Artikel

Iman Menuntun Manusia Pada Jalan Yang Benar

Iman adalah suatu kepercayaan atau keyakinan dalam hati, yang bukan saja terucap dengan lisan, melainkan harus terwujud dalam perbuatan. Artinya, iman adalah keyakinan yang menumbuhkembangkan motivasi untuk berbuat seperti yang diperbuat oleh yang diimani itu.

Kalau kita beriman kepada Allah, misalnya, maka kita harus terus-menerus mewujudkan sifat-sifat ketuhanan itu di dalam batin kita, kemudian kita aktualisasikan dalam perbuatan kita. Singkatnya, orang yang beriman kepada Allah adalah orang yang mewarnai akhlaknya seperti akhlak Allah.

Dalam hadits, Rasulullah saw. memerintahkan kita, takhallaqu bi akhlaaqillah, artinya “berbudi pekertilah kamu seperti pekerti-pekerti Allah.” Inilah yang dalam Qur’an Suci disebut sebagai sibghatallah, mengambil warna Allah. Allah adalah dzat yang selalu berbuat baik, maka kita juga musti selalu berusaha berbuat baik kepad asiapa pun dan tanpa pamrih apa pun. Allah adalah Dzat yang murah hati, maka kita juga harus bersikap murah hati, dst.

Demikian juga jika kita beriman kepada Rasulullah Muhammad saw., maka kita harus mempraktikkan perbuatan-perbuatan beliau.

Dalam QS 10:9, Allah berjanji bahwa kalau iman kita benar, seperti penjelasan di atas, maka Allah akan selalu memimpin kita di jalan yang benar. Pada akhir ayat yang menyebutkan adanya sungai-sungai yang mengalir di bawah kita di taman kenikmatan, menunjukkan bahwa dengan iman yang benar itu kita pasti akan mencapai sukses-sukses yang tentu akan melahirkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi kita.

Apakah sukses itu berarti bahwa kita akan mendapatkan kedudukan atau jabatan yang tinggi di masyarakat? Atau mendapatkan harta benda melimpah? Ternyata tidak selalu demikian. Sebab, kedudukan yang tinggi dan berlimpahnya harta benda, jika tidak dikelola dengan sebaik-baiknya, justru akan mencelakakan kita.

Lihatlah dalam kenyataan sekarang ini. betapa banyak orang yang masuk penjara justru karena tingginya kedudukannya. Betapa banyak pula orang yang terjerumus dalam perbuatan-perbuatan nista, justru karena mereka kelebihan harta. Lebih-lebih lagi jika tingginya kedudukan duniawi dan banyaknya harta benda itu menjadi tujuan hidup kita, sehingga kita akan lupa pada tujuan hidup yang sebenarnya, yakni pertemuan dengan Allah (liqa’ullaah).

Di dalam dua ayat sebelum ayat 9 di surat Yunus yang kita bahas ini, yakni ayat 7 dan 8, Allah berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang tak mengharapkan pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu, dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka upayakan.”

Memang, keindahan barang-barang duniawi memiliki daya tarik sedemikian hebat bagi siapa pun, sebagaimana dinyatakan oleh Allah sendiri dalam QS 3:13 sebagai berikut:

“Ditampakkan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”

Jelaslah, melalui ayat ini kita diberi tahu bahwa kita boleh saja memiliki atau bahkan berusaha keras untuk memiliki barang-barang kesenangan duniawi itu, sepanjang tidak menjadikan itu semua sebagai tujuan hidup kita, misalnya dengan menghabiskan seluruh waktu, tenaga dan perhatian kita dalam kesibukan mengurus harta kita, sementara kewajiban-kewajiban kita kepada Allah kita abaikan.

Kesadaran untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dari Allah hanya mungkin apabila ada dorongan iman yang kuat. Kekuatan iman akan mengantar kita kepada suatu tempat atau keadaan yang kita merasa dekat dan memang sungguh-sungguh dekat dengan Allah. Dalam posisi itu kekuatan Allah akan menjadi kekuatan kita, sehingga tangan Allah menjadi tangan kita, kaki Allah menjadi kaki kita, dst. Demikianlah dahsyatnya kekuatan iman.[]

Oleh: Mulyono, S.Ag

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »