Beberapa waktu lalu, terjadi diskusi kecil di antara Dr. Iwan Yusuf, Drs. Asrori dan saya. Kami berbincang tentang gerhana bulan dan matahari sebagai tanda kemahdian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (HMGA). Diskusi kecil itu mendorong saya untuk mengeksplorasi kembali informasi tentang masalah ini. Meskipun, bagi saya, sesungguhnya perkara ini tidaklah terlalu penting.
Dalam perbincangan itu, Pak Asrori meriwayatkan peristiwa gerhana matahari yang kebetulan bersamaan dengan wafatnya Ibrahim, putra Rasulullah saw. Sebagian sahabat kemudian menganggap gerhana matahari itu terjadi akibat wafatnya Ibrahim. Tetapi Rasulullah saw. menolak anggapan itu. Singkatnya, dalam kesimpulan pak Asrori, dua peristiwa itu, yakni gerhana matahari dan kematian Ibrahim, tidak ada kaitannya sama sekali.
Atas dasar itu, pak Asrori mempersoalkan peristiwa gerhana bulan dan matahari di bulan Ramadhan tahun 1311 H/1894 M yang dikait-kaitkan dengan klaim HMGA sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan oleh Rasulullah saw.
Ada banyak alasan, saya bilang. Dari banyak alasan itu, menurut saya, yang terpenting adalah bahwa dua peristiwa itu, yakni klaim HMGA dan gerhana, dinubuatkan dalam Hadits, sekurang-kurangnya diriwayatkan oleh Daruquthni. Selengkapnya saya kutipkan berikut ini.
“Sesungguhnya ada dua tanda yang menunjukkan kedatangan al-Mahdi kita. Kedua tanda tersebut belum pernah terjadi sejak awal penciptaan langit dan bumi, yakni terjadinya gerhana bulan pada awal malam bulan Ramadhan, dan terjadinya gerhana matahari pada pertengahan bulannya. Peristiwa ini belum pernah terjadi sejak langit dan bumi diciptakan.” (HR Daruquthni)
Boleh jadi orang akan mengatakan bahwa hadits itu lemah (dlaif) atau bahkan rekayasa (maudhu’). Tetapi kalau nubuatan itu sungguh-sungguh terjadi, persoalannya tentu bukan lagi pada masalah lemah atau tidak, rekayasa atau bukan.
Memang benar, gerhana matahari atau gerhana bulan, dan juga peristiwa-peristiwa alam lainnya, terjadi secara alamiah sebagai ketetapan Allah (sunnatullah). Bahkan konon setahun kemudian, yakni tahun 1895, terjadi gerhana serupa pada tanggal dan bulan yang sama di tempat yang berbeda. Demikian pula terjadi hal yang sama di tahun 1937.
Dalam Hadits riwayat Daruquthni disebutkan bahwa gerhana semacam itu tidak pernah terjadi sejak diciptakannya langit dan bumi. Ini bukan berarti gerhana bulan dan matahari yang terjadi bersamaan dalam satu waktu seperti di bulan Ramadhan 1311 H itu belum pernah terjadi sebelumnya. Tetapi yang dimaksud “belum pernah terjadi” itu boleh jadi soal dua peristiwa bersamaan, yakni peristiwa keagamaan berupa klaim HMGA atas kemahdiannya bersamaan dengan peristiwa alam berupa gerhana matahari dan bulan di bulan Ramadhan.
Atau boleh jadi juga yang dimaksud adalah karena peristiwa gerhana matahari dan bulan itu memiliki kekhasan begitu rupa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam soal ini, ilmu pengetahuanlah mungkin yang layak berbicara.
Barangkali, melalui hadits itu, Rasulullah saw. hendak memberi kabar bahwa suatu saat nanti, bilamana ada seseorang yang mengaku sebagai Imam Mahdi, maka untuk menguji kebenaran atas pengakuan itu, salah satunya adalah peristiwa alam berupa gerhana bulan pada awal bulan Ramadhan dan gerhana matahari di pertengahan bulan yang sama.
Redaksi Hadits itu tentu dalam pengertian “pada awal waktu-waktu yang biasa terjadi gerhana bulan dan pertengahan waktu-waktu yang biasa terjadi gerhana matahari,” yakni gerhana bulan terjadi pada tanggal 13 Ramadhan, karena peristiwa ini hanya mungkin terjadi pada tanggal 13, 14 dan 15, sedangkan gerhana matahari terjadi pada tanggal 28 Ramadhan, karena peristiwa ini hanya akan terjadi pada tanggal-tanggal 27, 28 dan 29.
Jadi, bukan berarti karena pengakuan HMGA sebagai Imam Mahdi-lah yang menyebabkan terjadinya gerhana bulan dan matahari, sebagaimana halnya persangkaan para sahabat atas gerhana yang disebabkan oleh kematian Ibrahim. Melainkan di satu sisi ada pengakuan atau klaim HMGA sebagai Imam Mahdi dan di sisi lain ada peristiwa alam berupa gerhana matahari dan bulan yang terjadi secara alamiah sesuai jadwal yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala.
Alasan ini memang belum cukup kuat untuk mendukung kebenaran pengakuan HMGA sebagai Mahdi. Keraguan seperti ini bisa dipahami jika terdapat dua unsur. Pertama, jika pengakuan HMGA dilakukan sesudah terjadinya gerhana. Kedua, HMGA seorang ahli astrologi atau ilmu falaq yang bisa memperhitungkan terjadinya gerhana, sehingga beliau buru-buru membuat pengakuan sebelum terjadinya peristiwa itu.
Tetapi faktanya pengakuan HMGA sebagai Mahdi dilakukan sebelum terjadinya peristiwa gerhana itu. Kemudian, kendati setahun dan beberapa tahun berikutnya juga terjadi peristiwa yang sama pada tanggal dan bulan yang persis sama di tempat yang lain, tetapi tidak disertai adanya pengakuan dari seorang pun sebagai Imam Mahdi. Kedua, HMGA sejauh yang saya tahu bukanlah seorang ahli falaq atau sejenisnya.
Pertanyaan memang bisa diperlebar lagi. Misalnya, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat itu, peristiwa gerhana bisa dihitung dengan tepat atau nyaris tepat. Artinya, peristiwa gerhana seperti yang terjadi pada tahun 1894 itu bisa diketahui jauh sebelumnya.
Lalu, bagaimana seandainya sebelum terjadi peristiwa itu ada seseorang yang mengkalim sebagai Mahdi? Untuk menjawab pertanyaan seperti ini, sementara saya meminjam jawaban Pak Ali Yasir bahwa kata-kata ‘seandainya’, dalam Qur’an Suci, tak pernah menjadi kenyataan![]
Oleh: Mulyono | Sumber: Media Komunikasi Warga GAI No. 2 Tahun 2004
Pertanyanya, Adakah Bukti Catatan Astronomi atau Jurnal Ilmiah yang menyatakan pada masa itu Benar terjadi Gerhana dimaksud?