Artikel

Hudud

Adalah jamak kata hadd artinya, penjegalan, pengekangan, larangan, dan sebagainya. Kata Hudud digunakan sebanyak empat belas kali dalam Quran Suci, sementara kata hadd sendiri tak pernah digunakan.

Hudud maknanya adalah aturanpembatasan atau undang-undang; hududullah digunakan sehubungan dengan aturan Allah tentang persoalan, misalnya perkawinan, perceraian dan perlakuan terhadap wanita (2:229-230; 58:4; 65:1), puasa (2:187) hukum waris (4:13-14); dan aturan umum tentang segala macam pembatasan (9:97, 112); hududulah digunakan dalam Quran Suci tidaklah berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut hukuman bagi pelanggaran suatu undang-undang, sebagaimana yang digunakan oleh Hadits Nabi dan Fiqh.

Asas pokok
Asas pokok dari segala peraturan pembatasan ialah al-ibahatu ashlum fil-asy ya’i atinya halal adalah akar dari segala sesuatu. Dengan perkataan lain, segala sesuatu dianggap halal (termasuk pula segala perbuatan manusia), kecuali jika itu dilarang oleh undang-undang, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat:

 “Dia ialah Yang menciptakan untuk kamu apa yang ada di bumi semua”  (2:29).

Menurut Hadits dan kitab Fiqh, hudud membahas hukum pidana dalam Islam, yang jenis dan bentuk hukumannya telah ditentukan oleh Syari (Pembuat syariat) yakni Allah Swt, tak bisa ditambah atau dikurangi. Namun harus diingat, bahwa hukuman barulah dijatuhkan jika orang melanggar hak-hak sesama manusia. Karena itu, orang yang meninggalkan salat, tak menjalankan puasa Ramadan atau tak menunaikan ibadah haji, ia tak dijatuhi hukuman; lain halnya jika orang tak membayar zakat.

Zakat adalah semacam pajak, dan Nabi Suci menetapkan pejabat resmi untuk mengumpulkan zakat yang harus diserahkan kepada Baitul-Mal (Kas Negara). Ini menunjukkan bahwa mengumpulkan zakat adalah wajib bagi negara. Itulah sebabnya mengapa pada waktu beberapa kabilah tak mau membayar zakat sepeninggaal Nabi Suci, sayidina Abu Bakar mengerahkan pasukan untuk memerangi mereka; langkah ini diambil oleh khalifah Abu Bakar, karena penolakan membayar zakat sama artinya dengan pemberontakan (bughat).

Jadi menurut syariat Islam tindak pidana yang harus dijatuhi hukuman ialah yang menyangkut masyarakat, yang hukumannya digariskan oleh Quran Suci:

“Adapun pembalasan suatu kejahatan (sayyiah) adalah hukuman (sayyiuah) yang seimbang dengan kejahatan itu: tetapi barangsiapa memaafkan dan memperbaiki diri; ia akan mendapat ganjaran dari Allah” (42:40).

Hukuman bagi orang yang melanggar dijelaskan dalam ayat:

Dan jika kami memberi hukuman (‘aqabtum), maka hukumlah (‘aqabtum) mereka sepadan dengan hukuman yang ditimpakan kepada kamu; tetapi jika kamu bersabar, niscaya ini lebih baik bagi orang yang bersabar” (16:126).

“Dan barangsiapa menghukum kejahatan (‘aqaba) dengan hukuman yang sepadan dengan yang ditimpakan kepadanya (‘uqiba), dan ia benar-benar ditindas, Allah pasti akan menolong dia” (22:60).

“Barangsiapa menyerang lebih dulu (i’tada) terhadap kamu, maka lukailah dia (i’tadu) seperti ia melukai kamu” (2:194).

Inilah sebagian ayat yang menjadi landasan umum tentang hukum pidana guna melindungi masyarakat, baik berkenaan dengan orang ataupun harta benda. Tingkat permulaan adalah memberi maaf kepada orang yang melanggar hukum, jika dengan pemberian maaf itu akan memperbaiki dirinya. Dalam fiqh hukum pidana atau jarimah (dosa, durhaka) ada tiga macam, yaitu jinayah, hudud dan takzir.

Kata jinayah (berasal dari kata naja-yajni maknanya mengambil atau kejahatan pidana atau kriminal) adalah tindak pidana yang menyangkut jiwa atau anggota badan. Sejak zaman Mekah permulaan, pembunuhan (qatl) adalah tindak pidana yang dikecam oleh Quran Suci, dan haram hukumnya (17:33: 6:151: 25:68-69). Hukumannya baru diundangkan pada zaman Madinah, berupa qishash atau pembalasan (2:178-179), yakni pembunuhan dibalas dengan pembunuhan, melukai dibalas dengan melukai, dan pemotongan dibalas dengan pemotongan (5:45).

Pembunuh dapat diberi keringanan, jika keluarga yuang dibunuh mengampuninya atau dibayar dengan uang tebusan yang disebut diat (4:92). Dalam Hadits dijelaskan bahwa diat berkaitan dengan pembunuhan karena tak sengaja (Abi Daud), jika yang membunuh tak ditemukan uang diat harus dibayar oleh Baitul-Mal (Bukhari), baik yang dibunuh seorang Muslim ataupun orang kafir (yang hidup di bawah perlindungan negara Islam). Menurut sementara fuqaha jinayah diidentikkan dengan jarimah yang artinya dosa atau durhaka, karena melanggar hukum syariat Islam.

Hudud, adalah tindak pidana perampokan (korupsi), pencurian, pezinahan dan mabuk. Pidana perampokan yang dalam Quran Suci disebut hirabah, melancarkan perang terhadap Allah dan Utusan-Nya yang menurut ayat 5:33 hukumannya ada empat amcam, yaitu:

  • Jika dalam perampokan itu terjadi pembunuhan, maka kepada orang yang bersalah haarus dijatuhi hukuman mati, dengan cara dipenggal, digantung, ditembak, dan lain-lain
  • Jika orang yang melakukan tindak pidana itu menimbulkan kerusuhan dalam negeri, maka perlu sekali tubuh orang yang disalib dibiarkan bergantung pada kayu palang untuk menjerakan
  • Bila kaum perampok itu berbuat melampaui batas, salah satu tangan dan kakinya boleh dipotong
  • Jika perampokan itu tidak begitu hebat, maka hukumamnya cukup dipenjara.

Pidana pencurian (sariqah)
Hukumannya dinyatakan Ilahi dalam Quran Suci 5:38-39 sebagai berikut :

“Adapun pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan mereka sebagai hukuman atas perbuatan mereka, hukuman teladan dari Allah. Dan Allah itu Yang Maha-perkasa, Yang Maha-bijaksana. Tetapi barangsiapa bertobat setelah berbuat lalim dan memperbaiki diri Allah akan kembali kasih sayang kepadanya”.

Atas dasar ayat ini potong tangan (qat’ul-yad) disebut hukuman teladan dari Allah adalah hukuman maksimal, dijatuhkan dalam pencurian berat. Jika tidak begitu berat dijatuhi hukuman penjara, sesuai dengan tujuan peradilan. Bisa juga dengan hukuman dera atau lainnya, tergantung situasi dan kondisinya, asal tujuannya adalah perbaikan diri (5:39).

Hukuman zina
Menurut Quran Suci, berbuat zina dan menuduh orang berbuat zina, dua-duanya diancam hukuman. Hukuman orang berbuat zina adalah hukuman dera, seratus kali pukulan dnegan disaksikan banyak orang (24:2), jika yang melakukan zina seorang budak hukumannya separuhnya (4:25), alias 50 kali pukulan.

Kata dera bahasa Arabnya jald, berasal dari kata jalada artinya memukul atau melukai. Oleh karena itu dera adalah hukuman yang terasa sekali pada kulit dan ini lebih banyak ditujukan untuk membikin malu daripada menyakiti orang yang dihukum. Rajam sebagai hukuman bagi orang yang melakukan perbuatan zina adalah syariat Yahudi. Nabi Suci pernah memberlakukan rajam karena belum menerima syariat Islam dera. Sedang hukuman orang yang menuduh seseorang berbuat zina tanpa mendatangkan empat orang saksi, hukumannya sama beratnya dengan orang yang berbuat zina (24:4-5).

Orang yang mabuk karena minuman keras juga dikenai hukuman. Hukumannya dipukul dengan ranting kayu, terompah atau tangan kosong. Tetapi jika akibatnya menganggu ketentraman umum bisa dijatuhi hukuman 80 kali pukulan, atau lebih berat lagi jika membahayakan kehidupan manusia, misalnya hukuman terhadap penyalahgunaan narkotika atau narkoba.

Takzir, artinya hukuman, yaitu hukum pidana yang mengatur hukuman bagi perkara-perkara yang tak termasuk dalam bidang jinayat dan hudud, misalnya : saksi palsu, pemalsuan, pencurian ringan, dan sebagainya. Hakim dapat menentukan sendiri hukuman apa yang harus dijatuhkan seperti: hukuman penjara, dera, denda dan sebagainya asal tak lebih berat daripada hukuman jinayat dan hudud. Bahkan hakim boleh saja memberi maaf atau memberi marah, asal hakim mempunyai keyakinan bahwa perbuatannya itu dapat memperbaiki kelakuan orang yang bersalah.

Hukum harus ditegakkan. Hukuman harus dilaksanakan secara adil, tanpa pandang bulu. Dilarang keras menghukum orang karena kejahatan orang lain. Juga dilarang menghukum orang gila atau anak-anak. Jika wanita yang bersalah sedang hamil, hukumannya harus ditangguhkan sampai ia melahirkan anaknya.[]

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »