Oleh: Hawe Setiawan | Rubrik Selisik, Republika, 23 September 2007
Maulana Muhammad Ali (1874-1951) bangun tidur jam dinihari. Seusai tahajud, ia berangkat ke masjid untuk mendirikan Subuh. Setelah shalat, ia berjalan-jalan, lalu kembali ke rumah buat sarapan. Kemudian ia bekerja hingga Dzuhur. Seusai shalat dan makan siang, ia tidur satu dua jam. Setelah itu ia kembali bekerja atau membaca Alquran. Ada kalanya ia menerima tamu petang hari. Setelah Maghrib ia bercengkerama bersama keluarganya. Tak lama setelah Isya ia tidur.
Jadwal itu saya petik dari situs Gerakan Ahmadiah di Lahore (http://www.muslim.org) seraya membayangkan apa yang bergemuruh dalam benak dan batin Sang Maulana. Dalam benaknya, barangkali, ia prihatin menyaksikan dekadensi di dunia Muslim dalam beberapa abad menjelang abad ke-20. Dalam batinnya,mungkin, ia mengangankan kebangkitan kembali Islam. Yang pasti, dari hari ke hari, ia menulis dan terus menulis tentang Islam dengan berbagai seginya.
Dari sejarah Gerakan Ahmadiah, kita tahu bahwa Muhammad Ali pernah memimpin Perhimpunan Ahmadiah untuk Syiar Islam (Ahmadiyya Anjuman Ishaat-i-lslam) di Lahore – sejenis pecahan Gerakan Ahmadiah yang pindah dari Qadian. Dialah salah satu juru bicara Islam terkemuka pada abad ke-20.
Sewaktu Gerakan Ahmadiah masih dipimpin oleh Mirza Ghulam Ahmad, Muhammad Ali bekerja sebagai editor Review of Religions, jurnai bulanan Islam berbahasa Inggris. Sepeninggal Mirza Ghulam Ahmad, Muhammad Ali terus giat melakukan syiar Islam secara tertulis baik dalam bahasa Urdu maupun dalam bahasa Inggris.
Sebagai penulis yang terdidik di bidang bahasa dan sastra Inggris serta hukum, Muhammad Ali amat produktif. Selain mener-jemahkan Alquran ke dalam bahasa Urdu dan bahasa Inggris, dia menulis cukup banyak buku mengenai Islam. Salah satu karyanya yang terpenting adalah The Religion of Islam (1936).
Bagi pembaca buku-buku Islam di Indonesia, nama Muhammad Ali kiranya tidak asing. Sebagaimana terjemahan Alquran itu tadi, The Religion of Islam pun sudah lama diindonesiakan.
Hingga batas tertentu, The Religion of Islam kiranya bisa disebut ensiklopedi, atau mungkin lebih tepat jika dikatakan bahwa buku ini hampir menyerupai ensiklopedi. Paparannya informatif sekaligus komprehensif. Cakupannya luas dan terperinci.
Dengan ketebalan 784 halaman (termasuk indeks) ditambah 23 halaman di luar isi buku (kolofon, lampiran, dsb.), buku ini merupakan khazanah pengetahuan yang sangat berharga perihal sumber keyakinan, prinsip, dan kegiatan Islam.
Dengan pendahuluan yang menerangkan pengertian Islam sebagai agama tersendiri, peran dan kedudukannya di antara agama-agama lain, misinya, dll. buku ini menyajikan uraian dalam tiga bagian, yang masing-masing terdiri dari sejumlah bab. Bagian per-tarrra menyajikan sumber-sumber doktrin, keyakinan, dan hukum Islam. Bagian kedua membahas prinsip-prinsip yang berlaku dalam Islam. Sementara bagian terakhir membahas rincian hukum Islam.
“Islam adalah agama penghabisan di antara agama-agama besar – itulah gerakan-gerakan akbar yang merombak dunia secara mendasardan mengubah nasib bangsa-bangsa,” papar Muhammad Ali dalam bagian pendahuluan buku ini seraya menam-bahkan bahwa Islam adalah “agama yang sangat inklusif” (all-inclusive religion).
Tentu, karakteristik buku ini terpaut pada keadaan zamannya. Sebagaimana yang terasa pula dari semangat yang menjalari penerbitan jurnai Review of Religions, dalam buku ini Muhammad Ali kiranya telah membuktikan caranya menjawab aneka suara dari luar kalangan Islam, baik dari kaum agama maupun dari kaum ilmuwan, yang ketika itu dirasakan mendiskreditkan Islam melalui salah pandang dan keliru sangka. The Religion of Islam adalah sejenis suara dari dalam.
Memang, orang bisa saja berdebat tentang sejumlah rincian dari uraian Muhammad Ali dalam buku ini. Namun. bagaimanapun. upayanya untuk mendeskripsikan Islam secara cerdas dan masuK akal, jelas patut dihargai. Dalam hal ini, kita dapat memetik tinjauan Mohammed Marmaduke Pickthall- penulis Muslim yang juga
pernah menginggriskan Alquran -atas The Religion of Islam menyusul penerbitannya.
“Tanpa sejengkal pun beringsut dari pendirian tradisional sehubungan dengan ibadatdan muamalat, penulis buku ini menunjukkan suatu bidang yang lapang tempat berbagai perubahan berlangsung secara absah dan dapatdiharapkan, sebab di sini aturan-aturan dan praktik-praktiknya tidak menemukan landasan dalam ketentuan Alquran atau perintah Nabi, dan bisa diubah lagi manakala hal-ihwal itu tidak lagi sejalan dengan kebutuhan umat. Buku seperti ini sangat diperlukan dewasa ini tatkala di berbagai negeri Muslim kita melihat orang-orang yang sangat menghendaki adanya reformasi dan kebangkitan kembali Islam malah berbuat kesalahan justru karena kurang mengetahui hal ini,” urai Marmaduke Pickthall pada 1936.
Kiranya, saya tak perlu menambah komentar. Saya hanya percaya bahwa disiplin, dedikasi dan proses kreatif Muhammad Ali tidaklah sia-sia.[]
Comment here