KhutbahRamadhan

Famadza ba’da Ramadhan?

a man in gray suit covering his face

Kita bersyukur ke hadirat Allah, karena telah diberi kesempatan untuk melalui Bulan Ramadhan di tahun 1444 Hijriyah sembari menyelenggarakan berbagai rangkaian ibadah seperti puasa, tahajjud, tarawih, tadarus, zakat, i’tikaf, dlsb

Ramadhan yang penuh berkah telah meninggalkan kita. Dan hari ini sepatutnya kita bertanya, kepada diri kita sendiri. Famaadzaa ba’dla Ramadlaan? Apa yang tertinggal dalam diri kita setelah Ramadan berlalu?

Bekas-bekas kebaikan apa yang terlihat pada diri kita setelah keluar dari madrasah Ramadan? Apakah bekas-bekas itu hilang seiring dengan berlalunya bulan ini?

Apakah amal-amal kebaikan yang terbiasa kita kerjakan di bulan itu pudar setelah puasa berakhir?

Adakah tersisa semangat beribadah di bulan syawal ini, dan di bulan-bulan berikutnya nanti, sebagaimana di bulan Ramadan yang lalu?

Adakah kita akan terus meramaikan dan memakmurkan masjid lagi di bulan lain selain bulan Ramadan?

Adakah kita akan meneruskan qiyamul lail sebagaimana yang biasa dilakukan di malam-malam bulan Ramadan?

Adakah kita akan meneruskan membolak-balik Al-Qur’an untuk membaca dan mempelajarinya seperti di tiap maghrib dan subuh di bulan Ramadhan?

Sebab, apakah kita akan meneruskan segala amal kebaikan sebagaimana sepanjang bulan Ramadhan yang lalu ini kita selenggarakan, ataukah kita akan berhenti atau setidak-tidaknya kendor dalam beribadah sesudahnya, amat menentukan siapa kita sebenarnya di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala.

Apakah ibadah kita di bulan Ramadan diselenggarakan atas dasar niat lillaahi ta’ala, ataukah semata-mata hanya mengikuti ritus bulan Ramadan tanpa makna?

Bukankah Allah telah memerintahkan agar supaya ibadah kita hendaknya ikhlas hanya untukNya semata, sebagaimana bisa kita baca dalam ayat kelima dari Surat Al-Bayyinah,

Wamaa umiruu illaa liya’budullaaha mukhlisiina lahud-diin. Khunafaa’a wayuqiimush-shalaaata wayu’tuz-zakaata wa dzaalika diinul qayyimah

Tidaklah mereka diperintahkan beribadah kepada Allah, kecuali semata-mata supaya mereka tulus ikhlas menghamba kepadaNya, dengan cara mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Sebab, itulah cara-cara beragama yang benar (QS 98:5).

Dan demikianlah pula yang dicontohkan oleh suri tauladan kita, Rasulullah saw., sebagaimana bisa kita baca dalam Surat Ali Imran Ayat 79, “Qul innii umirtu an a’budallaaha mukhlisiina lahuddiin.” Katakanlah, Sungguh aku diperintahkan supaya menghamba kepada Allah dengan cara mengikhlaskan segala ibadah atau pengabdian hanya untuknya dan hanya kepadanya.

Sebab itu, Rasulullah saw. bersabda, Innamal a’malu bin niyah, wa innama likullimri’in maa nawaa. Setiap amal dan ibadah akan dinilai dari niatnya. Dan setiap orang hanya akan memperoleh hasil dari apa-apa yang diniatkannya itu.

Setidak-tidaknya, kita bisa mengukur niat dan keikhlasan kita beribadah di bulan Ramadan yang telah berlalu itu, dengan cara membandingkan apa yang terjadi dengan kita selama di bulan Ramadan dan di bulan sesudahnya.

Dalam Kitab Latha-iful Ma’arif karya Ibnu Rajab Al-Hambali diriwayatkan, seorang ulama dari Baghdad di pertengahan abad kedua hijriyah bernama Imam Bisyri bin al-Harits al-Hafi, pernah ditanya tentang orang-orang yang pada masanya hanya rajin dan tampak bersungguh-sungguh beribadah di bulan Ramadan, tetapi tidak di bulan lainnya. Maka beliau menjawab:

“Mereka adalah orang-orang yang amat buruk di mata Allah, karena mereka tak memberikan hak-haknya Allah, kecuali hanya di bulan Ramadan. Sesungguhnya, hamba Allah yang saleh adalah dia yang rajin dan sungguh-sungguh beribadah tidak hanya di bulan Ramadhan saja, tetapi dalam setiap bulan di sepanjang tahun kehidupannya.”

Bagaimana tidak dikatakan seburuk-buruk kaum. Mereka beribadah kepada Allah parameternya adalah Ramadan. Ketika Ramadan pergi mereka tinggalkan ibadah-ibadah itu.

Padahal, menurut Imam Bisyri, hamba Allah Taala yang sejati adalah dia yang selalu menjadi hamba-Nya di setiap tempat dan waktu, bukan hanya di waktu dan tempat tertentu, seperti di bulan Ramadan saja.

