Sentuhan Rohani

Hikmah Penderitaan Dalam Kehidupan

Allah melimpahkan penderitaan pada manusia itu bukanlah bermaksud agar manusia memikul penderitaan semata-mata, akan tetapi agar supaya manusia memajukan langkah dan semakin meningkat derajatnya. 

Oleh: Hazrat Mirza Ghulam Ahmad | Mujaddid Abad 14 H

Dalam kehidupan agama, ada dua macam penderitaan, yakni penderitaan syar’iyyah dan penderitaan samawiyah.

Penderitaan syar’iyyah antara lain shalat, puasa, haji dan zakat. Untuk menjalankan shalat, manusia terpaksa menghentikan segala urusannya yang lain, apalagi kalau harus pergi ke masjid. Pada saat musim dingin, harus bangun pada waktu akhir malam menjelang fajar. Pada waktu Ramadhan, seharian penuh harus menahan lapar dan haus. Waktu menunaikan haji, harus memikul berbagai kesulitan dalam perjalanan. Dalam menunaikan zakat, harus menyerahkan sebagian hasil usaha dan cucuran keringat kepada orang lain.

Ini semua adalah penderitaan syar’iyyah, yang merupakan penyebab adanya pahala bagi manusia. Lagi pula akan memperdekat langkahnya ke arah Tuhan. Namun demikian dalam semua masalah itu manusia diberi satu kelonggaran. Manusia diperbolehkan mencari cara yang cocok dan mudah baginya. Di waktu musim dingin, boleh saja memanaskan air untuk berwudhu. Karena menderita sakit tertentu dan tidak dapat menjalankan shalat dengan berdiri, maka shalat itu dapat dilakukan dengan duduk. Pada bulan ramadhan, di waktu sahur orang dapat bangun lalu makan sepuasnya. Bahkan sebagian orang pada bulan ramadhan lebih banyak mengeluarkan biaya konsumsi daripada hari-hari biasa di luar bulan ramadhan.

Jadi dalam mengalami penderitaan syar’iyyah itu, sedikit banyak manusia juga memperoleh keringanan. Oleh karena itu, dengan penderitaan syar’iyyah saja manusia belum bias mencapai kesucian ruhani secara sempurna dan tidak mungkin secepatnya meraih taraf taqarub billaah (dekat dengan Allah).

Penderitaan samawi yang turun dari langit, bila telah tiba manusia tidak berwenang untuk memilih dan menghindarinya. Mau tidak mau, manusia terpaksa harus memikul dan menanggungnya. Oleh karena itu, dengan pengalaman tersebut manusia bias mencapai tingkatan dekat dengan Allah.

Allah Ta’ala menjelaskan dua macam penderitaan, yakni syar’iyyah dan samawiyyah di atas dalam Al-Baqarah ayat ketiga.

Kaum beriman adalah mereka yang beriman kepada Dzat yang Ghaib, yakni Allah Ta’ala, dan menegakkan shalat. Orang yang menegakkan shalat ialah dia yang meskipun telah muncul ribuan khayalan yang mengaburkan dan memutarbalikkan konsentrasi jiwanya, namun dia berulang kali berusaha sampai titik maksimal kemampuannya untuk tetap tegak shalatnya dan tetap konsentrasi menghadap Ilahi Rabbi. Dan membelanjakan sebagian harta yang telah dianugerahkan kepadanya.

Itu semua adalah penderitaan syar’iyyah. Akan tetapi kita tidak dapat mengandalkan penderitaan syar’iyyah itu untuk memperoleh pahala secara sempurna. Karena manusia seringkali lalai dalam memikul penderitaan syar’iyyah. Kebanyakan orang karena tak tahu hakekat dan inti shalat, mereka hanya menjalankan shalat hanya sebagai upacara belaka. Oleh karena itu, untuk meningkatkan derajat manusia, ditetapkan juga penderitaan samawiyyah. Sehubungan dengan itu Allah Ta’ala menjelaskan dalam Qur’an Syarif:

“Sesungguhnya Kami akan menguji kamu dengan sesuatu dari ketakutan dan kelaparan dan kehilangan harta dan jiwa dan buah-buahan. Dan berilah kabar baik ikepada orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila suatu musibah menimpa mereka, mereka berkata: Sesungguhnya kami ini milik Allah, dan kami akan kembali kepadaNya. Inilah orang yang memperoleh karunia dan rahmat dari Tuhan mereka. Dan inilah orang yang terpimpin pada jalan yang benar” (QS AlBaqarah 2: 155-156).

Itulah musibah-musibah yang ditimpakan oleh Tangan Allah sendiri. Itulah salah satu ujian, yang kadang-kadang membuat manusia berada pada puncak ketakutan. Sehingga sering terlintas dalam benaknya, jangan-jangan akan sungguh-sungguh fatal jadinya. Dalam suasana semacam itu, dunia terasa sempit dan segala persoalan nampak amat sulit bagi manusia. Dalam ayat al-Qur’an di atas, disebutkan beberapa macam penderitaan samawi, misalnya penderitaan karena kerugian harta dalam bisnis, tokonya rusak atau kecurian. Penderitaan karena kerugian dari tanaman dan buah-buahan yang rusak karena dimakan hama. Penderitaan karena putra buah kasihnya meninggal dunia. Dalam istilah Arab, anak disebut juga tsamar (buah). Cobaan karena anak terasa amat menyusahkan. Banyak orang dalam keadaan bingung menulis surat kepadaku, agar aku mendoakan untuk anak-anak mereka. Cobalah anak begitu beratnya, sehingga beberapa orang yang lemah imannya menjadi ateis (ingkar Tuhan) disebabkan karena kematian anaknya. Ada juga orang yang terlalu mencintai puteranya, sehingga kecintaan kepada puteranya melebihi cintanya kepada Tuhan. Dengan demikian, secara tak langsung dia telah menyekutukan Allah dengan puteranya. Ada pula beberapa orang mengikuti puteranya menjadi Kristen, karena demi cintanya terhadap puteranya itu. Bahkan ada, kematian anak kecil menjadi penyebab lenyapnya iman ayah ibunya.

Akan tetapi Allah Ta’ala bukanlah kejam. Selama seseorang yang terlibat dalam kesulitan dan penderitaan itu sabar, maka kian bertambah kesabarannya, pahalanya juga semakin banyak. Allah Ta’ala adalah Maha pengasih lagi Maha pengampun. Allah melimpahkan penderitaan pada manusia itu bukanlah bermaksud agar manusia memikul penderitaan semata-mata, akan tetapi agar supaya manusia memajukan langkah dan semakin meningkat derajatnya. Kata para ahli sufi, bahwa di saat cobaan tiba, orang fasiq akan mengundurkan langkah (putus asa), tetapi bagi orang yang shalih akan semakin memajukan langkahnya.

(Malfuzhat, Jilid X, hlm. 77-85)

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »