Kenabian adalah suatu hal yang sangat menarik untuk didiskusikan, karena melihat fenomena di masyarakat, banyak orang yang memproklamirkan dirinya sebagai nabi dan telah menerima wahyu. Salah satunya adalah Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah.
Terkait pandangan status kenabian Mirza Ghulam Ahmad, di internal Ahmadiyah juga terpecah menjadi dua golongan. Pertama, Ahmadiyah Qadiani yang dipimpin oleh Basyiruddin Mahmud Ahmad. Kedua, Ahmadiyah Lahore yang dipimpin oleh Maulana Muhammad Ali.
Basyiruddin meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi, sedangkan Maulana Muhammad Ali meyakininya hanya sebagai seorang mujaddid. Dan pandangan keduanya didasarkan pada pernyataan Mirza Ghulam Ahmad dalam dua kitabnya.
Basyiruddin dan Muhammad Ali sama-sama menulis sebuah kitab tafsir 30 juz. Karena itu, sangat menarik untuk mengkaji epistemologi penafsiran keduanya. Dengan begitu akan tergambar dengan jelas bagaimana struktur penafsiran keduanya sehingga terbentuk pemahaman tentang konsep kenabian seperti yang telah mereka pahami. Oleh karena itu, dalam tesis ini akan membahas secara komprehensif terkait metode, sumber dan validitas penafsiran keduanya.
Penelitian ini adalah upaya untuk melihat bagaimana epistemologi penafsiran Basyiruddin Mahmud Ahmad dan Maulana Muhammad Ali. Kajian epistemologi dalam penafsiran adalah suatu hal yang sangat urgen, karena epistemologi ini berusaha untuk melacak proses terbentuknya suatu penafsiran (dalam konteks tafsir).
Penelitian ini tergolong dalam penelitian kepustakaan. Metode yang digunakan adalah deskriptif-analitis-komparatif dan pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan historis-filosofis dengan kerangka teori epistemologi yang merupakan cabang dari filsafat ilmu.
Dengan demikian, sumber data yang digunakan adalah karya tafsir kedua tokoh (The Holy Qur’an “with English Translation and Commentary” dan buku-buku yang ditulis oleh kedua tokoh. Sementara sumber sekunder adalah segala referensi yang relevan.
Penelitian berakhir pada sejumlah temuan. Secara epistemologi penafsiran Basyiruddin Mahmud Ahmad dan Maulana Muhammad Ali memiliki kesamaan dari sisi metode, sumber dan validitas penafsiran. Variabel tersebut sangat mempengaruhi pandangan keduanya dalam menafsirkan ayat-ayat kenabian.
Penulis berkesimpulan bahwa ada “ketidakjujuran” dari Basyiruddin Mahmud Ahmad dalam menafsirkan ayat-ayat kenabian. Dalam hal ini, Basyiruddin merujuk hadis-hadis nabi (yang mendukung preunderstanding-nya) tapi mengabaikan hadis-hadis yang terkesan kontradiktif dengan pemahaman yang ia yakini.
Kedua dari sisi metode, keduanya mengedepankan aspek kebahasaan dalam menafsirkan ayat-ayat kenabian, namun terkadang tidak sesuai dengan rasa Bahasa Arab. Metode ini juga terkesan digunakan untuk melegitimasi pemahamannya tentang makna khatam al-nabiyyyin.
Validitas penafsirannya cenderung bersifat korespondensi, bahwa penafsirannya sangat dipngaruhi oleh ideologi/mazhab yang mereka anut.
- Thesis : Epistemologi Penafsiran Basyiruddin Mahmud Ahmad dan Maulana Muhammad Ali (Kajian terhadap Ayat-Ayat Kenabian) (2016)
- Penyusun: Fikri Hamdani | Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga
- Unduh di sini https://digilib.uin-suka.ac.id
Comment here