“Iqra’! Mâ ana biqâri’in adalah kalimat yang bergema, memecahkan kesunyian malam di Gua Hira di puncak bukit An-Nur pada 17 Ramadhan 610 Masehi. Peristiwa itu kemudian dikenal dan diperingati sebagai Nuzûlul-Qurân, artinya turunnya ayat-ayat Al-Quran yang pertama kali, yaitu diwahyukannya surat 96 Al-‘Alaq ayat 1–5 yang berbunyi:
“Bacalah dengan nama Tuhan dikau yang menciptakan, Yang menciptakan manusia dari segumpal darah, baca-lah, dan Tuhan dikau adalah yang paling Murah hati, Yang mengajarkan (menulis kepada manusia) dengan pena, Yang mengajarkan kepada manusia apa yang ia tak tahu.”
Perintah Ilahi lewat Jibril yang berbunyi iqra’, biasanya diterjemahkan bacalah, seperti di atas, dan jawaban Rasulullah “Mâ ana biqâri’” diterjemahkan aku tidak dapat membaca. Padahal, perintah Ilahi yang membuat Nabi menggigil dan ketakutan itu, tentu bukan karena Rasulullah saw. seorang yang ummi (buta huruf), tetapi karena beratnya amanat yang dibebankan kepada diri beliau.
Meski beliau seorang ummi, beliau adalah fathanah (cerdas) sebagaimana para Nabi lainnya. Beliau tahu pasti apa arti kata iqra’ itu. Sebab selain berarti “bacalah,” kata itu juga mengandung arti lain, misalnya sampaikanlah, himpunkanlah dan sebagainya.
Dengan demikian kalimat Mâ ana biqâri’ tidak hanya berarti aku tidak dapat membaca saja, tetapi juga dapat berarti aku tidak dapat menyampaikan, atau aku tidak dapat mengumpulkan, dan sebagainya.
Jadi, Al-Quran diturunkan dengan maksud supaya dibaca untuk dipahami isinya, supaya disampaikan kepada sekalian umat manusia. Atau supaya dikumpulkan atau dihimpun, karena semua ayatnya mengandung makna keagungan.
Nuzulul Quran Di Bulan Ramadhan
Dalam Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 185, Allah berfirman, “Bulan ramadhan ialah yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai pimpinan bagi manusia dan tanda bukti yang terang tentang pimpinan dan pemisah.”
Ayat suci ini memberitahu kita bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bulan Ramadan, yang memiliki tiga fungsi sebagai berikut:
- Hudallinnâs, pimpinan bagi manusia, baik yang tergolong secara etnis atau rasis (misalnya Semit, Hametik, Yafethik, dan Mongoloid) maupun secara teologis (mukmin, muslim, muttaqin, dan kafir yang terdiri dari kaum Ahlikitab dan Musyrikin).
- Bayyinatimminalhudâ, tanda bukti atau penjelasan yang terang tentang pimpinan atau petunjuk bagi manusia itu. Oleh karena itu Al-Qur’an sering disebut sebagai Mubayyin, artinya yang menjelaskan segala sesuatu, termasuk apa yang diwahyukan kepada sekalian manusia melalui para Nabi utusan Allah dari tiap-tiap bangsa (QS 16:36, 43-44, 63-64).
- Al-Furqân, pembeda, atau yang membedakan antara yang benar dan salah, dan antara kebenaran dan kepalsuan, terutama yang terdapat dalam kitab-kitab suci sebelumnya, misalnya Injil yang diwahyukan kepada Isa Almasih (Yesus Kristus) yang oleh saudara kita umat Kristiani diidentikkan dengan Perjanjian Baru (The New Testament).
Berkat petunjuk Al-Qur’an sebagai Al-Furqan, kita dapat membaca Kitab-Kitab Suci terdahulu. Misalnya jika kita membaca Perjanjian Baru, kita dapat membedakan mana yang berasal dari Allah (mâ anzalallâh), dan mana yang bukan dari Allah (mâ ma’ahum). Dalam Perjanjian Baru sendiri, apa yang berasal bukan dari Allah itu disebut “Injil Tentang Yesus” (Mrk 1:1). Sedangkan yang berasal dari Allah sendiri disebut “Injil Yesus” (Gal 1:7), atau lebih tepatnya “Injil dari Yesus”.
Jadi esensinya ada dua macam Injil, yakni “Injil tentang Yesus Kristus” dan “Injil dari Yesus Kristus”. Secara substansial keduanya berbeda, bahkan berseberangan. “Injil tentang Yesus Kristus” inti risalahnya adalah Ketuhanan Yesus Kristus dengan segala rangkaiannya. Sedangkan “Injil dari Yesus Kristus” inti risalahnya adalah kabar baik tentang kedatangan atau tegaknya Kerajaan Allah atau Kerajaan Sorga di bumi, sebagaimana tersirat dalam Doa Bapa Kami yang terkenal.
Jati Diri Al-Quran
Dalam kitab Al-Itqân Mabâhitsu fî ‘Ulûmul-Qur’ân, ada setidaknya 50 nama lain dari Al-Quran, yang kesemuanya berlaku sebagai nama-nama sifat (yang perlu diterjemahkan) dari Al-Qur’an, misalnya:
- Al-Kitâb (2:2) artinya tulisan yang lengkap dengan sendirinya.
- Al-Mubîn (12:1) artinya yang membuat barang-barang menjadi terang.
- Al-Karîm (56:77) artinya yang mulia.
- Al-Kalâm (9:6) artinya firman.
- An-Nûr (7:157) artinya cahaya, dan lain-lain.
Kata Al-Qur’ân sendiri, sebagaimana tercantum dalam QS 2:185 di atas misalnya, adalah nama diri (proper name). Sehingga, nama ini tidak perlu diterjemahkan.
Meski demikian, bukan berarti bahwa istilah Al-Qur’an itu tak punya arti. Justru sebaliknya, dalam kata itu tersimpan jatidiri dan kemukjizatan Al-Qur’an sepanjang zaman.
Ada berbagai pendapat tentang asal-usul kata Al-Qur’an itu, tetapi saya menggarisbawahi pendapat Prof. Dr. Subhi Shaleh, dan juga Maulana Muhammad Ali dalam bukunya The Religion of Islam. Menurut keduanya, Al-Qur’an adalah isim mashdar (bentuk infinitif) dari akar kata qara’a. Menurut berbagai kamus Arab, kata qara’a mengandung banyak arti, antara lain:
- membaca, seperti dalam kalimat qara’al-kitâb.
- menyampaikan, seperti dalam qara’alaihis-salâm.
- mengumpulkan atau menghimpun, seperti dalam kalimat qara’asy-syai’.
- mengandung atau hamil, seperti dalam kalimat qara’atin-nâqah.
- melahirkan, seperti dalam kalimat qara’atil-kâmil.
Esensi Nuzulul Quran
Esensi memperingati Nuzulul-Qur’an bukan hanya mengenang kembali turunnya Al-Qur’an yang pertama kali pada tanggal 17 Ramadhan lima belas abad yang silam, tetapi adalah upaya melihat diri atau setidak-tidaknya mawas diri, apakah Al-Qur’an sudah turun dalam hati kita masing-masing. Mengingat Sang Roh Kudus, yakni Jibril, menurunkan Al-Qur’an dalam hati setiap orang dengan izin Allah (nazzalahû ‘ala qalbika bi idznillâh, QS 2:97; 16:102).
Kata qalbika (hati engkau) dalam ayat itu, sudah barang tentu ditujukan bukan hanya kepada hati Rasulullah saw. saja, tetapi juga hati kita sekalian manusia. Sebab, Al-Qur’an bukan hanya diturunkan kepada Nabi Suci (ma unzila ilaika), melainkan juga kepada sekalian umat manusia (ma unzila ilaikum, QS 5:68).
Di samping itu Al-Qur’an adalah peringatan, tadzkirah bagi segenap umat manusia (lil-‘âlamîna nadzîra, QS 25:1), yang memperingatkan apa yang telah terbenam dalam fitrahnya, seperti bentukan Yang Maha Esa, cinta kepada kebaikan dan kebenaran, benci kepada keburukan dan kepalsuan, dan sebagainya. Oleh karena itu Al-Qur’an menjadi hudallinnâs.
Fenomena yang bisa kita rasakan ketika Al-Qur’an telah turun dalam hati kita adalah ketika kita telah berakhlak dan berperilaku seperti ajaran Al-Qur’an. Inti ajarannya ialah bahwa segala sesuatu dilarang kecuali yang diperintahkan (jika berkaitan dengan akidah dan ritual), dan segala sesuatu diperbolehkan, kecuali yang dilarang (jika berkenaan dengan sosial dan kemanusiaan).[]
Oleh: Simon Ali Yasir
Comment here