ArtikelKristianologi Qurani

Patahnya Salib dan Integrasi Agama-Agama

statue of jesus

Kata “salib” berasal dari bahasa Arab: shalb, mengandung arti “cara membunuh yang sudah terkenal.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ini mengandung dua arti. Pertama, “dua batang kayu yang bersilang tempat Yesus dihukum orang Yahudi.” Kedua, “tanda silang”.

Adapun kata “menyalib” dalam KBBI diartikan sebagai menghukum mati pada kayu salib, tangan dan kaki orang yang dihukum direntangkan dengan dipakukan pada kayu salib.

Atas dasar definisi KBBI ini, maka kalau seseorang hanya direntangkan dan dipakukan pada kayu salib tetapi tidak sampai mati ketika ia diturunkan, namanya bukan “menyalib”, dan penyaliban itu dianggap tak ada atau tak terjadi.

Menurut Bibel, Isa Al-Masih atau Yesus Kristus sangat takut menghadapi salib, sehingga beliau bermohon ke hadirat Allah untuk diselamatkan darinya. Bahkan ketakutannya digambarkan hingga peluhnya seperti titik-titik darah bertetesan ke tanah (Luk 22:41-44). Di tiang salib ia bahkan berseru “Eli, Eli lama sabakhtani?” (Tuhanku, mengapa Engkau tinggalkan aku?) (Mat 27:46).

Dan Tuhan memang berkenan datang menyelamatkannya. Ini diisyaratkan dalam Qur’an dengan kalimat ”wamaa qataluuhuu wamaa shalabuuhu walaakin syubbiha lahum.” (Dan mereka tak berhasil membunuhnya, dan tak pula berhasil menyalibkannya. Meskipun ia serupa telah mati dalam sangkaan mereka)” (QS 4:157).

Menurut kaumnya, yakni kaum Yahudi dan Kristen, Isa Al-Masih dianggap telah mati di tiang salib, sebagai akibat dari penyaliban yang dialaminya. Bahkan, dalam iman mereka, ia memang harus mati karena disalib (QS 4:159).

Keyakinan atas kematian Isa Al-Masih itu, bagi kaum Yahudi menjadi alat pembenaran atas tuduhan mereka bahwa Isa Al-Masih adalah orang yang terkutuk, sekaligus membuktikan bahwa ia adalah seorang Nabi palsu, dan juga Mesias palsu.

Tetapi bagi kaum Kristen, iman atas kematian terkutuk Isa Al-Masih di tiang salib itu justru menjadi pembenaran atas dogma mereka perihal penebusan dosa: bahwa dosa manusia yang diwariskan oleh Adam telah terhapus oleh pengorbanan Yesus, Sang Anak Allah, di tiang salib. Suatu dogma yang sesungguhnya tak dikenal oleh Isa Al-Masih sendiri.

Jadi terkait penyalibannya pun, terdapat perbedaan tajam antara umat Kristen dengan Yesus atau Isa Al-Masih sendiri. Pertama, Yesus takut dan tidak rela disalib. Tetapi menurut umat Kristen, Yesus ”tidak takut untuk disalib, karena penyaliban itu adalah konsekwensi dari tugas yang harus beliau emban, seperti tersirat dalam Mrk 8:34.

Kedua, Yesus yakin tak akan mati di tiang salib, karena Allah telah menjanjikan keselamatan bagi dirinya (QS 3:55). Tetapi umat Kristen justru bersikukuh menetapkan bahwa kematian Yesus adalah di tiang salib (QS 4:159), sebagai waujud rahmat untuk memperbaharuhi dunia.

Ketiga, kematian di tiang salib menurut Yesus adalah suatu bukti kehinaan seseorang, sebagaimana dijelaskan dalam Taurat Musa (Ul 21:22-23). Tetapi menurut umat Kristen, kematian Yesus di tiang salib itu diyakini sebagai tanda kemenangan dan keselamatan (1 Kor 2:2).

Keempat, permohonan Yesus dikabulkan Allah, sehingga penyaliban atas dirinya gagal. Meskipun kaum Yahudi berhasil menangkap, mengadili, mengejek dan menganiaya dirinya, sebagaimana telah dinubuatkan oleh para Nabi terdahulu. Tetapi menurut kaum Kristen, penyaliban Yesus itu berhasil sukses, sesuai dengan rencana kaum Yahudi.

Sebagai orang yang beriman kepada semua Nabi Utusan Allah, maka seorang muslim harus mencintai Nabi Isa Al-Masih bin Maryam, menghormati dan membelanya jika dilecehkan, dengan cara menyingkirkan apa yang beliau takuti dan benci, yakni penyaliban, dan melestarikan apa yang ia sukai dan ajarkan.

Inilah sebabnya mengapa “salib harus dipatahkan” dengan dalil-dalil dari Kitab Suci dan bukti-bukti sejarah, bukan dengan palu dan kampak. Dalam hal ini, Nabi Suci menubuatkan bahwa di akhir zaman akan datang seorang imam dari kalangan umat Islam, yang bergelar sebagai Al-Masih Isa bin Maryam, yang salah satu tugasnya adalah “mematahkan salib.”

Kerahiban sebagai Sumber Kerusakan

Dalam Ensiklopedi Gereja dikatakan, “Salib adalah suatu lambang universal dan dasariah, yang dalam aneka bentuk terdapat dalam beberapa lingkungan kebudayaan” (Ensiklopedia Gereja, terbitan CLC Jakarta, hlm. 151). Bagi kaum Yahudi, salib adalah ”suatu batu sandungan,” sementara bagi orang-orang bukan Yahudi, adalah “suatu kebodohan” (1 Kor 1:23).

Tetapi bagi kaum Kristen, salib dianggap sebagai simbol keselamatan, sebagaimana dinyatakan oleh Paulus kepada jemaatnya di Korintus: ”Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1 Kor 2:2).

Kaum Yahudi maupun Kristen sejatinya berada dalam keragu-raguan tentang kematian Isa Al-Masih di tiang salib. Mereka tak mempunyai pengetahuan sejati tentang kematiannya, melainkan hanya berdasarkan sangkaan belaka. Mereka tak benar-benar yakin telah membunuh Isa Al-Masih (QS 4:157), sehingga mereka saling salah-menyalahkan satu sama lain.

“Kaum Yahudi berkata: kaum Kristen tak menganut sesuatu (yang baik); dan kaum Kristen berkata: kaum Yahudi tak menganut sesuatu (yang baik). Padahal mereka membaca kitab (yang sama). Demikian pula orang-orang yang tak mempunyai pengetahuan, mereka berkata seperti yang dikatakan kedua kaum itu.(QS 2:113).

Sikap “tidak mau tahu apa-apa selain apa yang ada pada dirinya” seperti diajarkan Paulus itu adalah penjabaran simbol Salib, yang visualisasinya mewujud dalam tiga macam simbol termasyhur, yaitu tanda plus (+), tanda huruf T (T) dan tanda silang (X). Ketiganya menjadi perlambang penyerahan diri secara mutlak kepada Kristus, bahkan bersedia mati baginya (Luk 9:23).

Sikap yang diajarkan Paulus itu, jika diterapkan pada zaman Yesus, memang bagus adanya, sebagai tulusnya tanda kebaktian, seperti yang diperagakan oleh kaum Hawariyin (QS 3:52). Tetapi di kemudian hari, sikap itu menjadi buruk setelah munculnya ajaran Anti-Kristus atau Dajjal, karena syariat yang dijunjung tinggi oleh Yesus Kristus ditiadakan dan dianggapnya sebagai kutuk Tuhan.

Dalam prakteknya sekarang ini, penyerahan diri umat Kristen secara mutlak kepada Yesus itu diwujudkan dengan penyerahan diri secara mutlak kepada para pendeta mereka. Maka dari itu umat Kristen terjebak dalam pendewaan atau pengkultusan pendeta, sebagaimana dinyatakan Allah dalam firman-Nya: “Mereka mengambil para ulama dan pendeta mereka sebagai tuhan di samping Allah, dan Al-Masih bin Maryam” (QS 9:31).

Karena sebab itu jugalah umat Kristen terpecah belah menjadi berbagai golongan yang saling bermusuhan dan saling membenci karena mempertuhan ulama dan pendetanya masing-masing. Di samping itu, bahaya sikap itu adalah menjadi penghalang bagi kemajuan ilmu, akhlak dan rohani.

Sejarah menjadi saksi, masa kejayaan Krsiten yang pertama (abad 4 s.d 7 Masehi) ditengarai dengan kerusakan akhlak dan kemunduran ilmu pengetahuan (QS 30: 41-42). Demikian pula pada masa kejayaan Kristen yang kedua (abad 17 s.d. 20 Masehi), juga ditengarai kemunduran akhlak dan rohani (QS 19: 90-92).

Di masa yang kedua, ilmu pengetahuan dan teknologi mereka memang maju. Tetapi kemajuan itu bukan karena agama, melainkan justru karena mereka meninggalkan agamanya, alias “mematahkan salib”-nya sendiri atas dasar kemauan diri mereka sendiri. Dan karena itulah mengapa di negara-negara maju agama Kristen mengalami kemunduran.

Sikap “tidak mau tahu apa-apa selain dari apa yang ada pada dirinya” yang dilestarikan oleh para ulama dan para pendeta itu disebut kerahiban (QS 57:27). Umat tinggal mengikuti secara membabi buta apa yang dikatakan oleh para ulama dan pendeta. Sikap ini disebut taqlidul-a’ma, yang oleh Qur’an Suci dilukiskan sebagai mempertuhan ulama, pendeta dan Al-Masih bin Maryam (QS 9:31).

Qur’an Suci dan Hadits Nabi menubuatkan bahwa dengan berlalunya waktu yang lama, hati kaum Muslimin menjadi keras dan kebanyakan mereka mendurhaka seperti halnya orang-orang yang diberi Kitab Suci dahulu, yakni kaum Yahudi dan Kristen (QS 57:16). Mereka berpecah belah menjadi berbagai golongan, karena ”mempertuhan para ulamanya.”

Nubuat tersebut tepenuhi pasca Nabi Suci dan para sahabat sampai generasi tabi’in. Sejak itu secara berangsur-angsur mereka meninggalkan Qur’an Suci (QS 25: 30) dan Hadits Nabi (QS 4:65). Jika terjadi pertentangan (tanazu’) di antara umat, persoalan itu tak “dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nyaa” (QS 4:59), tetapi kepada fatwa ulamanya.

Inilah sumber kemunduran dan kerusakan umat Islam yang mencapai kesempurnaan seribu tahun setelah khairul-qurun yakni tiga abad permulaan (QS 32:5). Saat itu para ulama yang menjadi panutan umat dilukiskan oleh Nabi Suci sebagai ”mahkluk yang paling buruk di bawah kolong langit, karena dari mulut mereka keluar fitnah, padahal kepada mereka sendiri fitnah itu kembali.” (HR Baihaqi).

Eksklusivisme dan pluralisme keagamaan

Qur’an Suci memberi kabar baik, bahwa setelah kaum Muslimin terpuruk sampai titik nadir perkembangannya, tibalah saat kebangkitannya kembali (QS 57:17), dengan cara yang sama dengan masa awalnya.

Pada ”golongan yang awal” (QS 56:39) Allah berkenan membangkitkan seorang Utusan dari bangsa Ummi (QS 62:2) yakni Nabi Suci Muhammad saw., sebagai Khatamun-Nabiyyin (QS 33:40) dan rahmatan lil-’alamin (QS 21:107).

Sementara, pada ”golongan yang akhir” (QS 56: 40), Allah berkenan juga membangkitkan seorang utusan dari bangsa lain (QS 62:3), yakni dari keturunan Salman Al-Farisi (HR Bukhari). Beliau yang mendakwahkan diri sebagai utusan Allah dari keturunan Salman Al-Farisi itu adalah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908).

Baik Rasulullah Muhammad saw. maupun HMGA disebut sebagai ”fadhlullah” (karunia Allah), pemberian dari ”Allaahu dzul-fadhlil-’azhim” (Allah, Tuhannya karunia yang besar) (QS 62:4).

Oleh karena itu, beliaulah yang menghidupkan kembali doktrin Islam yang rahmatan lil’alamin di akhir zaman ini, yang sebelumnya telah dilupakan oleh kaum Muslimin, misalnya tentang eksklusivisme dan pluralisme keagamaan.

Eksklusivisme menurut Qur’an Suci sebagaimana dijabarkan oleh Nabi Suci sifatnya moderat, karena meski berpendapat bahwa hanya dalam Islam terdapat dan terpelihara kebenaran (QS 98:2-3) secara sempurna seperti diwahyukan Tuhan (QS 15:9), tetapi Islam mengakui bahwa di agama-agama lain pun terdapat unsur-unsur yang sebenarnya tidak apat diragukan kebenarannya (QS 3:64), bahkan harus dijunjung tinggi dan diimani (QS 2:4, 285). Dengan demikian memungkinkan dialog dan kerja sama antar umat beragama (29: 46).

Tetapi umat Islam di akhir zaman ini berpandangan ekstrim, karena pendapatnya hanya agama Islam saja yag memiliki kebenaran keagamaan, sedang agama lain dianggap seluruhnya salah, yang karena itu umatnya harus ditobatkan, jika perlu dengan pedang. Pandangan ini didasarkan penafsiran harfiah ayat Qur’an Suci 3:18, 85 kitab fiqih bab ”jihad”.

Mereka lupa bahwa Nabi Suci pernah bersabda, ”Jangan kamu benarkan Ahli Kitab dan jangan pula kamu dustakan mereka” (HR Bukhari). Maksudnya: jangan kamu benarkan semua ajaran Ahli Kitab, karena banyak kesalahan di sana. Tetapi jangan pula kamu salahkan ajaran Kaum Ahli Kitab seluruhnya, karena masih terdapat pula sebagian kebenarannya. Untuk mengetahui mana yang benar dan salah dari ajraran mereka, batu ujinya adalah Quran Suci. Itulah salah satu sebab mengapa Quran Suci berfungsi sebagai Al-Furqan (25:1).

Pluralisme keagamaan menurut Qur’an Suci sebagaimana dipraktekkan oleh Nabi Suci sifatnya juga moderat, karena memanndag bahwa semua agama, meskipun dengan jalan masing-masing yang berbeda, tetapi menuju satu tujuan terakhir yang sama, yakni Allah, Tuhan Yang Maha Esa (QS 5:48). Sebab semua agama asli murninya dari Allah SWT (QS 18:47; 16:36) yang diwahyukan secara evolusif sejak Adam a.s. Nabi yang pertama sampai Nabi Suci Muhammad saw. Nabi yang terakhir (QSS 33:40).

Tetapi umat Islam di akhir zaman memahami pluralisme agama seperti dikemukakan oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesai (MUI) bahwa ” semua agama itu sama, agama itu sama benarnya dan baiknya, sehingga semua pemeluk agama berdampingan di Sorga.” (Media Indonesia, Jum’at 5 Agutus 2005). Suatu definisi yang didasarkan atas buku-buku teologi dan fiqih Islam. Suatu rumusan yang tak sejalan dengan firman Allah dalam Quran Suci 2:62, 5:48; 13: 7; 16:36; 22: 17; 34:28.

Kepada para pengikutnya, HM Ghulam Ahmad menyatakan: “Wahai saudaraku yang telah mengambil baiat dan telah menjadi warga Gerakan semoga Allah mengaruniaimu kekuatan untuk menjalankan perkara-perkara yang diridloi-Nya. Hari ini kalian kecil alam jumlah, dan dipandang dengan penuh kebencian dan penghinaan”.

Lebih lanjut beliau berkata, ”Ingatlah dengan yakin, bahwa kutukan dari umat manusia, jika ini tidak timbul dari kutukan Ilahi, jelas sekali tidak ada konsekwensinya. Jika Tuhan tidak berkehendak untuk menghancurkan kita, maka tak seorang pun bisa menghancurkan kita; tetapi jika Dia menjadi musuh kita, maka tak seorangpun yang bisa melindungi kita. Allah bermaksud seluruh jiwa yang tulus baik yang hidup di Eropa, Asia ataupun di belahan dunia yang lain, hendaknya ditarik ke dalam Keesaan-Nya dan direngkuh bersama, dalam barisan Satu Agama …. Maka berusahalah untuk meraih tujuan ini berlandaskan kerendahan – hatimu dan doa” (Izala Auham, hlm. 446).

Alam dan zaman memberi kesaksian, bahwa kini dunia dalam barisan menuju Satu Agama: Agama alam semesta, Agama fitrah manusia, yakni Islam (damai). Tibalah saatnya ”salib” dalam hati yang menghalangi perkembangan fitrah manusia dipatahkan guna menyongsong langit baru dan bumi baru. Integrasi religi lewat eksklusivisme moderat dan pluralisme keagamaan.[]

Penulis: K.H. S. Ali Yasir | Ketua Umum PB GAI Masa Bakti 1995-1999

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »