sebagai “suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya”. Dalam penelitian ini, Mujamil Qamar memberikan defenisi pesantren yang lebih singkat, yaitu “suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanent”.

Jadi, yang dimaksud dengan pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam dengan menetap dalam asrama (pondok) dengan seorang kyai, tuan guru sebagai tokoh utama dan masjid sebagai pusat lembaga dan menampung peserta didik (santri), yang belajar untuk memperdalami suatu ilmu agama Islam. Pondok pesantren juga mengajarkan materi tentang Islam, mencakup tata bahasa Arab, membaca Al-Qur?an, Tafsir, Etika, Sejarah dan ilmu kebatinan Islam. Pondok pesantren tidak membedakan tingkat sosial ekonomi orang tua peserta didik (santri), pendidikan orang tua peserta didik (santri), dengan menekankan pentingnya moral agama sebagai pedoman perilaku peserta didik (santri) sehari-hari, serta menekankan pentingnya moral keagamaan tersebut dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.

Pada tahun 1979, Menteri Agama mengeluarkan peraturan No. 3 tahun 1979 yang mengungkapkan bentuk pondok pesantren :

  1. Pondok pesantren tipe A, yaitu pondok pesantren di mana para santri belajar dan bertempat tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren dengan pengajarannya yang berlangsung secara tradisional (wetonan atau sorongan).
  2. Pondok pesantren tipe B, yaitu pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal (madrasy) dan pengajaran oleh kyai bersifat aplikasi dan diberikan pada waktu-waktu tertentu. Para santri tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren.
  3. Pondok pesantren tipe C, yaitu pondok pesantren yang hanya merupakan asrama, sedangkan para santrinya belajar di luar (madrasah atau sekolah umum) dan kyai hanya merupakan pengawas dan pembina mental para santri tersebut.
  4. Pondok pesantren tipe D, yaitu pondok pesantren yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah dan madrasah. Bentuk pondok pesantren seperti yang diungkapkan di atas merupakan upaya pemerintah dalam memberikan batasan atau pemahaman yang lebih mengarah kepada bentuk pondok pesantren. Walaupun demikian, sesungguhnya perkembangan pondok pesantren tidak terbatas pada empat bentuk tadi, namun dapat lebih beragam banyaknya. Bahkan dari tipe yang samapun terdapat perbedaan tertentu yang menjadikan satu sama lain tidak sama.

Tujuan pendidikan pesantren bukan untuk mengejar kepentingan duniawi, tetapi menanamkan bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Allah SWT.

 

Strategi Dakwah melalui Lembaga Pendidikan

Sebuah keniscayaan bahwa pendidikan merupakan pendekatan dalam membentuk manusia seutuhnya atas fitrahnya sebagai makhluk baik dan sempurna. Kita paham bahwa Tuhan (Allah) pun telah memilih manusia sebagai pengemban tugas di muka bumi ini (khalifah fil ardli). Bekal konsep dasar pendidikan dan pembelajaran kepada manusia yang digambarkan dalam QS. Al-Alaq; 1-5 (baca juga postingan: Kewajiban Belajar Mengajar dalam Perspektif al-Qur’an Surat al-‘Alaq Ayat 1-5). Bahkan banyak teori-teori pendekatan yang mesti kita gunakan dalam membentuk manusia sempurna sebagaimana fitrahnya manusia (sebagai makhluk yg baik dan mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya).

Berdakwah merupakan bagian dari strategi bagaimana kemudian agar nilai-nilai agama sebagai kunci pelembagaan keimanan seseorang untuk bisa kembali bertemu dengan Tuhannya di atas arsy sanah/disisi-Nya. Oleh karena itu setiap muslim berkenan dan berkewajiban untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin, memberikan kesejukan, memberikan manfaat kepada sesamanya dengan jalan berdakwah; mengajak, menganjurkan, menghimbau kepada umat manusia agar benar-benar kembali kepada fitrahnya.

Seperti kita tahu bahwa sejarah mencatat bagaiaman perjuangan Nabi Muhammad dalam menyebarkan misi ke-Tuhanan, beliau diutus salah satu tugasnya adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia,oleh karena itu awal dakwah beliau dilakukan melalui sebuah madrasah di rumah Al-Arqam, dari sinilah kemudian umat muslim (Kiyai-ustad-guru-pendidik) sebagai pewaris Nabi, bertanggung jawab untuk melanjutkan misi itu hingga akhir masa (kiamat).

Dengan strategi dan pendekatan dakwah itulah kemudian baik perorangan atau sebuah lembaga berkewajiban untuk meneruskan estapet misi kerasulan tersebut, tak terkecuali Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI).

Dengan memadukan strategi dakwah melalui pesantren dan pendidikan, berkembanglah  Pesantren berlembaga pendidikan (Pesantren Modern) atau Pendidikan berpesantren (Sekolah Islam Terpadu)

 

Strategi Dakwah para Da’i

Dalam rangka keberhasilan dakwah di era global, maka diperlukan da’i yang memiliki profil berikut ini, yaitu: memiliki komitmen tauhid, istiqamah dan jujur, memiliki visi yang jelas, memiliki wawasan keIslaman, memiliki kemampuan memadukan antara dakwah bil lisan dengan dakwah bil hal, sesuai kata dengan perbuatan, berdiri di atas semua paham dan aliran, berpikir strategis, memiliki kemampuan analisis interdisipliner, sanggup berbicara sesuai dengan kemampuan masyarakat.

Untuk mendukung adanya perubahan dalam berdakwah, para da’i perlu terus menerus meningkatkan wawasan, ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemampuan teknis yang diperlukan dalam melakukan dakwah. Da’i tidak merasa puas dengan ilmu yang dimilikinya, melainkan terus belajar, belajar sepanjang hayat (long life education). Apalagi pada era informasi seperti sekarang ini, kemampuan da’i dalam mengoperasikan komputer dan internet merupakan prasyarat yang tidak bisa ditawar-tawar.2Dengan komputer da’i bisa menulis dan menyimpan gagasan-gagasan yang akan disampaikan kepada masyarakat, bisa dimanfaatkan untuk mengoperasikan LCD, membaca kitab-kitab dan al-Qur’an dengan bantuan cd-room, mengakses internet dan lain-lain.

Mengapa da’i perlu memiliki kemampuan di bidang komputer dan internet? Karena masyarakat sebagai obyek dakwah, semakin banyak yang memanfaatkan komputer dan internet. Sekarang ini komputer dan internet sudah diperkenalkan pada anak-anak di tingkat Sekolah Dasar, bahkan sejak Taman Kanak-Kanak. Pemerintah pun sudah berupaya membantu jaringan internet agar bisa masuk ke desa-desa. Fasilitas hand phone sudah dipenuhi dengan sistem yang bisa mengakses internet. Rumah makan, hotel, kampus, sekolah, perkan–toran dan lain sebagainya telah menyediakan hotspot area (daerah bebas berinternet). Jika masyarakat telah begitu terbuka untuk bisa memanfaatkan komputer dan internet, sementara da’i tidak mau tahu komputer dan internet, bisa terjadi “kiamat” bagi da’i tersebut dan kegiatan dakwahnya kurang mengikuti perkembangan masyarakat.

Kemudian pada era modern ini, ilmu yang berkembang bersifat multidisipliner dan komplementer. Ilmu agama yang selama ini men–jadi pegangan da’i (sumber utama) perlu diperkuat dengan keilmuan lainnya agar apa yang disampaikan ke masyarakat menjadi kokoh dan dapat dioperasionalkan di lapangan. Ilmu agama Islam dapat diperkuat dengan menggunakan kajian ilmu psikologi, sosiologi, sejarah dan sebagainya. Oleh karena itu, da’i perlu memperkuat ilmu agama yang dimilikinya dengan menambah wawasan dan pengetahuan yang ber–dasar dari ilmu-ilmu sosial, humaniora maupun ilmu-ilmu alam.

Contoh menarik fatwa Syekh Adil al-Kalbani, salah seorang Imam Mesjid Mekah, yang melawan arus pendapat umum di kalangan ulama Saudi. Al-Kalbani, yang semula membela pendapat yang mengharamkan musik dan nyanyian tiba-tiba berubah pikiran dan menganggap bermain musik dan menyanyi tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam. Fatwa ini mendapat kritik keras dari kalangan ulama senior Saudi Arabia yang menganggap bermusik dan bernyanyi, baik dilakukan di antara orang banyak maupun sendirian, diharamkan oleh syariat Islam. Wacana tentang musik dan nyanyian ini cukup mendapat perhatian dan dibicarakan dalam media massa. Banyak ulama yang yang menentang akan tetapi tidak sedikit yang mendukung al-Kalbani (Djohan Effendi 2010:6). Jika fatwa tersebut hanya berpedoman pada sumber agama saja tanpa memperhatikan kajian sosiologi masyarakat, maka fatwa tersebut akan bertabrakan dengan realitas yang berkembangan di masyarakat bahwa musik merupakan kebutuhan masyarakat dan bahkan menjadi industri kreatif yang bisa mensejahterakan masyarakat.

Dengan memperluas pendekatan dalam mengembangkan ilmu agama Islam, maka kegiatan dakwah pun bisa diperluas dengan berbagai pendekatan. Karena kegiatan dakwah diturunkan dari keilmuan dakwah yang notabene menjadi bagian dari keilmuan agama Islam. Kegiatan dakwah bisa didekati dengan Ilmu Manajemen, Politik, Sosiologi, Antr-opologi, Ilmu Kesehatan dan sebagainya. Dengan cara demikian, kegiatan dakwah amat variatif. Kegiatan dakwah dapat mengakomodir berbagai kebutuhan yang berkembang di masyarakat.

 

Dakwah dengan Memanfaatkan Teknologi Modern

Salah satu sasaran yang efektif untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam adalah alat-alat teknologi modern di bidang informasi dan komunikasi. Kemajuan di bidang informasi dan telekomunikasi harus dimanfaatkan oleh aktivis dakwah sebagai media dalam melakukan dakwah Islam, sebab dengan cara demikian ajaran agama Islam dapat diterima dalam waktu yang relatif singkat oleh sasaran dakwah dalam skala luas. Dalam hal ini, lembaga-lembaga dakwah masih banyak yang belum dapat memanfaatkan akses teknologi informasi secara maksimal, begitu juga dengan penyediaan dakwah modern.

1. Internet

Fenomena dakwah digital tersebut memang berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi informasi di dunia. Internet baru masuk ke Indonesia pada tahun 1994. Kemudian pada sekitar tahun 1998-1999 bermunculanlah situs-situs Islam di Indonesia seperti, MyQuran.com, Ukhuwah.or.id, MoslemWorld.co.id, IndoHalal. com dan situs-situs Islami yang lain. Situs-situs tersebut tidak sekedar situs-situs institusi Islam, tetapi berisi aneka informasi dan fasilitas yang memang dibutuhkan oleh umat Islam.

Masuknya Internet dalam aspek kehidupan umat Islam mulai menggeser pemikiran-pemikiran lama. Menjadi santri kini tidak harus diidentikkan dengan sarung dan mengaji di langgar saja. Kebutuhan akan aktualisasi diri sebagai seorang muslim ternyata sama pentingnya dengan dakwah itu sendiri.

Dari sekelumit pembahasan tentang penggunaan internet di Indonesia di atas, maka dapat ditarik satu pemahaman umum bahwa Internet memang merupakan media yang efektif bagi dakwah dan penyebaran informasi. Meskipun demikian Internet tidak akan bisa menggantian peran ulama, kiai dan ustadz.

2.Televisi dan Radio

Sebagai media penampil gambar dan suara digital, televisi dan radio amat digemari oleh masyarakat. Oleh sebagian besar masyarakat Indonesia televisi dijadikan sebagai sarana hiburan dan sumber informasi utama. Di beberapa daerah, masyarakat di Indo-nesia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melihat televisi dan mendengarkan radio. Apabila dakwah Islam dapat memanfaatkan media ini dengan efektif, maka secara otomatis jangkauan dakwah akan lebih luas dan kesan keagamaan yang ditimbulkan akan lebih dalam. Namun seberapapun besar keunggulan media televisi dan radio, belum mampu merangkum beberapa keunggulan dalam media massa lainnya terutama media cetak seperti surat kabar, koran dan lain sebagainya.

Dalam menyampaikan materi dakwahnya, para da’i harus sanantiasa merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits. Keduanya harus menjadi pegangan dalam setiap aktivitas dakwah apapun, di manapun, kapanpun dan menggunakan media apapun termasuk televisi dan radio. Dalam menyampaikan materi dakwahnya, Al-Qur’an terlebih dulu meletakan prinsipnya bahwa manusia yang dihadapi adalah makhluk yang terdiri atas unsur jasmani, akal dan jiwa, sehingga ia harus dilihat dan diperlakukan dengan keseluruhan unsur-unsurnya secara serempak. Baik dari segi materi maupun waktu penyajiannya.

Materi dakwah yang disajikan oleh Al-Qur’an dibuktikan kebenarannya dengan argumentasi yang dipaparkan atau dapat dibuktikan manusia melalui penalaran akalnya. Kenyataan ini dapat ditemui pada hampir setiap permisalan yang disajikan oleh Al-Qur’an. Ada kalanya Al-Qur’an menuntun manusia dengan redaksi yang sangat jelas dan dengan tahapan pemikiran yang sistematis sehingga manusia menemukan sendiri kebenarannya.

Dengan mencermati uraian di atas hendaknya materi dakwah dalam televisi dan radio hendaknya tetap mengacu pada kedua sumber pokok ajaran Islam tersebut.

3. Media Cetak

Berdakwah melalui media cetak juga merupakan metode yang efektif dalam menyebarkan dakwah. Sebagai contohnya adalah surat kabar atau koran. Berbeda dengan berdakwah pada media lainnya, surat kabar adalah salah satu sarana sumber informasi masyarakat yang sangat besar pengaruhnya terhadap pembacanya. Berdakwah melalui koran dapat dilakukan dalam bentuk tulisan maupun gambar-gambar yang mendiskripsikan suatu ajaran dan aplikasinya bagi kehidupan umat manusia.

Dakwah melalui koran lebih tepat dan cepat tersebar ke seluruh masyarakat, di samping itu masyarakat mudah memahaminya, sebab koran merupakan media yang telah mampu menjangkau keberadaan masyarakat. Oleh karena itu menulis pesan-pesan dakwah dalam sebuah koran maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu tulisan bernuansa dakwah itu akan dikonsumsikan kepada media apa, apakah media pers khusus Islam atau pers umum. Menulis dakwah untuk media pers khusus Islam memiliki teknik dan cara yang sedikit berbeda dengan menulis di media pers umum. Media khusus Islam pembacanya sudah jelas, sedang media pers umum pembacanya berasal dari beragam latar belakang kepercayaan. Jadi, menyebarkan dakwah dengan memakai ilmu jurnalistik harus memiliki sifat singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik. Sedang bahasa agama adalah bahasa yang mengedepankan kebenaran, kebersihan, tidak simpatik dan menyingkirkan kata-kata yang bernada hasutan.

4. Seni Budaya

Dakwah Islam pada dasarnya ialah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw, namun bentuk dan cara penyampaiannya berlainan, yakni disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat sekitar. Dakwah dapat dilaksanakan dengan berbagai metode, seperti: ceramah, diskusi, tanya jawab, keteladanan serta dapat pula dilaksanakandengan berbagai media, seperti: seni ketoprak, seni ludruk, seni wayang, seni teater dan lain-lain. Dengan demikian bagi juru dakwah untuk mempermudah menyampaikan dakwah dan juga agar mudah dipahami oleh sasaran dakwah, maka sebaiknya dakwah dilakukan dengan menggunakan media yang sudah ada, hal ini untuk menyesuaikan keadaan masyarakat tidak sama satu sisi sudah maju dan di sisi lain masih ketinggalan. Oleh karena itu dalam berdakwah walaupun menggunakan media modern namun tidak  menghilangkan media tradisional yang masih dapat digunakan dengan baik, sehingga dalam berdakwah penggunaan media tersebut dapat disesuaikan dengan keadaan masyarakat setempat.

Seni merupakan media yang mempunyai peran yang amat penting dalam pelaksanaan dakwah Islam, karena media tersebut memiliki daya tarik yang dapat mengesankan hati bagi pendengar maupun penontonnya. Terbukti, karena keindahan seni dalam bahasa Al-Qur’an yang terlantunkan oleh adiknya Umar bin Khatab bergetar hatinya untuk masuk Islam.

Demikian juga dengan penyebaran agama Islam di pulau Jawa dapat tersebar luas serta diterima oleh masayarakat karena para Walisongo sebagai da’i menggunakan bentuk-bentuk seni dari budaya masyarakat setempat sebagai salah satu media dakwah pada waktu itu, yaitu media wayang dan gamelan.

Menurut Abdurrahman Al Baghdadi, definisi seni yaitu penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantara alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), penglihatan (seni lukis) dan dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari / drama).

Seni merupakan bentuk keindahan yang tampak nyata yang langsung dapat dinikmati oleh manusia. Oleh karena itulah, orang beriman menyukai keindahan dalam bentuk yang tampak dan yang ada disekelilingnya, karena semua itu adalah jejak yang membekas dari keindahan Allah SWT.

Adapun pendekatan dan pengembangan dakwah yang digunakan oleh Walisongo sesuai dengan media dakwah setempat yang sedang digandrungi oleh masyarakat, yaitu wayang. Para Wali melihat kesenian wayang sebagai media komunikasi dan interaksi yang sangat mampu terhadap pola pikir masyarakat. Kesenian wayang orang kemudian dimodifikasi dan disesuaikan oleh para Wali dengan konteks dakwah (di Islamkan).

Sehingga dengan penyebaran agama Islam di Pulau Jawa dapat tersebar luas serta diterima oleh masyarakat karena Walisongo menggunakan bentuk-bentuk kesenian dari budaya masyarakat setempat sebagai salah satu media dakwah yaitu media wayang dan gamelan. Dengan media itu mudah ditangkap oleh masyarakat yang awam karena pendekatan-pendekatan Walisongo yang konkrit dan realistis, dan menyatu dengan kehidupan masyarakat.

Melihat kenyataan yang sedemikian maka kesenian memiliki peranan yang tepat guna sehingga dapat mengajak kepada khalayak untuk menikmati dan menjalankan isi yang terkandung didalamnya.

Dalam konteks keilmuwan dakwah yang digunakan Islam dengan metode kesenian adalah salah satunya dengan menggunakan lagu-lagu shalawt rebana, nasyid, pop, dangdut dan lain-lain. Mengapa dapat dikatakan sebagai media dakwah, karena syair yang terpancar/digunakan bernilai/bermuatan dakwah, sehingga dapat dikatakan bahwa seni bisa sebagai ajang untuk berdakwah.

Perlu diperhatikan, sebagai salah satu alternatif dalam penempatan seni sebagai media dakwah adalah, usaha menelusuri jati diri atau kreatifitas seni Islam, dengan memadukan rasa, cipta dan karsa sebagai aspek budaya dengan jiwa Islam.

5. Lembaga Ekonomi

Problem utama masyarakat Indonesia adalah kemiskinan. Berdasarkan data Februari 2010, angka pengangguran di Indonesia berada di kisaran 10% atau 23 juta orang, Hal tersebut terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya sebesar 5,5% sehingga dinilai tidak cukup untuk menyerap tenaga kerja di usia produktif. Problem tersebut menjadi tanggung jawab bersama untuk me–ngatasinya, termasuk para da’i. Jangan sampai masyarakat menjadi kufur akibat terbelit ekonomi atau mengalami busung lapar akibat kekurangan makanan. Bagaimana mungkin, negara Indonesia yang subur dan makmur, sementara masyarakatnya miskin dan kelaparan. Hal ini berarti ada yang salah dalam mengurus negara atau dalam memberdayakan masyarakatnya. Aparat negara melakukan korupsi atau ketidakadilan dalam menerapkan kebijakan ekonomi. Sedangkan masyarakat kurang mendapatkan pendidikan dan motivasi guna menggali kekayaan yang subur dan makmur tersebut.

Dalam memberantas korupsi dan ketidakadilan, da’i dapat membangun gerakan bersama untuk melawan korupsi dan ketidakadilan. Gerakan dilakukan dengan cara membangun opini bahwa korupsi adalah haram, mendirikan lembaga pengawas atau memberikan sanksi moral bagi para pelaku korupsi.

Sementara dalam memberdayakan masyarakat, da’i dapat merubah ideologi ancaman dan hukuman yang selama ini menjadi pesan dakwah menuju ideologi kemakmuran dan kesejahteraan atau dari materi yang bersifat teologis menuju materi yang bersifat sosiologis. Ajak masyarakat untuk bekerja keras, mengenal dunia, disiplin waktu, memanfaatkan alam, menjaga lingkungan yang bersih, saling berbagi dan lain-lain.

Jama’ah seringkali diajak untuk meninggalkan dan menjauhi dunia, bahkan kalau perlu hidup miskin karena Nabi selalu bersama dengan orang miskin. (ini dalil yang selalu dipakai). Kemudian diperkuat dalil al-Qur’an dengan mengancam orang yang cinta harta “kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah” (QS. 104: 1-4). Kalau dalil semacam ini yang terus diberikan kepada umat Islam, apa bisa umat Islam diharapkan bisa maju. Sementara mereka terus diminta untuk beramal dengan harta dalam menghidupi ajaran agama. Terjadilah kontradiksi berpikir dalam diri da’i. Ini yang perlu diperbaiki.

6. Lembaga Sosial

Mengapa da’i tidak mengajak umatnya untuk menjadi orang kaya yang dermawan, rajin ibadah, dan aktif dalam kegiatan keagamaan. “Orang yang mencari kayu bakar di gunung kemudian di jual ke pasar jauh lebih mulya dibandingkan dengan orang yang minta-minta” (al-Hadits) dan Firman Allah “Adapun orang yang memberikan (har–tanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga). Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah” (QS. 92: 5-7). Dengan kekayaannya dia mampu menyekolahkan anaknya, dapat menyempurnakan keislamannya dengan menunaikan ibadah haji, dapat bershadaqah, dapat membantu orang lain dan banyak lagi kegiatan yang dapat dilakukan dengan kekayaannya. Secara logika seorang kaya beramal 100.000,- yang belum tentu ikhlasnya jauh lebih manfaat daripada seorang miskin yang beramal 1.000,- yang katanya ikhlas. Padahal keikhlasan itu sulit untuk diketahui dan sangat personal.

Untuk mendukung da’i dalam memberdayakan masyarakat, da’i bisa mengembangkan beberapa fasilitas hukum yang diperkenalkan Allah swt seperti zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf. Fasilitas inilah yang bisa dijadikan modal utama dalam pemberdayaan masyarakat. Kantong-kantong kekayaan di masyarakat Indonesia pada dasarnya tinggi. Hal penting yang diperlukan adalah bagaimana memberikan pemahaman dan kepercayaan kepada masyarakat bahwa dana mereka dapat disalurkan pada jalan yang benar. LAZIZMU, LAZIZNU, Dhompet Dhuafa merupakan salah satu Lembaga ZISWAF (filantropi Islam) yang sukses memanfaatkan dana umat untuk kesejahteraan masyarakat. Lembaga tersebut memiliki lembaga pendidikan untuk orang miskin, lembaga kesehatan cuma-cuma, bimbingan rohani bagi pasien, membantu tindakan darurat bagi masyarakat yang terkena musibah, membantu para pedagang dan sebagainya. Dhompet dhuafa membidik kalangan muda kelas menengah terdidik yang me–miliki kesadaran tinggi untuk membayar zakat. Demikian juga, Yusuf Mansur dengan “wisata Hati”nya sukses mendulang dana umat untuk membangun pesantren Qur’an di berbagai daerah. Kata kunci yang digunakan Dhompet Dhuafa dan Yusuf Mansur dalam meraih kesuksesan mengelola ZISWAF adalah pada “Trust” (kepercayaan).

 

Oleh Drs. M. Ali Arie Susanto | Sekjen PB GAI

Disampaikan dalam Sarasehan “Islam Indonesia di Era Millenial”, Jalsah Salanah GAI, Desember 2017

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »