ArtikelEdisi KemerdekaanPerguruan Islam Republik Indonesia

Gerakan Ahmadiyah dan Komitmen Keindonesiaan

Indonesia, sejak diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, kini sudah memasuki 75 tahun kemerdekaannya. Dan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI), yang lahir 17 tahun sebelumnya, berarti sudah berusia 92 tahun. Artinya, sudah hampir satu abad GAI mengada di Indonesia, dan tentu mestinya tidak sedikit peran, kiprah dan kontribusinya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kata “Indonesia,” yang disematkan dalam Gerakan ini, boleh dikata menjadi penanda pertama atas komitmen keindonesiaan GAI dalam segenap aktivitas dakwahnya.

Nama Indonesia konon diperkenalkan mula pertama oleh J.R. Logan, seorang redaktur majalah Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Dalam artikelnya bertajuk The Ethnology of the Indian Archipelago yang terbit dalam majalah yang ia kelola di tahun 1850, ia menggunakan istilah Indonesia, ketimbang Indian Archipleago, untuk menyatakan nama khas bagi kepulauan nusantara saat itu. Kata Indonesia sendiri, ia pungut dari artikel George Samuel Windsor Earl yang terbit sebelumnya di majalah yang sama. Sejak itu, istilah ini umum digunakan oleh para etnolog untuk menyebut kepulauan nusantara ini.

Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah Indonesia adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913, ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau. Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch (Hindia) oleh Prof Cornelis van Vollenhoven di tahun 1917. Sejalan dengan itu, inlander (artinya pribumi) diganti dengan Indonesier (orang Indonesia).

Para aktivis pergerakan di kemudian hari menggunakan nama Indonesia dalam berbagai agendanya, untuk menunjukkan identitas kebangsaan atau nasionalisme. Penggunaan istilah ini semakin meluas terutama di era pergerakan nasional pasca 20 Mei 1908.

Klimaksnya, istilah Indonesia secara resmi digunakan sebagai identitas nasional sejak diikrarkannya Sumpah Pemuda, dalam Kongres Pemuda Kedua di Batavia pada 28 Oktober 1928. Ikrar sakral ini melahirkan komitmen seluruh elemen bangsa untuk bertanah air, berbahasa, dan berbangsa yang satu, Indonesia.

Agaknya, dalam ruh semangat Sumpah Pemuda itu, para pendiri Ahmadiyah-Lahore di Indonesia mengkhususkan diri mencatumkan kata Indonesia di dalam gerakan yang mereka dirikan tiga bulan sesudah peristiwa monumental itu, tepatnya pada 28 Desember 1928. Apalagi, salah satu tokoh penting Gerakan ini, Soedewo Partoadi Kusumo, juga ikut hadir dalam Kongres Pemuda Kedua itu, mewakili Jong Islamieten Bond (JIB). Sebab itulah mengapa ia tidak tercatat dalam rapat di Yogyakarta, yang memutuskan berdirinya Indonesiesche Ahmadiyya Beweging (Gerakan Ahmadiyah Indonesia).

Di Majalah Tempo yang terbit tahun 1974, Syu’bah Asa mencatat statemen Sekjen PB GAI kala itu, Kolonel Soetjipto. “GAI itu bukan underbouw apa-apa,” kata Soetjipto, “Kami ini muslim. Dan menjadi muslim juga tidak berarti kami underbouw Arab.” Ini seolah menjadi semacam penegasan bahwa GAI adalah gerakan yang berkhidmat dalam Islam, tapi dalam cita rasa khas Indonesia.

Komitmen keindonesiaan GAI yang kedua, dibuktikan ketika istilah Indonesia itu resmi mendapatkan arti politik kenegaraan, baik nasional maupun internasional, setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta.

Dalam pada itu, GAI ikut juga memproklamirkan pembelaan dan kesetiaannya kepada NKRI. Para anggotanya turut serta dalam barisan pertahanan negara. Mereka ikut berjuang membela dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu, antara lain dengan terjun langsung dalam perang kemerdekaan, bergerilya baik sebagai tentara nasional maupun tentara rakyat, yang berlangsung setidaknya hingga tahun 1949.

Kita bisa mencatat beberapa nama yang bisa kita kenang dan teladani patriotismenya. Pertama ada nama Mayor Ismullah, yang sekarang ini diabadikan sebagai nama jalan di wilayah Kaliangkrik, Magelang.

Ismullah Adisaputra menikah dengan Iswari Djojoseogito, puteri Minhadjurrahman Djojosoegito, salah satu pendiri GAI. Ia berputra tiga, yang kesemuanya pernah menjadi punggawa GAI pada masa hidupnya, yakni Nanang Rahmatullah Ibnu Iskandar (Jakarta), Ishak Hanafiah (Bandung), dan Iwan Yusuf Bambang Lelana (Yogyakarta).

Mayor Ismullah pernah memimpin pasukan Batalyon 24 dari Divisi IX Yogyakarta, dan ikut berhasil memukul mundur sekutu di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Bethel dalam Palagan Ambarawa yang berlangsung antara 12 hingga 15 Desember 1945.

Ismullah gugur di masa Agresi Militer Belanda kedua, yang berlangsung sejak Desember 1948. Kala itu, ia sudah menjadi kepala staff Letnan Kolonel Ahmad Yani, yang kemudian dikenal sebagai Pahlawan Revolusi, yang telah diangkat sebagai  Komandan Brigade 9, atau lebih dikenal Brigade Kuda Putih.

Ismullah gugur bersama Dr. Soedjono, dokter pribadi Ahmad Yani, ditembak tentara Belanda saat mendampingi Ibu Ahmad Yani, yang bersembunyi dari kejaran Belanda di sekitar perbukitan di wilayah Mantenan, Magelang di awal tahun 1949. Ibu Ahmad Yani dan anak-anaknya selamat dalam serangan itu. Peristiwa itu terjadi sebelum meletusnya Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang berhasil merebut Yogyakarta kembali dari tangan Belanda.

Kedua, Soedewo Partoadi Koesoemo. Atas jasanya sebagai tentara rakyat yang ikut berjuang dalam perang gerilya di masa perang kemerdekaan, Soedewo mendapat anugerah penghargaan dari Pemerintah RI berupa Satya Lencana Karya Kelas III.

Soedewo adalah juga pahlawan tanpa tanda jasa yang mengajar di HIS Muhammadiyah Yogyakarta dan sekolah-sekolah lain jauh sebelum era kemerdekaan. Terakhir, ia tercatat sebagai pengajar di Institut Pertanian Bogor. Sebagai pengajar, beliau mencapai jabatan tingkat tertinggi sampai pada masa pensiun sebagai Inspektor Sekolah Rakyat.

Dari tangannya, lahir berbagai karya tulis orisinil maupun terjemah. Salah satu karya terjemahnya yang fenomenal adalah De Heliege Qur’an, terjemah dari The Holy Qur’an karya Maulana Muhammad Ali. Soedewo berhasil menyelesaikan karya terjemah itu di usia 28 tahun. Kitab yang terbit di tahun 1933 ini menjadi rujukan kaum intelektual pada masanya, dan tersebar luas di penjuru Nusantara, bahkan sampai Nederland dan Suriname.

Konon, kitab ini, dan juga banyak kitab lain dari Ahmadiyah-Lahore, banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran Soekarno, Tjokroaminoto, Agus Salim, dan tokoh bangsa lain pada masanya.

Ketiga ada Brigadir Jenderal Moehammad Bachroen. Ia adalah Ketua Umum PB GAI yang kedua, menggantikan Djojosoegito. Namanya dikenang dan diabadikan sebagai nama jalan di Kabupaten Banyumas, terbentang di antara kota Ajibarang dan Purwokerto.

Bachroen meniti karier di Militer sejak era pemerintahan Jepang. Mula pertama ia masuk Pembela Tanah Air (PETA) sebagai Cudanco Daini Deidan di tahun 1943, dan meraih pangkat pertamanya sebagai Kapten. Dua tahun kemudian, ia naik pangkat menjadi Letnan Kolonel, dan dari 1946 hingga 1950 berturut-turut menjabat sebagai Komandan Resimen 15, Komandan Resimen 16, dan Komandan STC Banyumas merangkap Komandan Wijaya Kusuma I, di bawah Komando Teritorial Kodam IV/Diponegoro.

Jabatan terakhir hingga pensiun adalah sebagai Kepala Corps Intendance Angkatan Darat (CIAD) di Jakarta, selain juga sebagai Hakim Perwira pada Pengadilan Tentara Tinggi dengan pangkat terakhir Brigadir Jenderal. Ia pernah juga mendapat tugas sebagai ajudan mendampingi Presiden Soekarno selama menunaikan ibadah Haji di Tanah Suci, pada saat menjabat sebagai Sekretaris Militer Presiden. Di masa pensiun, antara tahun 1960-1966, ia juga sempat mengabdi kepada bangsa ini sebagai anggota MPRS.

Bachroen mendapat anugerah Bintang Gerilya, yang disematkan oleh Pangkowilhan II Letjen TNI Widodo di Yogyakarta pada tahun 1976. Ia wafat pada tahun 1979 dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Komitmen Keindonesiaan GAI yang ketiga, dinyatakan secara terbuka dua tahun pasca proklamasi kemerdekaan, tepatnya di bulan Mei 1947. Kala itu, dalam kongres ke XVII di Purwokerto, GAI memutuskan dua pokok persoalan penting. Pertama, menerima Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Kedua, mendirikan lembaga pendidikan untuk mendidik generasi masa depan bangsa.

Penerimaan GAI atas Pancasila di tahun 1947 ini menjadi signifikan, mengingat arus islamisme pasca proklamasi kemerdekaan cukup kuat. Apalagi, arus itu dikuatkan dengan didirikannya Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949 oleh Sekartaji Marijan Kartosuwiryo.

Kartosuwiryo mulanya kecewa atas ditandatanganinya Persetujuan Renville oleh perwakilan RI pada Desember 1947, pasca gencatan senjata Indonesia-Belanda sejak Agustus 1947. Ia beranggapan, dengan ditandatanganinya Persetujuan Renville, Indonesia telah kalah dan bubar. Laskar Hizbullah/Sabilillah yang dipimpinnya kemudian mengingkari NKRI dan bertransformasi menjadi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (TII). Laskar inilah yang kemudian menjelma NII di tahun 1949.

Sejak 1 Juni 1945, ketika mula pertama diperkenalkan oleh Soekarno dalam sidang BPUPKI, Pancasila sebagai dasar negara Indonesia sudah diperkarakan. Sejak itu, bahkan hingga hari ini, terjadi tarik ulur antara kalangan nasionalis dan agamais, khususnya Islam, yang berbeda pandangan dalam soal dasar negara ini.

Sebagian kalangan muslim, seringkali merujuk Piagam Jakarta “yang asli”, sebagai legitimasi atas cacatnya Pancasila sebagai Dasar Negara. Piagam yang disusun oleh Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945 itu, adalah sebuah dokumen historis hasil kompromi antara pihak agamais dan pihak nasionalis dalam BPUPKI, untuk menjembatani perbedaan pandangan dalam agama dan negara.

Di waktu pengesahan UUD 45 tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah dalam Piagam Jakarta diubah menjadi Pembukaan UUD. Lantas, butir pertama yang berisi kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya, diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Perubahan itulah yang dituding oleh sebagian kalangan muslim sebagai pengingkaran atau pengkhianatan atas kesepekatan awal pendirian negara-bangsa ini.

Dalam silang sengkarut pertentangan ideologi itu, GAI menegaskan diri sebagai barisan pendukung Pancasila. Meski secara faktual GAI adalah pergerakan di dalam Islam, yang bertugas melayani Islam dalam konteks penyiaraan dan pembelaan, tetapi ia bersikukuh mengamini Pancasila sebagai pilar ideologis rakyat Indonesia, dalam berbangsa dan bernegara.

Loyalitas GAI terhadap Pancasila dibuktikan kembali di era 1950-an. Ketika banyak anggota GAI yang masuk ke berbagai partai politik yang ada saat itu. Kita tahu, dalam pemilu pertama di Indonesia tahun 1955, tercatat ada 29 partai politik dan individu yang menjadi peserta Pemilu. Meski dianggap paling demokratis, Pemilu 1955 adalah juga pemilu yang melahirkan konflik interes dan friksi cukup besar dalam tubuh bangsa.

Pada dasarnya, GAI bersikap liberal dalam soal politik bagi warganya. Dalam arti, GAI memberi kebebasan kepada setiap anggotanya untuk terjun dalam politik praktis. Tetapi, kemerdekaan pilihan itu harus tetap dalam koridor anggaran dasar. Dalam butir keempat dari Sikap Politik GAI dinyatakan bahwa GAI tidak dan tidak akan merampas hak politik anggotanya, asalkan gerakan politik itu tak bertentangan dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Nah, salah satu partai yang kala itu dianggap tidak sesuai dengan asas dan tujuan GAI adalah PKI. Atas dasar itu, GAI menerbitkan maklumat yang menyatakan melarang anggota GAI untuk masuk PKI. Salah seorang anggota, Kyai Sabitoen, diperingatkan supaya keluar dari PKI. Akan tetapi karena tidak mengindahkan peringatan ini, maka PB GAI menerbitkan Surat Keputusan tertanggal 17 Oktober 1957, yang menyatakan bahwa Moehammad Sabitoen dikeluarkan dari GAI.

Kyai Sabitoen adalah tokoh pendiri GAI di Wonosobo, yang ia rintis sejak tahun 1927. Ia anak Abdul Wahab, seorang kyai kharismatik di Tanjungsari, Watumalang, sebuah kecamatan di lereng Gunung Sindoro. Sabitoen muda pernah belajar agama di Isha’ati Islam College selama tiga tahun, sejak 1924 hingga 1927, di Pusat Ahmadiyah-Lahore di India, bersama Jumhan atau Irfan Dahlan, Putra Pendiri Muhammadiyah, Kyai Ahmad Dahlan.

Mulanya, Kyai Sabitun aktif di Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi buruh tani yang berafiliasi ke PKI. Tahun 1948, ia membeli rumah di kampung Kauman Utara, dan kemudian pindah ke kampung Tanggung, Wonosobo tahun berikutnya. Di kampung Tanggung itulah aktivitas Kyai Sabitun di BTI meningkat. Puncaknya, Kyai Sabitun terpilih sebagai anggota DPRD Wonosobo mewakili PKI di tahun 1957. Tak berapa lama, ia juga terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi Semarang, Jawa Tengah.

Keputusan mengeluarkan Kyai Sabitoen dari keanggotaan GAI ini menurut Ubaidillah Fatawi dalam Kyai Sabitun, Agama dan Gerakan Transformasi Sosial sebagai sesuatu yang wajar, melihat panasnya politik di tahun kepemimpinan Soekarno. “Ketika itu,” tulis Fatawi, “Ahmadiyah tidak ingin terseret lebih jauh dalam suasana politik yang panas.”

Lalu, beralih ke soal lembaga pendidikan yang diputuskan dalam muktamar GAI di Purwokerto. Lembaga itu didirikan pada 1 September 1947, dengan nama Perguruan Islam Republik Indonesia. Nama lembaga ini seolah hendak menegaskan, bahwa GAI berkomitmen terhadap keislaman, dalam konteks keindonesiaan.

Pendidikan di lingkungan GAI, termasuk aktivitas dakwahnya secara umum, tidaklah ahmadiyah-centris, melainkan islam-centris, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai amal usaha GAI di bidang pendidikan, PIRI terbuka bagi semua umat, bukan hanya umat Islam. Tidak sedikit murid-murid dari penganut agama lain yang ikut bersekolah di lingkungan Yayasan PIRI.

Kustirin Djojosoegito, Ketua Yayasan PIRI yang pertama, dalam wawancara dengan Majalah Tempo tahun 1974, menyatakan, “niat dalam hati kita supaya murid-murid PIRI jadi jago-jago kita. Tapi kami tidak memaksa. Cuma, yang bisa saya anjurkan kepada anak didik PIRI, jadilah jago-jago Islam yang baik. Mau ikut Ahmadiyah, NU, Muhammadiyah, terserah. Sebab Ahmadiyah, NU, Muhammadiyah dan lainnya cuma organisasi. Yang harus diperjuangkan adalah Islam.”

Mula pertama, Yogyakarta dipilih sebagai pusat pendirian dan kegiatan pendidikan PIRI, dengan alasan bahwa saat itu Yogyakarta tengah menjadi Pusat Pemerintah RI, di samping banyak pengungsi yang datang ke Yogyakarta dari berbagai daerah yang diduduki Tentara Agresi Belanda.

Pada 19 Desember 1948, Yogyakarta diserbu dan diduduki Tentara Belanda. Lembaga Pendidikan PIRI pun dibekukan. Baru sejak Maret tahun 1949, setelah terjadi perebutan kembali Jogja yang dikenal sebagai Jogja Kembali, lembaga pendidikan PIRI pun kembali diaktifkan, dan terus berkembang hingga kini.

Boleh dikata, di usia PIRI yang ke 73 ini, sudah ratusan ribu anak bangsa yang lulus dari sekolah-sekolah PIRI dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi, yang kini tersebar di Yogyakarta, Purwokerto, Lampung, dan Sumatera Selatan.

Dirgahayu Indonesia!

Oleh: Basyarat Asgor Ali | Kediri, 17 Agustus 2020

Yuk Bagikan Artikel Ini!
Translate »