Tokoh

In Memorium Djodi Ahmad: Sosok Berperangai Lembut

Djodi Ahmad (berkemeja putih) pada Jalsah GAI Tahun 2016. Bersamanya dari kiri ke kanan: Ir. Muslich Zainal Asikin, Yudjono, S.H., dan Prof. Tina Afiatin.

Djodi Ahmad Husain Suparto, demikian nama lengkapnya. Lahir di Semarang, pada Selasa Pahing, 9 Januari 1951. Anak pertama, dari 6 bersaudara, dari pasangan Sayidati Fatimah Djojosoegito dan Ali Adi Wasono. Menikah dengan Rinie Sri Yanti, dan dikarunia 2 anak, Agam Ahmadi dan Firmah Rahmadi.

Sayidati Fatimah adalah anak ke-11 dari Raden Ngabehi H. Minhadjurrahman Djojosoegito, dari istri pertamanya, Raden Nganten Soemaryati. Dengan demikian, Djodi Ahmad adalah cucu dari Djojoseogito, Pendiri Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI).

Demikian tertulis dalam buku “Mengenang Perjuangan Rd. NGb. H. Minhadjurrahman Djojosoegito,” disusun oleh Nanang R.I. Iskandar dan Ahmad Setiawan Djojosoegito, dan diterbitkan bersamaan dengan momentum Silaturahmi Akbar Keluarga Besar Djojosoegito, pada 24-26 April 2015 di Yogyakarta.

Hari ini, Minggu, 16 Oktober 2022, ada kabar, beliau telah berpulang ke rahmatullah. Beliau wafat pada sekira jam 1.20 pagi, di Jakarta, dan dimakamkan siang harinya, selepas dzuhur, di TPU Menteng Pulo, yang ada di bilangan Jalan Casablanca, Jakarta Selatan.

Saya mengenal Pak Djodi, almarhum, untuk pertama kalinya, selagi mukim di Jakarta, antara tahun 2000 hingga 2004. Berkali-kali saya bertemu beliau dalam Pengajian Minggu Ketiga, atau dalam agenda Shalat Jumat, yang diselenggarakan oleh GAI cabang Jakarta, di Langgar Darussalam, Jalan Kesehatan, Jakarta Pusat.

Tapi pertemuan saya dan beliau yang cukup berkesan adalah ketika suatu waktu, pada sekitar tahun 2001 atau 2002, saya lupa persisnya, sempat berbincang secara empat mata, meski tak sampai berjam-jam, di rumah almarhum Bapak Nanang R.I. Iskandar.

Kebetulan, beliau sering bersilaturahmi ke kediaman Pak Nanang, sepupunya itu, di Jalan Persahabatan Raya, Jakarta Timur. Dan saya, kebetulan juga, waktu itu tengah bermukim di rumah Pak Nanang, dalam rangka membantu tata letak Quran Jarwa Jawi, sejak awal atau pertengahan tahun 2001.

Dan dari pertemuan itu, saya baru tahu, kalau beliau adalah kakak laki-laki dari Ibu Ida Rochani, yang tentu, sudah saya kenal sebelumnya.

Lalu, agak lama kemudian, saya berkali-kali bertemu beliau lagi di Jogja, terbilang sejak saya kembali ke Jogja tahun 2005. Dan sesudah 2019, sesudah saya pindah ke Kediri, rasa-rasanya hanya sekali atau dua kali saya bertemu beliau, pada acara Muktamar GAI di tahun 2019, dan Jalsah tahun 2021, kalau tidak salah.

Dari berkali-kali pertemuan dengan Pak Djodi, saya mendapati beliau sebagai orang yang berperangai lembut, bertutur kata yang santun, dan murah senyum. Dan kalau tersenyum, atau tertawa, membuat saya juga jadi ingin ikut tersenyum dan tertawa, karena melihat raut muka beliau yang sumringah, ditambah mata yang hampir memejam, ketika tersenyum atau tertawa itu.

Karena itu, meski saya tidak akrab betul dengan beliau, tapi yang saya tahu, beliau adalah orang baik, orang santun, dan tampak sebagai orang yang sabar dan pengasih.

Perangai Pak Djodi, persis sama dengan kebanyakan paman dan bibi, sepupu, atau keponakannya, yang saya kenal dan tahu, seperti Trio Ismullah (Pak Nanang, Pak Iwan, Pak Ishak), Pak Ahmadi, Pak Mamat, Bu Soepomo, Bu Prayogo, Pak Lilik, dll.

Saya menduga, begitu jugalah dulu perangai Ibu-Bapaknya, atau bahkan Kakek-Neneknya. Perangai yang mencerminkan sikap seorang Ahmadi, seorang yang menampilkan sifat-sifat jamaliah sebagaimana kita yakini ditampilkan oleh Rasulullah saw.

Saya berduka cita atas kepergian Pak Djodi, seperti halnya duka cita saya dengan kepergian orang-orang baik lainnya di lingkungan keluarga besar Gerakan Ahmadiyah.

Ada rasa kehilangan, tapi juga rasa “getun,” kata orang Jawa. Seringkali, setiap kali ada orang baik di lingkungan Gerakan ini yang wafat, saya bertanya dalam hati, kenapa harus mereka yang dipanggil duluan?

Tapi mungkin, itu yang terbaik. Sebab, saya yakin, Tuhan Maha Tahu, apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Dan kita biasanya tertipu, dengan apa yang kita anggap tidak baik, padahal menurut Tuhan adalah baik.

Selamat jalan orang-orang baik. Selamat jalan Pak Djodi yang baik. Insya Allah, orang baik husnul khotimah.

 

Kediri, 16 Oktober 2022
Asgor Ali

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »