Diskursus

Gerakan Ahmadiyah Pecah Menjadi Dua

Setelah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad wafat, Maulvi Hakim Nuruddin (1841-1914) seorang wali dari Bherah memimpin Gerakan Ahmadiyah. Di bawah pimpinan beliau Gerakan Ahmadiyah terus berkembang pesat dan kompak.

Setelah beliau wafat pada hari Jumat 13 Maret 1914, segera diadakan musyawarah untuk memilih pengganti beliau memimpin Gerakan Ahmadiyah. Pilihan jatuh kepada Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, putera almarhum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad yang baru berusia 25 tahun.

Dalam bulan Maret 1914, beliau menyatakan pendapatnya. Pertama, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah betul-betul nabi. Kedua, beliau adalah Ahmad yang diramalkan dalam Quran Suci 61:6. Ketiga, semua orang Islam yang tak berbaiat kepada beliau adalah kafir dan keluar dari Islam, sekalipun tidak mendengar nama beliau (Aina Shadaqat, hal. 35).

Pendapat baru yang prinsipal-fundamental inilah yang menyebabkan pecahnya Gerakan Ahmadiyah menjadi dua golongan, yaitu yang berpusat di Qadian (sekarang di Rabwah Pakistan) di bawah pimpinan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad dan satunya lagi berpusat di Lahore di bawah pimpinan Maulana Muhammad Ali M.A., LL. B. (Masing-masing punya cabangnya di Indonesia, yang pertama bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang lebih dikenal dengan sebutan Ahmadiyah Qadian dan yang kedua bernama Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia disingkat GAI).

Golongan Qadian mempertahankan pendapat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad bahwa Pendiri Gerakan Ahmadiyah adalah nabi dan barangsiapa yang tak baiat kepada beliau hukumnya kafir dan keluar dari Islam.

Sebaliknya, golongan Lahore berpendapat dan yakin bahwa Nabi Suci Muhammad saw. adalah Nabi terakhir, sesudah beliau tak akan datang nabi lagi, baik nabi lama ataupun nabi baru, dan bahwa barangsiapa yang mengucapkan kalimat syahadat adalah orang Islam. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Mujaddid, bukan nabi, maka segenap kaum Muslimin yang tak baiat kepada beliau bukanlah orang kafir.

Menurut Maulana Muhammad Ali, pendirian Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad itu sudah keterlaluan sekali. Padahal sebelum tahun 1914 tak ada penyelewengan semacam itu. Pada tahun 1910 Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad telah menulis sendiri dalam majalah yang ia pimpin tatkala menafsiri ayat khaatamun-nabiyyiin, sebagai berikut:

“Dalam ayat ini Allah bersabda bahwa Nabi Suci adalah Nabi terakhir, dan sesudah beliau tak ada seorangpjn yang diangkat sebagai Nabi yang akan menghapus syariat Nabi Suci dan menggantinya dengan syariat baru. Para aulia dan para muttaqi dan para shalihin, semuanya hanya akan memperoleh segala sesuatu melalui syariat Nabi Suci. Jadi, Allah menjelaskan bahwa Kenabian Nabi Suci itu tidak saja dimaksud bagi abad beliau, melainkan pula bahwa sesudah beliau tak akan datang nabi lagi” (Tashyizh Azzhan, April 1910).

Demikian pula Mufti Muhammad Shadiq, salah seorang terkemuka dari golongan Qadian dalam majalah yang beliau pimpin, menulis pada tahun 1911 sebagai berikut:

“Maulana Shibli bertanya apakah kami menerima Mirza Ghulam Ahmad Sahib sebagai Nabi. Saya menjelaskan bahwa kepercayaan kami dalam hal ini sama dengan kaum Muslimin lainnya, yakni bahwa Nabi Suci saw. adalah Nabi terakhir dan sesudah beliau tak akan datang Nabi lagi, baik nabi lama ataupun nabi baru.

Memang benar bahwa Allah akan selalu bersabda kepada hamba-Nya dan ini pun berkat syafaat Nabi Suci. Adalah karena syafaat Nabi Suci bahwa di dalam unat ini selalu akan ada orang yang dikaruniai Wahyu Ilahi.

