Diskursus

GAI di tengah Problematika Keagamaan di Indonesia

nawari ismailOleh : Dr. H. Nawari Ismail, M.Ag | Dosen Fakultas Agama Islam UMY

Disampaikan pada Pengajian & Silaturahmi Keluarga Besar GAI, 23 Desember 2013

Era reformasi di Indonesia telah melahirkan dilema, di satu sisi ada pengakuan dan penumbuhkembangan prinsip-prinsip masyarakat madani dan multikulturalisme, namun di sisi lain konflik-konflik horizontal bernuansa agama dan konflik vertikal antara kelompok agama dengan  negara masih sering terjadi. Akibatnya kehidupan keagamaan bangsa ini masih perlu terus dikendalikan oleh semua komponen yang ada di dalamnya.

Tulisan ini ditujukan untuk menjelaskan potensi dan akar masalah kehidupan keagamaan, khususnya dalam relasi antar kelompok agama, juga untuk memberikan pemahaman mengenai faktor-faktor penyebab berkembangnya relasi positif (damai) dan negatif (konflik)  khusus dalam kasus intra komunal Islam atau internal umat Islam. Bagian terakhir khusus menelisik masalah dan tantangan yang sedang dan akan dihadapi  (komunitas) Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI).

Potensi dan Akar Masalah
Secara historis dan pengalaman negara-negara yang masyarakatnya plural  dalam banyak aspek, termasuk pluralitas dalam pemahaman keagamaan, persoalan relasi sosial terus menjadi isu aktual. Indonesia sebagai satu negara yang masyarakatnya plural secara keagamaan tidak bisa melepaskan diri dari sejarah dan pengalaman tersebut.

Pada saat ini dan ke depan masalah relasi sosial  antar kelompok beragama, termasuk intrakomunal Islam, akan terus terjadi  dengan berbagai ragam bentuk, kualitas, dan  kuantititasnya. Hal ini setidaknya karena  ada potensi masalah kehidupan keagamaan di Indonesia pasca-reformasi, yaitu:

Pertama, perbedaan pemahaman agama dan kepentingan telah melahirkan banyak kelompok Islam, hal ini tentu berujung kepada perjuangan dan kontestasi untuk merealisasikan ide gerakannya.

Kedua, secara sosial-politik, berkembangnya ide dan kesadaran akan hak-hak azasi manusia  memberikan peluang bagi setiap pelaku/kelompok keagamaan yang menyempal dari  kelompok mainstream untuk mengaktualisasikan identitas budayanya (ide dan metode gerakannya). 

Ketiga, proses demokratisasi juga telah dan akan  memungkinkan terjadinya kontak kepentingan antara  elite politik  dengan kelompok-kelompok Islam sempalan. Relasi antara keduanya dimungkinkan terjadi karena adanya kesalingmanfaatan (simbiosis-mutualisme). Di satu pihak elite politik (partai politik ataupun pemerintah) berkepentingan untuk memperbanyak dukungan untuk tujuan politiknya, di pihak lain kelompok sempalan membutuhkan perlindungan agar mampu bertahan. Hal ini akan terus menjadi masalah nasional ke depan dalam peta relasi intrakomunal agama Islam.

Keempat, melemahnya budaya toleransi. Dari sekian potensi masalah tersebut sebenarnya akar masalah kehidupan agama di Indonesia saat ini dan ke depan  lebih banyak berkaitan  dengan kian melemahnya budaya toleransi.

Perbedaan kelompok dan kepentingan, adanya kesalingmanfaatan elite politik dengan kelompok agama, dan penguatan identitas tidak akan melahirkan konflik masif dan kekerasan jika dalam masyarakat terdapat budaya toleransi yang kuat. Selain itu, toleransi kian menjadi barang mewah seiring dengan terjadinya penguatan identitas yang bersifat negatif yaitu penguatan identitas kelompok agamanya dengan mengabaikan identitas  kelompok lain. Akibatnya terjadi serangkaian konflik yang seolah tanpa henti, dan berpola seperti bola salju (snowball) yang menggelinding dari dari satu tempat ke tempat yang lain, dan dari waktu ke waktu. Bentuknya beragam mulai dari level ide (fatwa, surat keputusan kelompok, regulasi), pengerahan massa (masif) yang  berisi tuntutan, dan  kekerasan (perusakan atau pembakaran bangunan, kekerasan fisik  dan penghilangan nyawa). 

Jika awal tahun 2000-an ditandai dengan maraknya konflik antarumat beragama, hampir sewindu ini kehidupan keagamaan lebih banyak ditandai dengan konflik internal umat Islam yang melibatkan kelompok Islam nonmapan (selanjutnya disingkat KINM). Ketidakharmonisan dan konflik kekerasan intrakomunal Islam berkembang meluas  bukan hanya di berbagai daerah di Jawa, namun juga di luar Jawa seperti antara Ahmadiyah di Kuningan, Lombok dan tempat lain, kasus Syiah di Situbondo dan Sampang,  serta kasus penolakan kelompok Islam mapan (selanjutnya disingkat KIM) terhadap keberadaan FPI di Kudus dan Kalimantan Tengah. Di pihak lain, walau di berbagai daerah ada KINM,  namun tetap relatif harmoni.   Pertanyaan pokok yang muncul adalah mengapa di satu daerah terjadi konflik, sedangkan di daerah lain damai, padahal sama-sama ada kelompok  KINM dan KIM-nya.

Penyebab Bentuk Relasi Sosial: Kasus  Intrakomunal Islam
Berdasarkan kajian menunjukkan  bahwa penyebab perbedaan bentuk relasi sosial (konflik-damai) intrakomunal Islam di Indonesia paling tidak tergantung kepada tiga faktor yang saling berkelindan yaitu:  

Pertama, berkembang-tidaknya religiosentrisme antarpihak yang disertai dengan  berkembang-tidaknya toleransi, terutama dari pihak mayoritas. Religiosentrisme adalah sebuah pandangan yang melihat paham kelompok Islam lain  secara negatif karena berdasarkan standar dan klaim kebenaran menurut paham agamanya sendiri, sehingga melahirkan  stereotip. Di satu pihak terjadi stereotip sesat formal, dan sesat publik terhadap KINM, di pihak lain  ada pengkafiran dari KINM terhadap KIM. Hal ini mengandaikan bahwa  walaupun religiosentrisme atau stereotip negatif  berkembang, namun jika sikap toleransi berkembang maka konflik kekerasan  dan gerakan masif tidak akan ada, begitu juga sebaliknya.

Kedua, adanya tindakan-tindakan yang dilakukan setiap kelompok dalam berelasi dengan kelompok lain, baik oleh negara, kelompok masyarakat sipil, dan tindakan agensi dari KINM sendiri. Tindakan-tindakan berbagai pihak tersebut selain telah menyebabkan terjadinya konflik,  juga menyebabkan integrasi.

Tindakan Negara dan  Masyarakat Sipil: Dalam menghadapi kasus KINM ada dua kekuatan besar yang bermain, tiap pihak menjalankan tindakan atau kekuasaan,  yaitu masyarakat sipil dan negara. Kekuatan masyarakat sipil terpola ke dalam dua kelompok yaitu kekuatan sipil antiKINM, dan kekuatan sipil antidiskriminasi dan pegiat HAM. Negara dan kekuatan sipil antiKINM selalu berkolaborasi dalam menghadapi KINM, sedangkan kekuatan sipil antidiskriminasi mendukung KINM.

Posisi KINM di tingkat lokal  sangat dipengaruhi oleh persepsi, sikap dan regulasi yang dilakukan  negara dan kekuatan masyarakat sipil antiKINM pada level nasional, walaupun mungkin sebuah KINM lokal berposisi mayoritas.

Tindakan-tindakan yang dilakukan negara berupa regulasi atau pengaturan melalui kebijakan, baik pada tingkat nasional maupun lokal. Negara juga tidak memasukkannya sebagai lembaga konsul, dan bahkan menafikan sebagian hak-hak sipil  warga KINM. Negara juga  sering  berkolaborasi dengan kekuatan sipil dari kalangan KIM, dalam upaya mengubah   keyakinan KINM.  Hal ini telah menyebabkan negara tidak  bersifat netral, dan tidak mampu memosisikan diri sebagai mediator, moderator yang baik dalam proses konflik antar kelompok Islam.

Ketika terjadi proses konflik, kekuatan sipil anti-KINM membagi peran (sharing role). Mereka ada yang bermain melalui  pada level  konflik ide seperti penyebaran stereotip dan fatwa ataupun keputusan, baik pada tingkat nasional maupun lokal. Di pihak lain ada yang berperan sebagai pelaku konflik masif dan kekerasan.

Tindakan KINM: Dalam proses relasi antarkelompok, KINM dihadapkan kepada dilema. KINM  melakukan tindakan agensi sebagai upaya mempertahankan diri dan  melanggengkan relasi dan kondisi yang sudah ada.   Tindakan mempertahankan diri dilakukan melalui berbagai strategi, yaitu: diam dan berkomodasi, pembalikan wacana, serta membangun aliansi, dan hukum.

Diam: Ketika terjadi  tindakan konflik dalam berbagai bentuknya yang dilakukan pihak luar,  anggota KINM nampaknya lebih banyak melakukan tindakan diam. Walaupun bukan berarti pasif sama sekali, justru dalam kediamannya tersebut mereka intensif melakukan konsolidasi ke dalam.  Sementara GAI nampaknya lebih banyak berintrosepeksi  terhadap kegiatan yang pernah diadakan yang justru direspon negatif oleh muslim lain, walaupun respon dari luar itu lebih banyak bersifat kesalahpahaman atau efek stereotif  terhadap JAI.

Pembalikan wacana: KINM lebih banyak mereaksi terhadap  wacana yang  bersifat stereotif (wacana-stereotif)  yang dilakukan negara dan kelompok Islam lain, atau pembalikan wacana dengan tujuan meluruskan dan mempertahankan diri.

Membangun Aliansi dan Hukum:  Pembangunan aliansi dilakukan KINM pada tingkat nasional maupun lokal. Kelompok aliansi akan melakukan advokasi atau sekedar memberikan dukungan moril dan simpati ketika terjadi konflik yang melibatkan warga KINM.  Umumnya mitra aliansinya fokus kepada isu hak-hak azasi manusia, pluralisme, dan hukum yang memiliki keberpihakan kepada minoritas yang termarginalisasi dan ketidakadilan. KINM juga ada yang berusaha mempertahankan diri dengan  melakukan upaya hukum, terutama  ketika ada regulasi yang  dianggapmerugikan kepentingannya.

Ketiga,  adanya struktur sosial  yang  menjadi daya paksa bagi  kelompok  yang menyebabkan konflik atau harmoni antar kelompok. Struktur sosial meliputi:  posisi tokoh lokal,  kantong komunitas, sejarah   relasi, dan jaringan relasi.

Tokoh lokal punya peran penting dalam ikut menentukan relasi antarkelompok. Di Yogyakarta misalnya,  faktor  penting tidak terjadinya konflik masif dan kekerasan karena sikap dan kebijakan multikulturalisme dari tokoh/elite budaya-politik. Politik multikulturalisme dari elite telah berdampak terhadap berkembangnya toleransi atau sikap menahan diri dari kelompok sipil dan aparat negara. Faktor lain yaitu relatif tidak adanya  kantong komunitas KINM menjadi faktor terjadinya harmoni di Yogyakarta. Hal ini berbeda dengan di beberapa daerah seperti Syiah di Sampang dan Ahmadiyah di Kuningan.

 Selain itu, eksklusivitas KINM dalam relasi  keseharian  serta tidak  dilibatkannya KINM dalam lembaga konsul tetap menjadi faktor potensial  terjadinya kecemburuan dan konflik interkomunal Islam.  Dalam aspek  sejarah relasi menunjukkan bahwa tiap daerah  sebenaranya tidak sepenuhnya steril dari konflik, walaupun masyarakat di suatu daerah itu setidak-tidaknya saat ini dianggap berada dalam harmoni. Perbedaannya terletak pada interval waktu terjadinya konflik awal dengan konflik susulannya;  bentuk konflik yang ada, apakah dalam bentuk konflik ide, masif, dan atau kekerasan; dan perubahan bentuk  relasi sosial awal (dari konflik atau integrasi) ke relasi sosial susulannya (konflik atau integrasi).

Menelisik Tantangan GAI
Jika mengingat perjalanan sejarahnya, sebenarnya GAI telah menampilkan diri sebagai gerakan yang sangat akomodatif  terhadap perubahan di luar dirinya. Mungkin karena begitu akomodatifnya terhadap tuntutan dari luar atau karena inklusivitasnya,  ada yang berpendapat bahwa gerakan ini  ‘tidak beridentitas’, terutama dalam praktik keagamaan.

Walaupun demikian, saat ini dan ke depan GAI tetap tidak akan terlepas dari masalah terutama yang berasal dari luar dirinya. Tantangan dan masalah  yang dihadapi GAI sebanarnya tidak jauh berbeda dengan tantangan dan masalah yang dihadapi kelompok Islam nonmapan lainnya.

  1. Tantangan dari  Negara. Cukup banyak tantangan  yang dihadapi GAI  yang berasal dari negara, khususnya pemerintah, di antaranya adalah:
    1. Stereotif di kalangan sebagian aparat  pemerintah. Hal ini ada kaitannya dengan stereotip dari   negara, kelompok Islam mapan, dan MUI terhadap JAI, yang kemudian berpengaruh terhadap kecenderungan menstereotipkan GAI.
    2. Generalisasi  terhadap kelompok Ahmadiyah. Generalisasi dari sebagian aparat pemerintah  ini juga terdapat di kalangan masyarakat Islam. Mereka menganggap GAI dan JAI sama-sama tertutup. Alasannya  karena keduanya dianggap sama-sama mengacu kepada kitab yang sama sebagai sumber paham agamanya dan tidak mau berimam shalat kepada orang nonAhmadiyah, serta adanya  bai’at di kalangan GAI. Tidak adanya kesatuan persepsi di kalangan pejabat pemerintah sendiri dalam  menilai kedua kelompok Ahmadiyah, GAI dan JAI, akibat kurangnya pemahaman terhadap Ahmadiyah itu sendiri. Misalnya ketika   dinyatakan bahwa dalam AD/ART GAI menyebutkan hanya bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits serta  hanya mengakui Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, justru mereka menyatakan tidak mengetahuinya.
    3. Kolaborasi pemerintah dengan Ormas Islam.Hal ini dilakukan negara, khususnya pemerintah dalam banyak kasus ketika berelasi dengan   KINM di Indonesia, baik  di tingkat pusat maupun di level lokal.
    4. Tidak  memasukkan  GAI ke dalam wakil di lembaga forum dan konsul (FKLD, FKUB, MUI). Masuk-tidaknya sebuah organisasi (Islam) dalam  lembaga perwakilan keagamaan seperti FKUB, MUI dan FKLD  nampaknya sangat tergantung kepada  pandangan atau persepsi kelompok Islam mapan terhadap  doktrin keagamaan dari ormas atau gerakan Islam tertentu (sempalan). Bukan pada metode gerakan yang digunakan oleh Islam sempalan tersebut.  Sebuah ormas Islam sempalan yang  metode gerakannya  menyempal atau tidak lazim digunakan oleh Islam mapan, tetap akan diakomodasi dalam lembaga perwakilan  tersebut.
    5. Regulasi. Satu hal yang melegakan GAI  dari tindakan pemerintah yaitu regulasi berupa SKB 3 Menteri.[1]  Apapun isi dari SKB ini, namun yang jelas  ia tidak menjadikan GAI sebagai subyek sasaran.
  2. Tantangan dari Masyarakat Sipil.
    1. MUI: Pada tahun 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah Qadian sesat. Fatwa ini kemudian diperkuat lagi dengan fatwa baru hasil Munas VII MUI tahun 2005 yang mengharamkan Ahmadiyah. Fatwa MUI tahun 2005 tertuang dalam Keputusan Fatwa MUI Nomor: 11/Munas VII/MUI/15/2005 tentang Aliran Ahmadiyah.
      Memang ada perbedaan persepsi atau tafsir terhadap fatwa MUI tahun 2005.  Di kalangan GAI sendiri menafsirkan bahwa fatwa MUI tahun 2005 hanya menegaskan kembali fatwa tahun 1980, artinya yang difatwa sesat hanyalah Ahmadiyah Qadian. Sementara dari Kementerian Agama sendiri menafsirkan fatwa MUI tahun 2005 sebagai perluasan yaitu mencakup JAI dan GAI. Hal ini terlihat dari ‘Sambutan  Menteri Agama dalam Acara Sosialisasi SKB 3 Menteri’ (dalam Kanwil Kementerian  Agama DIY, 2011: 60). Walaupun demikian Kementerian Agama, termasuk dalam SKB 3 Menteri,   hanya JAI yang dimasalahkan atau yang dianggap menyimpang.
      Di pihak lain,  MUI di DIY menganggap adanya perluasan cakupan sasaran yaitu dari sebelumnya (1980) hanya menetapkan tentang sesatnya Jema’at Ahmadiyah Qadiyah (JAI), kemudian tahun 2005 mencakup JAI dan GAI.
    2. Ormas Islam: Dari kalangan Ormas Islam, baik dari KIM maupun KINM yang lain seolah membagi peran dalam menghadapi Ahmadiyah, dan GAI termasuk pihak yang kena ‘getahnya’. Resistensi Ormas Islam ada pada level ide, masif dan kekerasan. Bahkan mereka mampu berkolaborasi dengan negara.

Refleksi

  1. Bangsa ini memiliki pekerjan rumah  yang sangat besar agar konflik kekerasan dapat diredam dan harmoni dapat berkembang. Problematika  besar bangsa ini bukan terletak pada banyaknya kelompok agama dan kelompok-kelompok Islam serta penguatan identitas kelompok, namun lebih karena kian melemahnya budaya toleransi. Religiosentrisme atau stereotip tetap akan terus ada sepanjang ada perbedaan pemahaman dan  kepentingan antarkelompok, namun jika diiringi dengan budaya toleransi (tasamuh), maka   konflik akan dapat dicegah dan harmoni akan berkembang.
  2. Mengingat penyebab  terjadinya bentuk relasi sosial di lokasi tempat KINM berada karena multifaktor, maka  dalam upaya pengembangan relasi sosial potitif perlu diperhatikan beberapa faktor yang saling berkelindan tersebut. Secara garis besar dapat difokuskan kepada: (a)  minimalisasi religiosentrisme (stereotip)  sekaligus mememaksimalisasi budaya toleransi. (b) mengevaluasi secara  cermat tindakan-tindakan yang dilakukan setiap kelompok yang ikut memicu konflik dan damai, termasuk aparat negara sendiri. (c) mencermati aspek-aspek struktur sosial yang ikut memberikan pengaruh terhadap terciptanya konflik dan damai. Ketiga aspek tersebut perlu diimplementasikan secara komprehensif.
  3. Pemerintah selayaknya melakukan sosialisasi informasi mengenai  perbedaan profil dan paham keagamaan GAI dan JAI, baik  kepada masyarakat Islam maupun kepada pejabat pemerintah daerah sendiri.
  4. Selain itu  pemerintah juga perlu mengimplementasikan isi SKB 3 Menteri secara adil dan komprehensif.  Artinya, bukan hanya mengatur  larangan dan pengawasan kegiatan Ahmadiyah (JAI), namun juga  pengawasan terhadap tindakan masyarakat Islam khususnya dari KIM yang mengarah kepada penafian kerukunan dan toleransi. Juga perlu adanya sinkronisasi antara isi SKB 3 Menteri dengan fatwa MUI tahun 2005, khususnya mengenai kelompok sasarannya. Sinkronisasi juga perlu dilakukan antara Kementerian Agama dengan MUI mengenai kriteria dalam memberikan  stempel sesat. Kriteria tersebut juga harus diberlakukan secara adil  dan berlaku umum bagi semua Ormas/gerakan Islam, sehingga tidak muncul kesan deskriminasi. Misalnya dalam kasus LDII dan Ahmadiyah Lahore (GAI). Saat ini LDII dianggap tidak sesat lagi karena dokumen legalitasnya (AD/ART) sudah dianggap normal dan diberi legalitas oleh pihak pemerintah. Sementara GAI  yang dalam AD/ART-nya tidak ada keanehan, namun sikap masyarakat dan dan kebijakan pemerintah masih terjadi dualisme.
  5. Perlu dipertimbangkan untuk mengembangkan dialog ide dan atau praksis dalam  menangani masalah sosial-budaya antara KINM dan KIM. Untuk itu negara harus mampu memposisikan diri sebagai fasilitator, mediator-moderator, dan meminimalisasi kecenderungan kolaboratifnya dengan KIM.
  6. Khusus bagi GAI, terus melakukan pendekatan kepada Kementerian Agama dengan tujuan  meminimalisir generalisasi stereotip, dan membangun citra positif. Sebab ada celah penting  dari regulasi Kementerian Agama dan lembaga pemerintah yang lain  yaitu tidak memasukkan GAI  sebagai subyek sasaran dalam SKB 3 Menteri. GAI juga perlu melakukan wacana dan sosialisasi informasi mengenai  perbedaan profil dan paham keagamaan GAI dan JAI, baik  kepada masyarakat Islam maupun kepada pejabat negara khususnya pemerintah lokal maupun pusat.  Dalam kaitannya dengan relasi  positif dengan berbagai pihak, yaitu: (1) tidak mengembangkan kantong komunitas, (2) meningkatkan lagi insklusivitas dalam relasi keseharian seperti  kegiatan keagamaan, perkawinan lintas paham, pertemanan, (3) perlu dipertimbangkan untuk mendorong anggotanya terus meningkatkan relasi dengan kelompok/oganisasi  yang  berorientasi kepada pengembangan hobi, bisnis, bahkan partai politik yang anggotanya berbeda paham agama. (4) mengembangkan jejaring  dan kemitraan dengan kekuatan sipil yang berfokus kepada hukum dan HAM, termasuk juga dengan elite budaya-politik. (5) Perlu dipertimbangkan kejelasan afiliasi politik.[]

[1] Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan peneliti mengenai relasi sosial kelompok keagamaan.

[2]SKB Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri RI tertuang dalam No. 3 Tahun 2008, No. KEP-033/A/JA/6/2008, dan No. 199 Tahun 2008, tentang  Peringatan dan Peruntah Kepada Penganut, Anggota, Dan/Atau Anggota Pengurus jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, teratanggal 9 Juni 2008 yang intinya berisi tentang larangan kepada masyarakat dan anggota/pengurus JAI untuk tidak menyebarluaskan dan menghentikan  ajaran JAI (diktum kesatu dan kedua) , sanksi bagi anggota masyarakat dan JAI (diktum ketiga), perintah agar masyarakat menjaga kerukunan beragama dan sanksi (diktum keempat dan kelima), dan  perintah agar aparat pemerintah untuk melakukan langkah pembinaan melalui  pengamanan dan pengawasan. SKB ‘3 Menteri’ ini kemudian dipertagas melalui aturan  yaitu: Surat Edaran Bersama (SEB) Sekjen Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelejen, dan Dirjen Kesbangpol Depdagri No: SE/SJ/1322/2008; No: SE/B-1065/D/Dsp.4/08/2008, No: SE/119/921.D.III/2008 tentang  Pedoman pelaksanaan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.  Juga melalui Penjelasan Bersama Menteri Agama, jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VIII DPR RI, pada tanggal 12 Juni 2008 yang khusus membahas tentang Rekomendasi Bakor PAKEM tentang Keberadaan JAI. Selain itu beberapa daerah juga mengeluarkan SKB dan Perda. Misalnya Pemda Kuningan, 3 November 2002,  mengeluarkan SKB Pelarangan Ajaran Jema’at Ahmadiyah yang ditandatangani oleh Bupati, Ketua DPRD, Kepala Kejaksaan Negeri, Komandan Kodim, Kapolres, Kakandepag, ketua MUI serta beberapa Ormas (NU, Muhammadiyah, GUPPI, PUI) dan organisasi Kepemudaan lainnya. Sementara Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Muhammad Zainul Majdi,  membentuk tim pemantau kegiatan Jama’ah Ahmadiyah yang saat ini bermukim di Asrama Transito Majeluk, Cakranegara, Jumat 20 Maret 2009.  

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here