Masa Setengah Abad Gerakan Ahmadiyah Indonesia
Tahun 1924, beberapa bulan setelah K.H. Ahmad Dahlan wafat, Pengurus Besar Muhammadiyah menerima kunjungan dua orang muballigh Anjuman Ahmadiyya Isha’ati Islam Lahore (AAIIL), yakni Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig.
Dalam riwayat, keduanya tengah dalam perjalanan dari India menuju Cina. Akan tetapi ketika bersinggah di Singapura, mereka mendengar berita bahwa di pulau Jawa gerakan missionarisme Kristen memperoleh sukses besar. Keduanya pun memutuskan mengubah haluan menuju Pulau Jawa, setelah mendapat restu dari Shadr Anjuman (Pimpinan Pusat) AAIIL, yang saat itu masih dijabat oleh Maulana Muhammad Ali.
Tiba di Yogyakarta, keduanya disambut oleh keluarga besar Muhammadiyah. Dalam Kongres Muhammadiyah ke-13, 28 Maret – 1 April 1924, keduanya diperkenankan memberikan pidato sambutan. Maulana Ahmad memberikan pidato dalam bahasa Arab, sementara Mirza Wali Ahmad Baig berpidato dalam bahasa Inggris. Majalah Bintang Islam dan harian Cahaya Timur menyebut pidato kedua muballigh itu sebagai “ruh baru yang ditiupkan dalam Gerakan Islam di Indonesia”.
Selang beberapa bulan sesudah Kongres tersebut, Muhammadiyah mengirimkan beberapa pemuda untuk melakukan studi ke Lahore, India, dimana AAIIL berpusat. Mereka yang diutus ke Lahore antara lain Chaffie, Machdoem, Jundab (anak H. Moekhtar), Moehammad Sabitoen (anak H. Abdul Wahab, Wonosobo), Maksum (anak H. Hamid), dan Jumhan (alias Irfan Dahlan, anak pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan).
Menjelang penghabisan tahun 1924, karena kondisi kesehatannya yang kian memburuk, Maulana Ahmad memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Maka tinggallah Mirza Wali Ahmad Baig seorang diri. Karena bahasa yang beliau kuasai hanya bahasa Inggris, maka dalam riwayat hanya kalangan muda dan kaum terpelajar yang mengecap Pendidikan Belanda sajalah yang pada gilirannya sering melakukan diskusi dan kajian bersama beliau.
Kalangan terpelajar yang sering melakukan diskusi dengan Mirza Wali Ahmad Baig antara lain dari kalangan guru-guru HIS Muhammadiyah. Mereka yang tercatat antara lain Soedewo Parto Kusumo, Moehammad Koesban, Soenarto, Moehammad Hoesni, dan Oesman. Beberapa murid Kweekschool Muhammadiyah, seperti Muhammad Irshad dan Mufti Sharif, belakangan bergabung dalam lingkar diskusi ini.
Lingkar diskusi ini kemudian menerbitkan berbagai buku dalam bahasa Belanda, karya terjemah Soedewo P.K. dari berbagai buku bahasa Inggris terbitan AAIIL. Buku yang terbit dari kelompok ini antara lain De Leerstellingen van der Islam, Het Geheim van Het Bestaan, Islam de Religie van het Menschdom, Het Nut van God, De Gebrote van Jesus, dan Mirza Ghulam Ahmad de Man.
Pada 1 Januari 1925, lingkar diskusi ini mendirikan organisasi Jong Islamieten Bond (JIB). Ketua pertama adalah R. Syamsurijal (Raden Syam), sementara Soedewo P.K bertindak sebagai Wakil Ketua. Organisasi ini banyak menerbitkan buku, brosur dan majalah. Salah satu majalah yang kemudian menjadi banyak pembicaraan adalah Majalah Het Licht, yang banyak mengulas berbagai kajian dengan tema keislaman dan gerakan pembaharuan (tajdid). Mirza Wali Ahmad Baig menjadi salah satu pengisi tetap di majalah ini.
Dalam tahun yang sama, Minhadjurrahman Djojosoegito (Sekjen PB Muhammadiyah periode 1918-1921) dan Moehammad Hoesni, yang saat itu masih menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PB Muhammadiyah, mendirikan perkumpulan Moeslim Broederschap. Dalam beberapa bulan, banyak bergabung murid-murid Kweekschool Muhammadiyah antara lain Soetopo, Moestopo, Soepratolo, dan Kayat.
Anggota JIB pun ikut juga bergabung dalam organisasi ini, antara lain tercatat Syamsurijal, Seodewo P.K. dan Moehammad Koesban. Adapun Mirza Wali Ahmad Baig duduk sebagai penasihat organisasi. Moeslim Broederschaap menerbitkan majalah bertajuk Correspondentie Blad yang juga memuat artikel dengan tema keislaman dan pembaharuan.
Tahun 1925, terjadi perdebatan antara Haji Rasul, ayahanda HAMKA, dengan Mirza Wali Ahmad Baig. Haji Rasul datang ke Yogyakarta dalam rangka mengikuti Kongres Muhammadiyah ke-14. Haji Rasul, antara lain memperkarakan soal adanya isu nabi baru di kalangan Ahmadiyah.
Dalam hal ini, Mirza Wali Ahmad Baig menjelaskan bahwa yang dimaksud Haji Rasul adalah pemahaman yang diusung oleh Qadiyani, yang menganggap Pendiri Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, sebagai nabi. Sementara, Ahmadiyah Lahore, kelahirannya justru adalah untuk menentang pemahaman itu, dan memurnikan Ahmadiyah dari paham yang bertentangan dengan pemahaman Islam atas berakhirnya kenabian pada diri Muhammad saw, sebagai khatamun-nabiyyin.
Tahun 1926, Minhadjurrahman Djojosoegito dipindahkan ke Purwokerto karena harus mengajar di Kweekschool Negeri Purwokerto. Dalam sebuah riwayat, sebelum keberangkatannya ke Purwokerto, Djojosoegito menanyakan kepada Mirza Wali Ahmad Baig, apakah kedatangannya ke Yogyakarta adalah dalam rangka mendirikan organisasi Ahmadiyah di Indonesia. Tetapi Ahmad Baig menjawab bahwa kehadirannya di Yogyakarta tidak untuk itu, melainkan untuk membantu umat Islam di Nusantara dalam membela perkara Islam.
Tahun 1927, datanglah seorang muballigh dari India bernama Abdul Alim Ash-Shidiqi di Pulau Jawa. Ketika tiba di Yogyakarta, PB Muhammadiyah juga menyambut beliau dalam sebuah pertemuan. Dalam forum ini, beliau menyampaikan pidato yang bernuansa propaganda anti Ahmadiyah. Pidato inilah yang konon menyebabkan hubungan antara Pengurus Muhammadiyah dan berbagai kalangan yang tergabung dalam kelompok diskusi dan atau organisasi dalam lingkar Mirza Wali Ahmad Baig semakin memburuk.
Dalam konggres Islam di Yogyakarta, tanggal 26-29 Januari 1928, H. Oemar Said Tjokroaminoto memperkenalkan terjemahan Quran Suci dalam bahasa Melayu, yang beliau terjemahkan dari The Holy Qur’an karya Maulana Muhammad Ali. Dua minggu kemudian, pada Kongres Muhammadiyah ke-17, tanggal 12-20 Februari 1928, Sekretaris PB Muhammadiyah Joenoes Anis menyatakan bahwa Muhammadiyah menolak Quran terjemahan H.O.S Tjokroaminoto. (Lihat pengantar Agoes Salim untuk karya terjemah ini di sini)
Tanggal 5 Juli 1928, PB Muhammadiyah menerbitkan Maklumat No. 294. Isi Maklumat tersebut antara lain menyatakan bahwa “ilmu dan paham Ahmadiyah dilarang diajarkan di lingkungan Muhammadiyah”. Maklumat ini juga menegaskan bagi anggota Muhammadiyah yang tetap menganut paham Ahmadiyah untuk menentukan pilihan dengan pernyataan “keluar dari Muhammadiyah atau membuang ajaran Ahmadiyah”.
Dalam waktu tidak lama sesudah terbitnya Maklumat itu, Moehammad Hoesni diberhentikan dari tugasnya sebagai Sekjend PB Muhammadiyah. Segala arsip dokumen organisasi Muhammadiyah yang berada di rumahnya yang saat itu menjadi sekretariat organisasi diambil. Demikian halnya juga dengan Djojoseogito, yang diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua Muhammadiyah Cabang Purwokerto.
Akhir tahun 1928, Djojoseogito menginisiasi sebuah pertemuan di Yogyakarta dengan berbagai kalangan yang masih bersetia dalam kelompok diskusi Mirza Wali Ahmad Baig. Pertemuan diselenggarakan pada tanggal 10 Desember 1928. Pertemuan inilah yang kemudian menghasilkan keputusan untuk mendirikan organisasi baru dengan nama Gerakan Ahmadiyah Indoesia centrum Lahore.
Para pendiri sekaligus mubayin (orang yang berba’iat) pertama organisasi ini adalah Moehammad Irshad, Moehammad Sabiteon, R. Ng. Minhadjurrahman Djojosegito, Mirza Wali Ahmad Baig, Moehammad Hoesni, Moehammad Kafi, Hardjosoebroto, Idris L. Latjuba, K.H. Sya’rani, K.H. Abdoerrahman Pliken, dan R. Seopratolo. Sementara itu, Soedewo Parto Koesoemo baru berbai’at belakangan setelah didatangi oleh Moehammad Hoesni dan Mirza Wali Ahmad Baig.
Dalam kepengurusan yang pertama kali, Ketua Pedoman Besar dijabat oleh R. Ng. Minhadjoerahman Djojoseogito, Wakil Ketua dijabat oleh K.H. Sya’rani, sementara Moehammad Hoesni menjabat sebagai Sekretaris.
Masa Pra Kemerdekaan
Tahun 1929, cabang-cabang GAI di berbagai daerah berdiri, antara lain Purwokerto (ketua K.H. Sya’rani), Pliken (ketua K.H. Abdoerrahman), Surakarta (ketua Moehammad Koesban), dan Yogyakarta (ketua R. Soepratolo). GAI cabang Malang terbentuk setelah Djojosoegito, pada akhir Juni 1929, pindah ke Malang untuk mengajar di sekolah MULO. Pada tahun ini terbit juga majalah resmi GAI yang pertama bertajuk Risalah Ahmadiyah. Disusul kemudian berbagai majalah antara lain As-Salam, Muslim, dan Wasita Islam.
GAI mengajukan permohonan pengakuan sebagai badan hukum melalui surat tertanggal 28 September 1929. Pengakuan GAI sebagai Badan Hukum (Rechtspersoon) keluar dengan terbitnya Putusan Pemerintah (Gouvernements Besluit) tanggal 4 April 1930 No. IX (Extra Bijvoegsel Jav. Courant, 22 April 1930 No. 32). Lihat dokumennya di sini
Tahun 1930, GAI cabang Bandung berdiri setelah Moehammad Husni pindah ke sana dan Soedewo pindah ke Sukabumi pada sekitar bulan Februari 1930. Sementara itu, Moehammad Oesman berpindah ke Madiun dan kemudian mendirikan GAI cabang Madiun. Sementara itu, Mirza Wali Ahmad Baig berpindah dari Yogyakarta ke Purwokerto. Pada tahun ini pula, Kongres Pertama GAI diselenggarakan di Purwokerto, tepatnya pada tanggal 25-26 Juni 1930.
Kongres GAI untuk selanjutnya dilaksanakan setiap tahun bersamaan dengan penyelenggaraan Jalsah Salanah. Sampai dengan tahun 1933, Kongres dan Jalsah Salanah GAI diselenggarakan di Purwokerto setahun sekali. Dalam tahun-tahun ini pula, cukup banyak diterbitkan buku, antara lain Muhammad de Profeet, De Bronner van het Cristendom, De Roep van der Islam dan De Islamitische Instelling van het Gebed.
Pada kongres tahun 1933, diputuskan membentuk lembaga penerbitan khusus, yang menangani penerbitan Terjemah Qur’an Suci karya Maulana Muhammad Ali ke dalam bahasa Belanda. Terjemahannya sendiri sudah dikerjakan oleh Soedewo Parto Koesoemo sejak masa-masa awal berdirinya GAI, dengan judul De Heliege van den Qur’an.
Pada akhir tahun 1933, di Jakarta, dibentuklah Qur’an Fonds dengan anggota antara lain Moehammad Hoesni, Pringgonoto, Abdul Rajab, Ahmad Wongsosewojo, Bintoro, Soerono, dan K.R.A.A Wiranata Kusuma (yang kelak menjadi salah satu dari 26 Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia — PPKI). Abdulrajab bertindak sebagai ketua Hoofd-Comite Qur’an Fonds. Setelah Hofd-Comite diresmikan oleh Pedoman Besar GAI, segera diadakan pengumuman melalui surat kabar.
Di tiap-tiap cabang GAI, dibentuk Sub-Comite Fonds yang membantu menyiarkan prospectus dan mencari pesanan. Soedewo, yang saat itu masih menjadi dosen di Institut Pertanian Bogor, ditugaskan menyiapkan copy karya terjemahnya. Beliau pun mengambil cuti besar dan mengorbankan gaji bulanannya sebagai Pegawai Pemerintah sampai habis masa cuti. Untuk membantu Soedewo, Mirza Wali Ahmad Baig diminta pindah dari Purwokerto ke Jakarta.
Tahun 1934, pencetakan Qur’an Suci Terjemah dan Tafsir Bahasa Belanda mulai dikerjakan. Penerbitan Terjemah Qur’an Suci ini ternyata menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Surat kabar ADIL No. 105 tanggal 8 Februari 1934, misalnya memuat berita yang antara lain menyatakan bahwa “Qur’an berbahasa Belanda itu semata-mata menjerumuskan kepada kesesatan. Anak cucu dijerumuskan ke Jahanam; tafsir beracun bagi umat Islam.”
Pada Maret 1935, pencetakan Qur’an Suci Terjemah dan Tafsir bahasa Belanda selesai dikerjakan. Empat bulan sesudah terbitnya De Heliege van den Qur’an, Mirza Wali Ahmad Baig menyampaikan keinginannya untuk pulang ke kampung halaman. Dalam Muktamar GAI tanggal 25 Juni 1935, beliau menyampaikan pidato perpisahan yang disambut dengan haru biru oleh segenap anggota. Akan tetapi, karena banyak hal yang perlu diselesaikan, baru pada November 1937 Mirza Wali Ahmad Baig dapat melaksanakan keberangkatannya menuju kampung kelahirannya, India. Beliau meninggalkan surat pamit tertanggal 25 Oktober 1937. (lihat di sini)
Sampai dengan tahun 1938, GAI terus melebarkan sayap. Pada tahun ini, GAI mempunyai 466 anggota, tersebar di dua belas cabang: Purwokerto, Purbalingga, Pliken, Wonosobo, Magelang, Yogyakarta, Solo, Madiun, Malang, Cirebon, Bandung, dan Jakarta. Pada Desember 1938, terbit buku De Religie van den Islam, terjemah dari The Religion of Islam karya Maulana Muhammad Ali. Karya terjemah ini juga dikerjakan oleh Soedewo P.K. Pada akhir tahun 1938, GAI membentuk Comite Holland Islamic Mission (HIM) yang mencita-citakan pengiriman muballigh ke negeri Belanda untuk menyiarkan Islam di sana.
Pada akhir tahun 1939, pecah Perang Dunia Kedua. Peristiwa ini menyebabkan rencana pemberangkatan muballigh ke negeri Belanda yang telah direncanakan oleh Commite HIM terpaksa ditunda. Belanda menyerah kepada Jepang, dan selama tiga setengah tahun Indonesia berada dalam kekuasaan Dai Nippon.
Atas perintah Pemerintah Jepang, seluruh kegiatan GAI dibekukan. Selama dalam masa kekuasaan Dai Nippon, GAI hanya menerjemahkan buku-buku yang dikerjakan secara personal. Dalam masa ini, Djojosoegito dan Mufti Sharif mengerjakan penerjemahan Qur’an Suci Karya Maulana Muhammad Ali ke dalam Bahasa Jawa.
Masa awal kemerdekaan
Tahun 1945, Perang Dunia II berakhir dengan kemenangan di pihak sekutu. Pada tanggal 17 Agustus 1945, dalam masa genting pemindahan kekuasaan, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Jepang menyerahkan kekuasaannya, sementara Belanda berusaha merebutnya kembali. Maka terjadilah agresi militer Belanda yang berupaya merebut kembali kekuasaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Pada masa ini, banyak anggota GAI ikut aktif dalam barisan pertahanan Negara Republik Indaonesia, baik sebagai tentara nasional maupun sebagai tentara rakyat.
Tahun 1947, Indonesia masih dalam suasana perang gerilya, baik perang dengan Tentara Belanda, maupun dengan para pemberontak yang tidak setuju dengan Pancasila sebagai Dasar Negara. Pada tahun ini, tepatnya Mei 1947, GAI melaksanakan Muktamar di Purwokerto. Dalam Muktamar ini antara lain diputuskan dua hal penting: pertama, menerima Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia; kedua, mendirikan lembaga pendidikan dalam bentuk Perguruan Islam di bawah naungan GAI.
Pada 1 September 1947, didirikanlah lembaga Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI), yang diketuai oleh Ali Murni dan beranggotakan Supratolo, S. Citrosancoko, dan Ibu Djojosoegito. Dipilihlah kota Yogyakarta sebagai pusat pendirian dan kegiatan pendidikan. Keputusan ini diambil dengan alasan bahwa saat itu Yogyakarta tengah menjadi Pusat Pemerintah RI, di samping banyak pengungsi yang datang ke Yogyakarta dari berbagai daerah yang diduduki Tentara Agresi Belanda. Sekolah pertama yang didirikan adalah SMP PIRI, SGB PIRI, dan SGA PIRI.
Akhir tahun 1948, tepatnya 19 Desember 1948, Yogyakarta diserbu dan diduduki Tentara Belanda. Lembaga Pendidikan PIRI pun dibekukan. Baru pada tahun 1949, perang pasca kemerdekaan berakhir. Indonesia diakui dunia internasional sebagai negara yang berdaulat. Lembaga Pendidikan PIRI pun kembali diaktifkan. Pada tahun berikutnya, didirikanlah Masjid PIRI dan Pondok Pesantren PIRI di kawasan Baciro, dengan Kepala Pondok Minhadjurrahman Djojosoegito. Pada perkembangan berikutnya, kompleks Baciro berkembang menjadi kompleks pusat Yayasan dan Sekolah-sekolah PIRI sampai dengan sekarang.
Sampai beberapa tahun lamanya, kegiatan GAI berpusat di Pondok dan Lembaga Pendidikan PIRI. Kegiatan lain di berbagai Cabang GAI, menurut pidato Bapak Soedewo PK dalam Muktamar GAI tahun 1957, boleh dikatakan hampir mati. Banyak anggota GAI di berbagai cabang menjalankan aktivitas di luar organisasi. Sebagian besar terjun ke dalam politik praktis. Mereka masuk dalam barisan Masyumi, NU, PNI, bahkan ada pula yang masuk PKI.
Atas dasar itu, GAI menerbitkan maklumat yang menyatakan melarang anggota GAI untuk masuk PKI, dengan alasan asas dan tujuan PKI bertentangan dengan asas dan tujuan GAI. Salah seorang anggota GAI Wonosobo, yang juga tokoh pendiri GAI, Moehammad Sabitoen, diperingatkan supaya keluar dari PKI. Akan tetapi karena tidak mengindahkan peringatan ini, maka PB GAI menerbitkan Surat Keputusan tertanggal 17 Oktober 1957, yang menyatakan bahwa Bapak Moehammad Sabitoen dikeluarkan dari GAI.
Berikut adalah kutipan pidato Bapak Soedewo dalam Muktamar GAI tahun 1957 yang menggambarkan suasana pada era 50-an:
“Sejak pengakuan kedaulatan Negara RI, GAI dalam menunaikan kewajiban pokoknya, yaitu menegakan Kedaulatan Ilahi, kalaupun tak dapat dikatakan mati, kian lama kian mendekati matinya juga. Keadaan ini berulangkali dilaporkan oleh Pengurus Cabang dengan nada yang mineur, diam saja, tidur, merana, seperti kerakap di atas batu, mati enggan hidup tak mau, dsb.
GAI yang dahulu mempunyai majalah “Assalam”, “Muslim”, “Risalah Ahmadiyah” dan “Wasita Islam”, kini tidak dapat menerbitkan satu majalah pun. Buku kecil yang dahulu pernah berpuluh-puluh diterbitkan kini tak ada satu pun yang diterbitkan. Hanya Qur’an Suci Jarwa Jawi saja yang sekarang sedang dicetak di negeri Belanda, yang Insya Allah akan terbit pada bulan Februari 1958.
GAI yang dahulunya dapat menerbitkan berpuluh-puluh buku sampai dengan penerbitan De Heliege Qur’an dalam jangka waktu 7 tahun, kini sesudah 17 tahun GAI baru akan menerbitkan Qur’an Suci Jarwa Jawi saja. Dengan demikian beranikah kita berkata, bahwa GAI setia pada sumpahnya kepada Tuhan? Apalagi selama ini, iklim dan suasana di kalangan GAI, tidak memungkinkan bekerja dengan kesatuan dan kebulatan tekad.
Perhatian dan hasrat kita bercerai-berai. Semangat dakwah Islam yang dahulu pernah menggelora, kini sudah padam. Akibatnya, beratus-ratus terbitan buku Lahore dan London, tak dapat diterjemahkan dan diterbitkan. Maka jelaslah bahwa selama ini GAI menderita kemunduran terus-menerus.
Proses kemunduran dipercepat dengan masuknya paham Materialistis dan Komunistis. Maka dari itu semangat menjunjung agama melebihi dunia, diganti semangat menjunjung dunia saja. Sudah barang tentu hasrat berdakwah Islam, bukan mundur lagi melainkan mendekati liang kuburnya” (Majalah Safinatu Nuh, 1957)
Masa Kebangkitan
Tanggal 25-28 Desember 1958, GAI menyelenggarakan Muktamar kembali. Dalam Muktamar ini diputuskan antara lain dua hal penting. Pertama, GAI memandang perlu merubah status PIRI menjadi tidak lagi sebagai bagian dari organisasi GAI. Maka diputuskan PIRI menjadi badan berstatus otonom dan menyerahkan tugas penyelesaian PIRI menjadi badan hukum berbentuk yayasan kepada R. NG. H. Minhadjoerrahman Djojosoegito dalam kedudukan sebagai pendiri. Ibu Djojosoegito ditunjuk sebagai Ketua Yayasan PIRI yang pertama.
Pada tahun 1959, PIRI menerbitkan AD/ART dengan akte notaris No. 3 tanggal 03 Februari 1959. Dengan demikian, PIRI mempunyai kebebasan penuh untuk mengatur rumah tangganya sendiri, sekalipun dalam hal pemeliharaan ruhani, PIRI tetap bersumber kepada GAI. (lihat artikel terkait)
Keputusan Muktamar GAI Tahun 1958 yang kedua berkenaan dengan Badan Penerbitan. Muktamar memutuskan membentuk Badan Penerbitan dengan nama Darul Kutubil Islamiyah (DKI). Badan ini dipercayakan kepada Bapak H. Moehammad Bachroen untuk memimpinnya.
Sebagai langkah pertama, badan ini mengurus penerbitan Qur’an Djarwa Djawi (QDD). Semula, QDD ini dicetak di negeri Belanda. Akan tetapi dengan keluarnya peraturan pemerintah tentang sistem BE, yang menetapkan bahwa semua pembayaran dengan valuta asing harus mendapat izin terlebih dahulu dari pemerintah, proses cetak terbengkalai karena permohonan mendapatkan devisa guna membiayai pencetakan 5.000 exemplar QDD di negeri Belanda ditolak oleh pemerintah.
Kontrak antara GAI dan salah satu percetakan di negeri Belanda pun terpaksa dibatalkan. Padahal GAI telah mengeluarkan biaya lebih dari 40.000 guldens, yang diambil dari simpanan Bapak Soedewo yang sebenarnya diperuntukan bagi biaya putra-putranya yang belajar di negeri Belanda.
Dengan gagalnya pencetakan di negeri Belanda, QDD diusahakan pencetakannya di Indonesia, yakni di percetakan Gita Karya Jakarta. Pencetakan yang direncanakan selesai dalam dua tahun ternyata mengalami penundaan sampai 7 tahun lamanya. Meskipun Demikian, terbitnya QDD menjadi rahmat Tuhan bagi kebangkitan GAI. Cabang-cabang tampak hidup kembali dengan tersebar dan dikajinya QDD di berbagai daerah.
Tahun 1959, GAI merayakan Hari Ulang Tahun ke-30 dengan menyelenggarakan Muktamar Dalam Muktamar ini Bapak Djoyosugito mengucapkan pidatonya yang terakhir, karena sesudah ini sampai akhir hayatnya, 21 Juni 1966, beliau tak dapat berpidato lagi.
Tahun 1960, Moehammad Irshad berangkat ke Lahore, sebagai utusan resmi GAI dalam forum Jalsah AAIIL. Sepulang dari Lahore, beliau menginisiasi kelompok kajian di Bogor dan Bandungdengan nama Sunday Morning Class. Empat tahun kemudian, beliau berangkat lagi ke Lahore untuk menghadiri Golden Jubile AAIIL.
Tahun 1963, berdiri Cabang GAI Kediri di bawah asuhan S.W. Burhanul Arifin. Cabang yang baru saja berdiri ini memiliki anggota 193 orang. Cabang-cabang lama juga banyak menghasilkan anggota baru.
Akhir tahun 1963, GAI terdaftar sebagai Ormas Keagamaan pada Departemen Agama RI tertanggal 27 Desember 1963 No. 18/II. Tetapi pemberitahun dari pemerintah baru disampaikan pada tahun 1966 melalui surat No. I-1/3/I/ 368/66 tertanggal 21 Februari 1966. GAI juga terdaftar dalam Berita Negera RI yang diumumkan pada tanggal 28 November 1986 No. 95 Lampiran No. 35.
Tahun 1966, Minhadjoerrahman Djojosoegito, Ketua Umum GAI sejak masa berdirinya, wafat. GAI kemudian dipimpin oleh Bapak H.M. Bachrun. Di bawah asuhan beliau pembentukan kader yang diharapkan sebagai calon penganti para pengasuh GAI yang kian lanjut usianya semakin digalakkan.
Jalsah tahun 1971 di Jakarta antara lain memutuskan perlunya mendatangkan Muballigh dari Lahore yang akan ditempatkan di Yogyakarta. Masjid dan Pondok dibenahi. Perumahan Muballigh pun disediakan. Akan tetapi karena sesuatu hal, Muballigh dari Lahore tak kunjung tiba. Tetapi kaderisasi jalan terus.
Pada tahun 1974 penataan guru-guru Agama PIRI diselenggarakan.Setahun kemudian pendidikan Muballigh dibuka, Mendidik 16 putra-putri Ahmadi dari berbagai cabang. Dua diantara mereka, yaitu M. Iskandar dan M. Sardiman dikirim ke Lahore. Setelah dua tahun mereka belajar di Lahore pulang ke tanah air dengan membawa semangat baru yang mendorong GAI semakin maju.
Di bawah Asuhan bapak H.M. Bachrun GAI mampu menerbitkan buku-buku yang amat bermanfaat dan bernilai tinggi, antara lain Inti Sari Qur’an Suci dan KeEsaan Ilahi karya Bapak Sudewo, dua buku besar yaitu Islamologi (Diinu-l Islam) terbit tahun 1977 dan Qur’an suci Jarwa Indonesia.
Pada tahun 1979 GAI merayakan hari Ulang Tahun ke-50 (Golden Jubile) dan Muktamar yang mendapat sambutan amat meriah, tapi mengharukan. Meriah karena banyak cabang-cabang yang hadir. Mengharukan karena terbitnya Qur’an Suci Jarwa Indonesia yang menyemarakan Muktamar tersebut tanpa disaksikan oleh penerjemahnya, Bapak H.M. Bachrun yang telah pulang kerahmatullah beberapa bulan sebelumnya ( wafat tanggal 6 Mei 1979). Padahal beliau masih sempat memberikan Kata Sambutan Peringatan 50 tahun ( Golden Jubilee) GAI untuk buku kenang-kenangan Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia.[]