Oleh karena Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dikaruniai juga Wahyu Ilahi, dan melalui Wahyu itu Allah memberitahukan kepadanya peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, yang semuanya menjadi kenyataan, maka Mirza (Ghulam Ahmad) Sahib sebagai peramal dapat disebut nabi menurut istilah Arab” (Majalah Badr, jilid 9. No. 51-52).

Memang sebelum tahun 1914, semua pengikut Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sama pengertiannya bahwa perkataan nabi yang sering beliau ucapkan dan beliau tulis dalam kitab-kitab, ini tidak diartikan Nabi yang sebenar-benarnya, melainkan nabi majazi, sebagaimana terang dalam sabdanya: “Summiitu nabiyyan ‘alaa thoriiqil majazi, la alaa wajhil haqiiqah“, (Aku disebut nabi dalam arti kiasan, bukan dalam arti yang sebenar-benarnya) (Haqiqatul Wahyi).

Lebih tegas lagi beliau menyatakan sebagai berikut:

“Saya tidak pernah mengaku menjadi Nabi; pengakuan saya hanyalah sebagai muhaddats, dan pengakuan ini didasarkan atas perintah Ialhi. Jika ini disebut kenabian dalam arti kiasan atau disebut nabi juz’i (nabi sebagian), ini bukan berarti pengakuan sebagai Nabi.” (Izalah-i Auham, hal. 421-422).

Jadi terang bahwa pengakuan Mirza Ghulam Ahmad hanyalah sebagai muhaddats. Menurut istilah Islam, muhaddats ialah orang yang banyak menerima sabda Ilahi. Di dalam Hadis diterangkan bahwa para muhaddats ialah orang-orang yang menerima sabda Ilahi, sekalipun bukan nabi.

Sayidina Umar juga disebut muhaddats, karena beliau banyak menerima sabda Ilahi. Oleh karena sabda Ilahi merupakan sebagian kenikmatan yang diberikan kepada para Nabi, maka dalam kiasan para muhaddats itu disebut nabi majazi atau nabi juz’i, bukan Nabi yang sebenar-benarnya.

Maka dari itu, tatkala banyak orang menuduh beliau mengaku sebagai nabi, beliau dengan tegas menyatakan sebagai berikut:

“Ketahuilah wahai saudaraku kaum Muslimin, bahwa kata-kata semacam itu yang sering kali termuat dalam tulisan-tulisan saya… yaitu bahwa muhaddats dalam satu segi berarti nabi… kata-kata itu tidak dimaksud dalam arti yang sebenarnya, melainkan digunakan dalam arti yang lebih luas lagi …

Maka dari itu, saya tidak ragu-ragu sedikit pun untuk memberikan makna yang lain untuk menenteramkan saudaraku umat Islam semuanya, yakni apabila dalam tulisan-tulisanku digunakan perkataan nabi, hendaklah itu diartikan muhaddats, dan anggaplah perkataan nabi tidak ada lagi.” (Majmu’ah Isytiharat, jilid II, hal. 95, 3 Februari 1892).

Jadi terang sekali bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sedikit pun tidak mendakwahkan diri sebagai Nabi. Beliau meyakinkan kepada lawan-lawannya, bahwa perkataan nabi yang sering termuat dalam tulisan-tulisan beliau itu tak mempunyai arti lain selain muhaddats, dan bahwa beliau menganjurkan agar perkataan nabi itu dihilangkan saja.

Akan tetapi Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad justru membuat pengumuman yang sebaliknya, antara lain berbunyi sebagai berikut:

“Doktrin tentang nabi, itu diberikan kepada beliau (Hazrat Mirza Ghulam Ahmad) pada kira-kira tahun 1900-1901. Oleh karena pernyataan Ek Ghalati Ka Izala itu baru diumumkan pada tahun 1901, maka ini membuktikan bahwa selama tahun 1901 itu beliau merubah kepercayaan…

Maka dari itu, semua tulisan beliau sebelum tahun 1901 yang berisi sangkalan bahwa beliau seorang nabi, ini dihapus. Jadi salah sekali jika menarik kesimpulan dari tulisan-tulisan tersebut” (Haqiqatun Nubuwwat, hal. 121).

Jadi terang sekali, bahwa menurut pengumuman Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, semua pengikut Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebelum tahun 1901, sama sikap dan pengertiannya terhadap beliau. Maka masalahnya sekarang benarkah sejak tahun 1901 Hazrat Mirza Ghulam Ahmad merobah kepercayaannya?

Menurut Maulana Muhammad Ali, teori perobahan kepencayaan ini bikin-bikinan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad sendiri. Maulana Muhammad Ali tidak menemukan sepatah kata pun yang menerangkan bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad merobah kepercayaannya, baik sebelum maupun sesudah tahun 1901.

Maka dari itu Maulana Muhammad Ali berulangkali mengajukan tantangan kepada Basyiruddin Mahmud Ahmad untuk membuktikan kebenaran ucapannya itu di muka umum, bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad pernah berkata bahwa tulisan-tulisan atau ucapan-ucapan beliau sebelum tahun 1901 yang menerangkan nabi majazi atau nabi juz’i itu keliru semuanya, dan harus dianggap telah hapus. Akan tetapi tantangan itu tidak pernah ditanggapi, bahkan para muridnya dilarang untuk membaca tulisan Maulana Muhammad Ali.

Berkenaan dengan pengumuman Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad di atas, Maulana Muhammad Ali membuat Pernyataan (Manifesto) yang ditanda tangani pula oleh 70 sahabat Hazrat Mirza Ghulam Ahmad yang isinya sebagai berikut:

“Kami, yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan di atas sumpah, bahwa pada tahun 1891 tatkala Hazrat Mirza Ghulam Ahmad di Qadian, Pendiri Gerakan Ahmadiyah, mengumumkan bahwa menurut Quran Suci, Nabi Isa a.s. telah wafat dan bahwa beliau adalah Masih umat ini yang dijanjikan dalam Hadis, beliau tidak mendakwahkan diri sebagai Nabi.

Namun demikian, para ulama menyesatkan orang-orang dan menyatakan beliau sebagai orang kafir, dengan alasan palsu bahwa beliau mendakwahkan diri sebagai Nabi, yang kemudian berulangkali dijawab oleh Masih Mau’ud sebagaimana terbukti dalam tulisan-tulisannya, bahwa tuduhan dakwah sebagai Nabi adalah bikin-bikinan mereka sendiri: beliau menerangkan bahwa kenabian itu telah berakhir pada Nabi Suci Muhammad saw. dan siapa saja mendakwahkan diri sebagai Nabi sesudah Nabi Suci adalah pembohong dan kafir. ….

Kami menyatakan pula di atas sumpah bahwa kami berbaiat kepada Masih Mau’ud sebelum tahun 1901, dan menyatakan bahwa pendapat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, kepala golongan Qadian, bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mula-mula memang tidak mendakwahkan diri sebagai Nabi, akan tetapi beliau merobah kepercayaannya pada tahun 1901 dengan mendakwahkan diri sebagai nabi pada tahun itu, dan bahwa semua tulisan beliau yang sudah-sudah yang selama sebelas tahun menyangkal dakwah kenabian, ini telah dihapus. Pendapat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ini keliru dan bertentangan dengan kenyataan.

Demi Allah kami, bersumpah, bahwa tak pernah terlintas dalam hati kami, bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad pemah merobah dakwahnya pada tahun 1901, dan bahwa tulisan-tulisan beliau yang penuh sangkalan terhadap dakwah kenabian sudah dihapus; demikian pula kami tidak pernah mendengar dari mulut seorang pun yang mengatakan kata-kata seperti tersebut di atas, sampai datangnya pengumuman dari Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad.” (Nubuwwatu fil Islam, oleh Maulana Muhammad Ali, hal. 266-267).

Di samping itu, Maulana Muhammad Ali menantang Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad supaya membuat Pernyataan di atas sumpah yang ditandatangani pula oleh para pengikutnya yang berbaiat kepada Masih Mau’ud sebelum tahun 1901, yang isinya menyatakan di atas sumpah bahwa pada bulan November 1901 mereka mengetahui, bahwa sesudah sebelas tahun menyangkal dakwah kenabian, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad merobah kepercayaannya dan mendakwahkan diri sebagai Nabi, dan bahwa tulisan-tulisan beliau tentang sangkalan kenabian sebelum tahun 1901 semuanya dihapus.