Imam Bisyri lantas mengutip ayat ke 162 dari Surat Al-An’am, yang sesungguhnya selalu kita baca dalam iftitah shalat kita, “Qul inna shalaati wa nusukii wamahyaaya wamamaati lillaahi rabbil ‘aalamin.” Katakanlah: Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.

Allah itu ada dan mewujud di sepanjang masa, bukan hanya di bulan Ramadan saja. Maka beribadah ataupun berbuat amal soleh adalah perintah Allah sepanjang masa kepada kita, tidak terbatas pada bulan Ramadhan saja, tapi juga di bulan Syawwal atau pun di bulan-bulan yang lain.

Karena itu, dengarlah kata bijak para salafus shaleh yang menyatakan, “Kun robbaniyyan walatakun romadhoniyyan.”

Jadilah hamba Allah, jangan menjadi hamba Ramadan. Sebab, Allah yang kita sembah di bulan Ramadhan, adalah Allah yang satu dan sama, baik sebelum maupun selepas ramadhan.

Ramadhan adalah bulan riyadah, bulan pelatihan, atau bulan tarbiyah, atau pendidikan. Bulan mujahadah, atau bulan untuk berjuang dalam menyiapkan bekal untuk melewati sebelas bulan yang akan datang.

Karena itu, teruslah melakukan ketaatan, pengabdian dan penghambaan kepada Allah, meskipun kita tak berada lagi di bulan Ramadhan. Beristiqomahlan dalam menyelenggarakan berbagai peribadatan dan amalan kebaikan, meski Ramadan telah berlalu.

Bukankah kita membutuhkan dan mengharapkan rahmat dan berkah dari Allah Taala tidak hanya di bulan Ramadan saja, tapi juga di bulan-bulan lainnya.

Idul Fitri seharusnya menjadi momentum bagi kita meneguhkan niat sekaligus sebagai pintu gerbang untuk kita beristiqomah dalam ibadah semata karena Allah Ta’ala.

Sebab, hakikat hari raya Idul Fitri adalah perayaan kemenangan orang beriman melawan nafsunya di medan jihad Ramadan.

Idul Fitri adalah momentum kemenangan, menang melawan hawa nafsu kita sendiri, sehingga layak mendapatkan rahmat, barakah, dan maghfirah yg dijanjikan Allah di bulan Ramadan, sehingga kita seperti kembali ke asal kejadian seperti saat kita dilahirkan: tanpa beban kesalahan atau dosa apa pun.

Tiap kita lahir suci tanpa noda dan dosa. Sehingga, memasuki Idul Fitri, kita harus kembali mensucikan diri dan melebur dosa-dosa kita yang telah lalu dan tidak mengulanginya lagi di masa yang akan datang.

Idul fitri juga harus menjadi momentum bagi kita untuk terus memperbaiki diri, dan memperbaiki hubungan vertikal dg Allah, di samping juga hubungan horizontal dg sesama manusia.

Laisal ‘id bi libasul jadid, wala kinnal ‘id bitha’atil yazid. Idul Fitri bukanlah ajang pamer baju baru, kendaraan baru, atau istri baru, atau kemewahan dunia lainnya. Idul fitri adalah soal ketaatan dan kesalehan yang bertambah, dan terus bertambah.

Mari kita sempurnakan hubungan dengan Allah (hablun minallah), melalui peningkatan iman dan taqwa, sebagaimana yg menjadi tujuan puasa (la ‘allaqum tattaquun), yang hampir satu bulan ini kita amalkan.

Dan di bulan syawal ini kita berupaya meningkatkan kualitas iman taqwa. Karena hakikat syawal adalah peningkatan kualitas diri.

Idul fitri juga harus menjadi momentum memperbaiki hubungan dengan sesama manusia (hablun minnannas). 

Rangkaian ibadah di bulan Ramadhan, seperti puasa, zakat, sedekah, dan lain sebagainya, mengajarkan kita untuk berempati kepada sesama. Ikut menghayati penderitaan orang lain, dan membuat kita tergerak untuk sedapat mungkin mengulurkan tangan membantu atau menolong mereka yang kesusahan.

Mari kita meringankan tangan untuk membantu sesama, mulai dari lingkungan terdekat kita, bahkan mungkin dari lingkaran sanak family kita sendiri. Bantulah sesama dengan apa yang kita mampu. Tolonglah sesama dengan apa yang kita bisa.

Mudah-mudahan dengan demikian, Allah menerima segala amal ibadah dan amal saleh kita, dan memasukkan kita ke dalam golongan orang yang suci dan disucikan, serta meraih kesuksesan fid dunya wal akhirah, sebagaimana doa yang senantiasa kita ucapkan di antara kita di setiap momentum idul fitri:

Taqabbalallaahu minna wa minkum taqabbal ya karim. Wa ja’alanallahu wa iyyaakum minal ‘aidin wal faizin wal maqbulin. Kullu aamin wa antum bi khair.

Tulisan Di atas adalah transkripsi Khutbah Jumat di Masjid Margi Utami pada 21 April 2023 M oleh Asgor Ali

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »