Ayat pertama dalam Surat Al-Fatihah (atau kedua, jika basmalah dihitung), yang berbunyi alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin,menegaskan bahwa segala puja dan puji yang sejati adalah milik Allah semata, Rabb semesta alam.
Arti kata “Rabb,” yang biasanya diartikan secara simplistis sebagai “Tuhan,” diterangkan oleh Al-Qur’an sendiri secara relatif singkat, di permulaan Surat Al-A’la, “Maha sucikanlah Rabb dikau yang Maha-Tinggi, Yang Menciptakan lalu menyempurnakan, dan Yang menentukan takaran kemudian memberi petunjuk (ke arah kesempurnaan sesuai dengan ukuran/takdirnya)” (QS Al-A’laa 87:1-3).
Dari ayat ini terang sekali bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah SWT pasti berangsur-angsur akan menuju kesempurnaannya. Inilah manifestasi perbuatan Allah yang disebut khalq dan taswiyah.
Di samping itu, segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah pasti juga diberi takaran atau ukuran, berupa kemampuan-kemampuan yang sudah tertanam (inherent) dalam kodratnya. Dan untuk memperkembangkan kemampuan-kemampuan itu Allah memberikan petunjuk, agar setiap ciptaan mencapai tujuan dari penciptaan-Nya itu. Inilah manifestasi Allah yang disebut taqdir dan hidayah.
Ringkasnya, dalam sifat pokok Allah yang dinyatakan dengan kata Rabb itu, terkandung empat aspek perbuatan Allah, yaitu khalq (mencipta), taswiyah (menyempurnakan), taqdir (menentukan kadar/ukuran) dan hidayah (memberi petunjuk).
Maka, kata Rabb bisa didefinisikan sebagai “Tuhan yang menciptakan segala sesuatu, dan tidak saja memberikan masa penghidupan dan pemeliharaan terhadap segala sesuatu itu, melainkan juga memberikan kemampuan-kemampuan yang sudah tertanam dalam kodratnya, sehingga dalam lingkungan kemampuan ini, Dia menyediakan pula syarat-syarat agar sang makhluk meneruskan perkembangan mereka setapak demi setapak hingga mencapai puncak kesempurnaan.”
Dengan demikian, sifat Rabb daripada Allah ini mengisyaratkan hadirnya hukum evolusi (rububiyah)[1] di dalam alam semesta (al-‘aalamiin), termasuk di dalamnya adalah alam ma’adini (anorganis), alam nabati (tetumbuhan), alam hewani (binatang), alam ruhi (ruh) dan alam insani (manusia).
Hidayah (petunjuk), yang dalam Al-Qur’an sering dinyatakan dengan istilah wahyu, adalah cara komunikasi Allah dengan ciptaan-Nya. Hal ini meniscayakan bahwa Allah tak pernah berlepas diri dengan ciptaan-Nya.
Setelah menciptakan sesuatu, Allah tak meninggalkan ciptaan-Nya begitu saja. Semua ciptaan-Nya, dalam segala tingkatan perkembangannya, tetap berada dalam lingkup-Nya. Demikian juga halnya dengan umat manusia (QS Al-Isra 17:60).
Dr. Sir Muhammad Iqbal, dalam bukunya “The Reconstruction of Religious Thoughty in Islam” menyatakan, “Hubungan dengan asal Wujud itu khusus bagi manusia. Sebenarnya cara yang dipakai Qur’an dengan kata “Wahyu” menunjukkan bahwa Qur’an memandangnya sebagai suatu milik hidup yang universal, sekalipun kodrat dan wataknya berbeda, menurut perbedaan tingkat evolusi hidup ini. Tumbuh-tumbuhan yang tumbuh bebas dalam ruang, binatang yang mengembangkan jenis baru untuk menyesuaikan diri dengan keadaan di sekitarnya, serta makhluk manusia mendapat penerangan dari makna yang dalam dari makna kehidupan, semua itu merupakan wahyu dengan watak yang beraneka macam, tergantung kepada kebutuhan-kebutuhan spesies tempat si penerima itu tergolong” (hlm. 187)
Wahyu Allah yang secara khusus dikaruniakan kepada manusia bersifat progresif dan universal, diwahyukan secara evolutif kepada semua umat manusia yang terdiri dari berbagai suku bangsa tanpa diskriminasi. Qur’an Suci mengisyaratkan perihal ini dengan menyatakan bahwa pada tiap-tiap umat telah dibangkitkan seorang Utusan yang menganjurkan tauhid dan ihsan. Misalnya dalam ayat berikut ini:
“Sesungguhnya telah kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang Utusan. Sabdanya: ”Mengabdilah kepada Allah dan jauhkanlah diri kamu dari setan (thagut). Lalu di antara meraka ada yang Allah berikan hidayah (petunjuk) dan ada pula di antara mereka yang sudah sepantasnya berada dalam kesesatan. Maka berkelilinglah kamu di muka bumi, lalu lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan.” (QS An-Nahl 16:36).
Di ayat yang lain, Allah menyatakan bahwa kepada setiap utusan dikaruniakan wahyu, yang berisi petunjuk tentang undang-undang atau cara (syir’ah) dan jalan (minhaj) menuju kepada Tuhan Yang Esa, sebagai berikut:
“Kami telah menurunkan kepada engkau Kitab dengan kebenaran, yang membetulkan (menggenapi) apa yang ada sebelumnya tentang Kitab dan yang menjadi penjaga baginya. Maka adililah antara mereka dengan apa yang Allah turunkan, dan janganlah engkau menuruti keinginan rendah mereka (dengan menyimpang) dari kebenaran yang datang kepada engkau. Kepada tiap-tiap orang di antara kamu telah kami tetapkan undang-undang (syir’ah) dan jalan (minhaj). Dan jika Allah menghendaki, niscaya Ia akan membuat kamu satu umat. Tetapi Ia menguji kamu dengan apa yang Ia berikan kepadamu. Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan. Kepada Allah-lah kamu akan kembali, lalu Ia akan memberitahukan kepadamu tentang apa yang kamu berselisih di dalamnya.” (QS Al-Maidah, 5:48).
Atas dasar ayat ini pula, semua tempat suci yang menjadi pusat syiar agama-agama di dunia ini harus dihormati. Dan penghormatan semacam ini dinilai sebagai perbuatan “menolong Allah,” sebagaimana diisyaratkan dalam ayat berikut ini:
“Sekiranya tak ada tangkisan Allah terhadap sebagian manusia oleh sebagian yang lain, niscaya akan ditumbangkan biara-biara, gereja-gereja, kanisah-kanisah dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak diingat nama-nama Allah. Dan sesungguhnya Alllah akan menolong orang yang menolong Dia. Sesungguhnya Allah itu Yang Maha Kuat, Yang Maha Perkasa.” (QS Al-Hajj, 22:40).
Adanya berbagai macam tempat suci, yang meniscayakan adanya perbedaan cara (syir’ah) dan jalan (minhaj) menuju kepada Tuhan Yang Maha Esa ini, mengisyaratkan bahwa cara dan jalan itu diwahyukan secara evolutif kepada segala umat dari segala bangsa di bumi ini, sesuai dengan tingkat kecerdasan dan budaya mereka, melalui para Utusan yang dibangkitkan di antara mereka.
Risalah kerasulan dalam silsilah kenabian antara satu umat dengan umat lain pun pasti meniscayakan adanya perbedaan, karena berbeda waktu pewahyuannya. Misalnya silsilah kenabian di kalangan Bani Israil sejak dari Musa sampai Isa al-Masih, silsilah kenabian di kalngan bangsa India dari sejak Avatara yang tak dikenal sampai kepada Rama, atau dimulai dari Krishna dan berakhir pada Sidharta Gotama, dan sebagainya.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa perbedaan itu hanyalah menyangkut bahasa dan detail atau cabang (furu’) agama saja, bukan maslah pokok agama (ushuluddiin). Asas pokok semua agama adalah sama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid) dan pengabdian kepada-Nya, yang manifestasinya adalah berbuat baik kepada sesama (ihsan).
Evolusi risalah para utusan dari berbagai bangsa atau umat itu akhirnya mencapai kesempurnaan dalam Islam yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad saw. (QS Al-Maidah, 5:3). Kedatangannya telah dinubuatkan oleh para Nabi terdahulu (QS Ali Imran 3:80), dan termaktub pula dalam Al-Qur’an, sebagaimana diisyaratkan dalam Quran Surat Al-Maidah 5:48, “Kami (Allah) telah menurunkan kepada engkau (Muhammad) Kitab (Al-Qur’an) dengan benar, yang membetulkan/menggenapi (mushaddiq) tentang Kitab Suci (sebelumnya) dan yang menjadi penjaga (muhaimin) baginya.”[]
Penulis: K.H. Simon Ali Yasir | Ketua Umum PB GAI 1995-1999
[1] Berlakunya hukum evolusi (rububiyah) ini juga nampak jelas dalam arti linguistiknya. Kata “Rabb” berasal dari kata tarbiyah, artinya pendidikan. Kata-kata yang bersumber dari kata ini memiliki arti yang berbeda-beda, namun mengandung makna pengembangan, peningkatan, ketinggian, kebaikan dan perbaikan. Misalnya kata riba’ (secara etimologi berarti kebaikan), rabwah (dataran tinggi), ar-rabuu (sejenis roti yang dicampur dengan air sehingga membengkak dan membesar), dsb.
Comment here