Akan tetapi sekalipun tantangan itu berkali-kali diajukan, kepala golongan Qadian tidak dapat memberi satu pernyataan pun. Ini membuktikan bahwa pengumuman Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad yang membawa perpecahan Gerakan bahwa Masih Mau’ud telah merobah kepercayaannya adalah bikin-bikinan belaka.

Sekali lagi Maulana Muhammad Ali menjelaskan kepada golongan Qadian, bahwa Masih Mau’ud tidak pernah merobah kepercayaannya, baik sebelum maupun sesudah tahun 1901. Sebagai bukti, beliau mengutip beberapa tulisan Masih Mau’ud yang ditulis sesudah tahun 1901, antara lain sebagai berikut:

“Allah berwawan sabda dengan para Wali umat ini (umat Muhammad) dan mencelup mereka dengan warna kenabian, akan tetapi mereka bukan nabi yang sesungguhnya, karena Quran Suci adalah undang-undang yang sempurna” (Mawaahibur-Rahman, hal. 64, Januari 1903).

“Oleh karena Nabi Suci saw. adalah Nabi terakhir, maka sesudah beliau tak akan datang Nabi lagi” (Tadzkiratusy-Syahadatain, hal. 43, tahun 1903).

 

Ahmadiyah Anjuman Isha’ati Islam, Lahore

Perbedaan prinsip dan fundamental itu sukar dipertemukan, maka Maulana Muhammad Ali dan kawan-kawan membentuk Shadr Anjuman Ahmadiyah baru untuk meneruskan missi suci yang telah digariskan oleh Mujaddid Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dan berpusat di Lahore dengan nama Ahmadiyah Anjuman Isha’ati Islam, Lahore.

Maulana Muhammad Ali sebagai Presiden atau Amir Shadr Anjuman. Di bawah kepemimpinan beliau organisasi terus dibenahi, penulisan buku-buku lebih digalakkan dan tabligh Islam digiatkan sehingga Ahmadiyah Anjuman Isha’ati Islam telah mengeluarkan ratusan buku dalam berbagai macam bahasa dunia yang kebanyakan disiarkan secara cuma-cuma, dan mengirimkan muballigh untuk membuka pusat-pusat dakwah di seluruh pelosok dunia, misalnya:

  1. Tabligh Islam di Inggris. Dirintis oleh Khawaja Kamaluddin, seorang tokoh Ahmadiyah Lahore yang termasyhur. Beliau selain seorang orator juga penulis yang produktif dan tajam penanya. Tidak kurang dari tiga puluh buku telah beliau tulis dan majalah bulanan Islamic Review beliau terbitkan. Tugas beliau digantikan oleh Maulana Shadruddin, lalu dilanjutkan oleh Maulvi Abdul Majid dan dilanjutkan lagi oleh Maulana Aftabuddin Ahmad yang juga penulis produktif.
  2. Tabligh Islam di Jerman. Dalam tahun 1922 Maulana Shadruddin dikirim ke Berlin yang telah berhasil menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jerman dan mendirikan sebuah Masjid di pusat kota. Tabligh Islam di Jerman diteruskan oleh F.A. Khan Durrani, kemudian oleh Dr. S.M. Abdullah yang digantikan oleh Hikmat Satre setelah Dr. S.M. Abdullah wafat dalam tahun 1936.
  3. Tabligh Islam di Wina dipimpin oleh seorang Muslim Eropa bernama Umar Rolf Baron Ehrenfels.
  4. Tabligh Islam di kepulauan Fiji dipimpin oleh Mirza Muzaffar Baig Sati. Perkembangan Ahmadiyah Lahore di Fiji amat pesat. Sekarang anggotanya tidak kurang dari 2.000 orang dan telah menerbitkan banyak buku dan majalah.
  5. Tabligh Islam di Trinidad dipimpin oleh Haji Maulvi Amir Ali Perkembangan Ahmadiyah di sini juga cukup membanggakan.
  6. Tabligh Islam di Spanyol. Berkat rahmat Allah Ahmadiyah Lahore dapat membuka tabligh Islam dan sekarang Anjuman telah menerbitkan Tafsir Alquran ke dalam Bahasa Spanyol.
  7. Tabligh Islam di Albania. Ahmadiyah Lahore di Albania telah berhasil membuka pusat dakwah dan menerbitkan majalah Drita.
  8. Tabligh Islam di Amerika Serikat. Berkat dakwah Ahmadiyah di Amerika Serikat, di sana bisa berdiri The Black Muslim yang salah satu anggota petinju terkenal Muhammad Ali yang telah banyak membantu Ahmadiyah Lahore
  9. Tabligh Islam di Canada. Kini di Canada telah berdiri Ahmadiyah Anjuman lsha’ati Islam Canada yang salah seorang tokohnya baru-baru ini berkunjung ke Indonesia.
  10. Tabligh Islam di Timur Tengah. Negara-negara Timur Tengah dan Teluk Persi juga merupakan daerah dakwah Ahmadiyah Lahore. Banyak buku-buku telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab.
  11. Tabligh Islam di Afrika. Negara-negara Afrika yang telah menikmati Islam lewat dakwah Ahmadiyah Lahore misalnya: Mesir, Afrika Barat, Afrika Timur, Afrika Selatan, Tunisia, Gambia, Sierra Leone dan Nigeria.
  12. Tabligh Islam di Suriname. Di Suriname perkembangan Islam dan Ahmadiyah amat menggembirakan. Puluhan Masjid telah dibangun. Juga madrasah dan pusat-pusat dakwah. Bapak Nataprawira adalah salah seorang Jawa yang menjadi tokoh Ahmadiyah yang berwibawa.
  13. Tabligh Islam di Negeri Belanda. Ahmadiyah Lahore di Negeri Kincir Angin ini cukup maju. Sekarang selain ditangani oleh para muballigh dari Pusat Anjuman, juga ditangani oleh seorang Muslim Belanda, Mr. Yahya Muhammad Ali (J. Keeskamp) yang masuk Islam di Indonesia pada tahun 1938.
  14. Tabligh Islam di Indonesia. Pusat Anjuman Ahmadiyah Lahore dalam tahun 1924 mengirimkan dua orang muballigh Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig ke Indonesia. Berkat kedua muballigh inilah Ahmadiyah Lahore berkembang di Indonesia yang akhirnya berdiri Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GAI) yang kini telah berusia 60 tahun.

Setelah Maulana Muhammad Ali wafat pada tanggal 13 Oktober 1951, Presiden atau Amir Jemaat Gerakan Ahmadiyah Lahore dipegang oleh Maulana Shadruddin (1881-1981). Beliau salah seorang sahabat Masih Mau’ud yang setia, tulus, cerdas, bijaksana, arif dan produktif.

Sejak tahun 1909 beliau menjabat Kepala Sekolah Ta’liimul Islaam High Shcool di Qadian. Dengan terjadinya perpecahan dalam Ahmadiyah pada tahun 1914, jabatan itu terpaksa beliau lepaskan, karena beliau meninggalkan Qadian hijrah ke Lahore untuk membantu Maulana Muhammad Ali mengemudikan Ahmadiyah Anjuman Isha’ati Islam Lahore.

Selama tiga tahun (1914-1917) beliau menggantikan Khawaja Kamaluddin sebagai Imam Masjid Syah Jehan Woking dan editor majalah Islamic Review dan korektor Tafsir The Holy Qur’an yang tengah dikerjakan oleh Maulana Muhammad Ali, MA., LL. B.

Banyak orang Inggris yang masuk Islam karena bimbingan beliau, antara lain J.W. Lovegrove yang banyak memberikan sumbangan kepada penyiaran Islam. Tatkala beliau bertugas di Jerman lebih banyak lagi orang-orang Jerman yang memeluk Islam, antara lain: Prof. A.K. Germanus, Said F. Valyi, Abd al-Rahman Roseler, Dr. Hamid Marcus dan Baron Ehrenfels Rolf Umar.

Beliau adalah seorang penulis yang produktif sekali. Puluhan buku telah beliau tulis, antara lain: Are The Gospels Inspired? The Triump Of the Holy Qur’an, The Quran and War, Fundamentals of Christian Faith in the Light of the Gospels, Islam is Modern, Characteristic Teachings of the Quran, Gholba-i Quran, Jamhuuriyat-i Islamia, Zoruurat-i Hadith, Khosoisul Quran, Muhammad-i Mustafa Zaman-i Haal Ki Paighambar, dan sebagainya.

Di bawah kepemimpinan beliau Ahmadiyah Anjuman Isha’ati Islam banyak mengalami kemajuan. Selain penerbitan buku-buku dan majalah, juga telah dibangun Kantor Pusat Anjuman, gedung Idarah Ta’limul Qur’an, Ahmadiyya Guest House dan Kompleks Pertokoan Ahmadiyah Buildings di kawasan Brandreth Road, Lahore, yang sekarang merupakan sumber dana bagi Gerakan.

Pada hari Ahad tanggal 15 November 1981, beliau wafat dengan tenang dalam usia 101 tahun. Lima hari kemudian (tanggal 20 November 1981) Amir Ahmadiyah Anjuman Isha’ati Islam Lahore telah terpilih, yaitu dr. Saeed Ahmad Khan, SK. Beliau lahir pada tanggal 9 Oktober 1900. Baiat di bawah tangan Mujaddid dalam usia 8 tahun. Jadi beliau termasuk sahabat Masih Mau’ud.

Selama beberapa tahun beliau menyerap ilmu agama Islam di Qadian. Setelah lulus dari Medical College di Lahore, beliau menjadi pegawai negeri yang bertugas di Departemen Kesehatan di Provinsi Sarhad, Pakistan. Selama belajar di Medical College, juga belajar agama secara rutin yang diasuh oleh Maulana Muhammad Ali MA., LL. B.

Spesialisasi beliau adalah penyakit paru-paru. Atas ketulusan dan dedikasi beliau yang tinggi, Pemerintah Pakistan menganugerahi bintang kehormatan Setar-i Khidmat (S.K.) dan Pemerintah Inggris memberikan gelar kehormatan “Khan Bahadar”.

Setelah pensiun, tahun 1964, beliau mendirikan Klinik dan membuka praktek di Abbot Abad. Berkat ridlo Allah, lantaran beliau telah ribuan orang yang hampir putus harapan dapat disembuhkan. Klinik beliau maju pesat.

Akan tetapi sayang, hal itu tak berlangsung terus, karena pecahnya huru-hara anti Ahmadiyah pada tahun 1974 klinik tersebut diporakporandakan oleh bangsanya sendiri yang mengaku sebagai pahlawan dan pejuang Islam itu. Peristiwa memalukan itu menyebabkan beliau hijrah ke Lahore dan lebih berkhidmat kepada Gerakan dengan jabatan sebagai Wakil Presiden Ahmadiyah Anjuman Isha’ati Islam.

Perhatian beliau lebih banyak ditujukan kepada pengembangan Gerakan dan penyiaran Islam di luar negeri, seperti: India, Amerika Serikat, Bangladesh, Jerman, Perancis, Inggris, Belanda dan Guyana. Lebih-lebih setelah beliau menjabat sebagai Amir atau Presiden Ahmadiyah Anjurnan Isha’ati Islam, pengembangan Gerakan dan penyiaran Islam di luar negeri lebih ditingkatkan lagi.

Dalam rangka memperingati 100 tahun Ahmadiyah diterbitkan Tafsir Alquran ke dalam bahasa-bahasa: Jepang, Cina, Jerman, Perancis, Rusia dan Spanyol. Semoga Allah SWT. tetap melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada beliau agar mampu mengemudikan Gerakan selaras dengan kehendak-Nya.[]

 

Sumber: Buku “100 Tahun Ahmadiyah, 60 Tahun Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia: Sejarah Singkat Perkembangan dan Sumbangannya  terhadap Pembelaan dan Penyiaran Islam,” Media Komunikasi No. 02/1989, diterbitkan oleh Bagian Tabligh dan Tarbiyah PB GAI.

Yuk Bagikan Artikel Ini!
Translate »