Dalam momentum Hari Ibu yang sangat bermakna ini, alangkah baiknya bila kita bersama-sama mencermati arti ibu bagi anak-anak, peranannya dalam keluarga, Dan pandangan Islam terhadap ibu dan kaum wanita pada umumnya di era prolog maupun epilog Rasulullah Muhammad SAW.
Bagi kaum pria dan wanita, yang belum menjadi ibu, tentu tidak dapat membayangkan bagaimana selama sembilan bulan sepuluh hari seorang perempuan bernama ibu menimang si buah hati dalam perutnya. Bagaimana ibu mempertaruhkan jiwa raga untuk menyambut kelahiran buah hatinya. Bagaimana seorang ibu sekitar dua tahun menyusui anaknya. Bagaimana seorang ibu, merawat, membimbing, membesarkan anaknya sampai dewasa, bahkan sampai mereka memisahkan diri, untuk membangun keluarga sendiri.
Meski demikian, tidak berarti anak tersebut sudah berhenti membebani ibunya. Sebab dalam perjalanan hidupnya ia masih sering menghadapi problema yang muncul silih berganti. Bahkan kerap kali dia tidak kuasa menghadapinya. Akhirnya ia lari untuk merebahkan diri dalam rengkuhan ibundanya.
Seorang ibu juga akan menerima kehadiran anaknya dengan tangan terbuka bak layar terkembang. Manakala ibu mengetahui bila anaknya datang mengemban nestapa. Tanpa diminta ibu akan membantu dengan rasa tulus ikhlas penuh cinta untuk meringankan beban anaknya. Bahkan sering terjadi seorang ibu mengambil alih beban anaknya karena dia merasa kewajibannya sebagai ibu belum “tuntas”.
Meski dalam klasifikasi keluarga, ibu menempati posisi kedua setelah ayah. Namun dalam realita justru ibulah yang memegang peranan. Justru ibu yang memegang kendali rumah tangga. Membentuk keharmonisan. Memberi “warna” untuk anak-anaknya. Menciptakan “Surga”. Dan tak kalah penting, hanya ibulah yang piawai “menjinakkan badai” dalam sebuah rumah tangga.
Karena perilaku mulia seperti itu, terciptalah serangkaian kalimat indah untuk ibu, “Surga Berada Dibawah Telapak Kaki Ibu”.
Dulu, Zaman “sebelum” Rasulullah saw., pandangan kaum pria terhadap wanita (ibu dan kaum wanita umumnya) jauh berbeda. Wanita selalu dicampakkan. Dijadikan budak. Hanya dimanfaatkan sebagai pemuas “hasrat”. Tidak dipandang sebagai manusia, bahkan lebih rendah dari itu.
Namun dengan kehadiran Rasulullah Nabiyullah Muhammad SAW terjadi “Revolusi”. Islam mengangkat derajat wanita dari yang paling rendah hingga derajatnya sama dengan pria, dalam segala hal.
Adanya Revolusi harkat-martabat sereta penghormatan kepada wanita juga direalisasikan oleh Khalifah Abu Bakar. Dalam sebuah kisah, ketika isteri beliau marah-marah, Khalifah Abu Bakar yang dikenal sangat perkasa dan ditakuti, justru diam seribu basa.
Saat ditanya mengapa beliau bersikap demikian, maka jawabnya adalah karena dia (istrinya) adalah wanita yang tak terbalaskan jasanya. Dia telah mempertaruhkan jiwa raganya untuk anak-anak dan keluarga.
Di dalam Surat Al-Ahqaf (46:15) dinyatakan, “Kami haruskan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya. Ibunya mengandung dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun dia berdo’a “Ya Tuhanku, tunjukkan aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau Ridhoi ; Berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”
Umumnya, di sekitar usia empat puluh tahun, pada diri manusia akan terjadi kematangan jiwa. Yang ditandai adanya kesadaran batin dan kepekaan spiritual pada struktur kejiwaannya dan terjadinya situasi yang menarik, yaitu adanya kesediaan untuk “berkaca diri”, dan kesadaran terhadap pengetahuan dan pengalamannya.
Adanya kesadaran terhadap peran-peran pihak lain yang berpengaruh pada kehidupannya. Adanya perasaan berhutang budi, sehingga terjadi apresiasi kepada orang tua serta mensyukuri nikmat Tuhan.
Dengan berlandaskan kepada hal-hal tersebut, hasrat beramal saleh tumbuh dan keinginan untuk mendapatkan kenikmatan hidup melalui do’a-do’a dan harapan yang diajukan kepada Tuhan baik bagi dia sendiri, orang tua maupun keturunannya serta pengakuan adanya kesalahan yang dilakukan, dengan cara bertaubat dan berserah diri.
Dalam kaitannya dengan Hari Ibu, kami hendak menuliskan beberapa poin penting bagaimana Islam memandang dan memperlakukan seorang Ibu, dan kaum wanita pada umumnya.
Perlakuan adil terhadap kaum wanita
Pada dasarnya Islam menganut sistem “monogami”. Bila memiliki istri lebih dari satu, itu dimungkinkan terjadi dalam kondisi yang amat khusus. Seperti pasca peperangan, maka banyak suami yang meninggal. Banyak perempuan menjadi janda. Banyak anak yatim yang perlu dihidupi. Jadi, hal tersebut semata-mata untuk menyelamatkan mereka dari pekerjaan negative, seperti melacur, mencuri, merampok, dll.
Perlakuan adil kepada wanita tercermin dalam Surat An-Nisa (4;3), “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua atau tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinlah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah yang lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
“Hadging” atau pagar bagi kaum pria untuk tidak melakukan praktek poligami dipertegas dalam Surat An Nisa (4;129), ”Dan kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil di antara istri-istri kamu”.
Derajat Ketaqwaan
Kesetaraan derajat ketaqwaan wanita dan pria, tercermin dalam hal penerimaan Wahyu Illahi, sebagaimana tercermin dalam Surat Ali Imran (3;42) Dan ingatlah ketika Malaikat Jibril berkata : “Hai Maryam sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita didunia (yang semasa dengan kamu).
Selanjutnya, pada Surat Al-Qasas (28;7), “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah di kesungai (Nil). Dan jangan kamu khawatir dan jangan (pula) bersedih hati, karena Kami sesungguhnya akan mengembalikannya kepadamu dan menjadikan (salah seorang) dari para rasul”.
Pengembangan kemampuan dan berusaha
Dalam hal mengembangkan kemampuan dan berusaha, wanita juga memiliki kesetaraan dengan pria. Artinya, wanita juga memiliki kesempatan seperti pria. Hal tersebut tercermin dalam Surat An-Nisa (4;32), “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
Dalam kaitannya dengan hal itu, ada semacam anjuran guna mengamankan derajat wanita, yaitu adanya Wahyu Illahi yang diterima Nabi Suci dalam Surat Al-Ahzab (33;59), “Hai nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuan dan isteri-isteri orang mukmin. Hendaknya mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kedua ayat tersebut mengilustrasikan bahwa wanita juga dibolehkan mencari nafkah dengan bekerja diluar rumah, sekaligus membelanjakannya, seperti membantu suami atau pekerjaan yang biasanya dikerjakan pria, seperti, berjuang, berperang dll.
Disamping, agar kaum dapat menghidupi dirinya dari hasil keringatnya. Hal tersebut juga dimaksudkan agar pria tidak memperlakukan wanita semena-mena. Namun justru akan memberikan “appresiasi” terhadap prestasi wanita.
Mengulurkan jilbab, tidak berarti merintangi wanita untuk beraktivitas. Justru anjuran tersebut untuk mengamankan wanita semasa dalam kegiatannya diluar.
Hak waris
Surat An-Nisa (4;7) “Bahwa laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya. Dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
Sangat jelas, bahwa wanita juga memiliki hak untuk mendapatkan waris seperti pria, sesuai dengan ukuran masing-masing, karena Allah Yang Maha Bijaksana telah menetapkan ukuran-ukuran ciptaan-Nya, demikian juga untuk penerimaan waris juga telah ditetapkan sesuai dengan ukuran masing-masing.
Pemeliharaan Kehormatan dan Norma-Norma
Surat An-Nur (24:30-32) menerangkan, bahwa baik kaum laki-laki maupun kaum wanita agar sama-sama menjaga pandangan mereka dan memelihara kemaluannya dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya.
Ayat tersebut memberi peringatan tidak saja untuk wanita, namun juga untuk pria agar memelihara pandangannya dan memelihara kemaluannya. Karena dari pandangan tersebut dapat menumbuhkan rangsangan untuk melakukan perbuatan yang kurang baik, seperti nafsu syahwat, birahi dll.
Peringatan bagi kaum wanita agar jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali yang ada diluar (muka dan telapak tangan) adalah untuk menutupi bentuk-bentuk atau atau bagian-bagian tubuh yang indah. Karena sangat mudah membuat rangsangan kaum pria untuk melakukan perbuatan yang kurang baik.
***
Dari sekilas pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa Islam telah mensejajarkan wanita dengan pria. Dalam segala hal, baik dalam hal tingkat kerohanian maupun dalam hal pencarian nafkah atau usaha untuk mendapatkan materi, serta yang berkaitan dengan norma-norma. Kecuali dalam hal tuntutan kodratnya, masing-masing mempunyai tujuan sendiri-sendiri.
Sehingga yang dimaksud dengan “Revolusi” seperti diatas dapat dikatakan sebagai ”Revolusi Peradaban” karena tidak hanya ditujukan pada kaum wanita saja, namun juga kepada kaum pria. Menyangkut lahiriyah dan bathiniyahnya.
Dan bagaimanapun kita harus memberi apresiasi dengan mengucapkan terima kasih kepada para ibu.
Sampai di sini saya berfikir. Lalu kepada siapa para ibu dan kaum wanita umumnya harus berterima kasih, sehingga mereka dapat setara dengan kaum pria dalam segala hal.
Pertanyaan ini akan saya jawab sendiri, “Mereka harus berterima kasih kepada … Islam”.
Wallahualam bish-shawab.
Penulis: Fathurrahman Irshad | Gerakan Ahmadiyah Jakarta
Comment here