Pasal 5 daripada Qanun Asasi Gerakan Ahmadiyah Indonesia berbunyi sebagai berikut: “Gerakan Ahmadiyah Indonesia bertujuan menegakkan Kedaulatan Allah, Tuhan yang Maha Esa, agar umat Indonesia mencapai keadaan jiwa (state of mind) atau kehidupan batin (inner life) yang disebut salaam (damai).”
Pertama kali kami terangkan serba singkat arti perkataan “salaam.” Perkataan ini berasal dari kata SALIMA. Dari kata pokok inilah asal usulnya kata aslama, islam, muslim, salaam dsb. Adapun arti yang meliputi semuanya ialah DAMAI.
Islam artinya damai dengan Allah dan damai dengan makhluk-Nya. Damai dengan Allah, artinya berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Damai dengan makhluk-Nya ialah berbuat baik kepada semua makhluk. Orang yang berbuat demikian, pasti akan mencapai keadaan jiwa atau kehidupan batin yang disebut “salaam” (Inggris: peace of mind).
Allah Ta’ala berfirman, “Ya, barangsiapa berserah diri sepenuhnya kepada Allah, dan berbuat baik (kepada sesama makhluk-Nya), ia akan memperoleh ganjaran dari Tuhannya, dan tiada ketakutan akan menimpa mereka, dan mereka tidak akan susah” (QS 2:112).
Dari ayat ini terang sekali bahwa keadaan jiwa yang disebut “salaam” itu adalah keadaan jiwa yang bebas dari ketakutan dan kesusahan. Demikianlah pula mengapa Sorga itu diistilahkan juga sebagai Daarus-Salaam, artinya Tempat yang damai (QS 10:25).
Ayat di atas menerangkan pula bahwa untuk mencapai keadaan jiwa semacam itu, orang harus memenuhi dua syarat. Pertama, orang harus berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Dan kedua, orang harus berbuat baik kepada sesama makhluk-Nya.
Berserah diri kepada Allah harus diwujudkan dalam rupa ketaatan kepada segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Berbuat baik kepada sesama makhluk harus diwujudkan dalam rupa pengabdian diri untuk kebaikan dunia (Jawa: memayu rahayuning bawana).
Oleh karena syarat ini termasuk perintah Allah, maka yang paling pokok ialah syarat pertama. Inilah manifestasinya KEDAULATAN ILAHI.
Menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya itu berarti mengakui akan Kedaulatan Allah. “Allah Berdaulat” artinya Allah aktif menjalankan segala perintah dan menetapkan segala aturan dan undang-undang, baik yang TERSURAT maupun yang TERSIRAT. Undang-undang yang tersurat dalam Kitab Suci-Nya, pasti seirama dengan undang-undang yang tersirat di alam semesta.
Untuk sedikit memberi gambaran bagaimana Allah melaksanakan Kedaulatan-Nya, Allah telah mendeklarasikan diri-Nya dalam ayat-ayat paling permulaan di dalam Mushaf Al-Qur’an sebagai “Rabbul-‘aalamiin, Ar-Rahmaan, Ar-Rahiim dan Maaliki yaumud-Diin.
Artinya kata Rabb ini diterangkan oleh Qur’an Suci sendiri dengan singkat dan indah: “Mahasucikanlah nama Rabb dikau Yang Maha-tinggi: Yang menciptakan, kemudian menyempurnakan; dan Yang menentukan ukuran, kemudian memberi petunjuk” (QS 87:1-3)
Dari ayat ini terang sekali bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah, pasti berangsur-angsur berkembang menuju kesempurnaannya. Inilah manifestasi perbuatan Allah yang disebut khalqdan taswiyah.
Ayat selanjutnya menerangkan bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah pasti diberi kemampuan-kemampuan yang sudah tertanam (inherent) dalam kodratnya. Dan untuk memperkembangkan kemampuan-kemampuan itu, Allah memberikan petunjuk agar ciptaan itu dapat mencapai tujuannya. Inilah manifestasi perbuatan Allah yang disebut taqdirdan hidayah.
Oleh sebab itu, Rabb dapat diartikan sebagai “Yang menciptakan segala sesuatu, dan tidak saja memberikan mata penghidupan dan pemeliharaan, melainkan pula memberikan kemampuan-kemampuan yang sudah tertanam dalam kodratnya, dan dalam lingkungan kemampuan ini, Dia menyediakan syarat-syarat, agar meneruskan perkembangannya setapak demi setapak hingga mencapai puncak kesempurnaan.”
Sifat Rabb ini mengisyaratkan adanya hukum evolusi yang bekerja di alam semesta. Semua ciptaan Allah pasti tunduk pada hukum ini.
Biji beringin yang tidak seberapa besarnya itu, di dalamnya sudah diberi kemampuan-kemampuan yang jika dipenuhi syarat-syaratnya akan berkembang menjadi pohon beringin yang megah dan rindang.
Demikian pula halnya ciptaan Allah lainnya, semuanya tunduk kepada hukum ini. Inilah hukum universal yang maha tinggi dan tak berubah-ubah. Allah Ta’ala berfirman, “Dan engkau tak akan menemukan perubahan pada perbuatan Allah” (QS 33:62; 35:43; 48:23)
Terhadap hukum universal ini, manusia sedikitpun tak berdaya apa-apa. Sejak terjadinya manusia dalam kandungan ibu, timbulnya jiwa, sangkut-pautnya tubuh dengan jiwa sebagai kesatuan jiwa raga (psychophysical unity), lahirnya di dunia, pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohaninya, sekali-kali tidak terlepas dari hukum universal yang menyatakan Kehendak dan Kebijaksanaan Allah.
Dan sebagaimana dalam hal-hal jasmaniahnya manusia dikuasai oleh hukum universal ini, maka demikian pulalah dalam hal-hal rohaniahnya.
Perlu ditambahkan di sini bahwa pengertian Qur’an Suci tentang EVOLUSI berbeda dengan pengertian kaum materialis.
Bagi kaum materialis, evolusi makhluk berpuncak pada terjadinya manusia dan berakhir dengan kematiannya. Sebabnya, dalam pandangan mereka, yang asli, yang tak bermula, yang kekal, dan yang maujud dengan sendirinya itu bukanlah Allah, melainkan alam kebendaan (alam materi).
Dengan perkataan lain, alam akhirat dan pertanggungan-jawab manusia atas segala perbuatannya di dunia ini tidak ada. TUHAN dan AKHIRAT, yang menjadi pokok asasi ajaran Islam, diingkari sama sekali oleh kaum materialis.
Sedangkan menurut Islam, pokok asasi ajaran mengenai Tuhan dan Akhirat ini adalah pedoman hidup untuk menguasai dan mengemudikan perbuatan manusia di lapangan apa saja dan di manapun juga.
Menurut Qur’an Suci, manusia memang adalah puncak EVOLUSI KEBENDAAN. Sebagaimana bica kita baca: “Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik” (QS 95:4).
Akan tetapi ini tidak berarti bahwa dengan terjadinya manusia, proses evolusi sudah berakhir. Evolusi berjalan terus. Dengan terjadinya manusia, evolusi dilanjutkan dengan perkembangan ruhaniyah (immaterial), yaitu tingkat yang lebih tinggi dari tingkat kebinatangan. Oleh sebab itu, manusia diberi ciptaan baru, yang tidak terdapat pada alam binatang, yang oleh Qur’an Suci disebut Ruh.
“Kemudian Kami tumbuhkannya sebuah ciptaan yang lain” (QS 23:14).
“Kemudian Kami sempurnakannya dan Kami tiupkan di dalamnya sebagian dari Ruh Kami …….” (15:29).
Ruh yang ditiupkan Allah inilah yang memberikan kemampuan pada manusia untuk melanjutkan evolusinya. Dengan kemampuan baru yang lebih tinggi dari pada nafsu hewani ini, manusia dapat menaklukkan alam dan langsung dapat berhubungan dengan Allah.
Dengan ruhnya, manusia mempunyai kemampuan-kemampuan yang seolah-olah tidak terbatas. Dan dengan ruh ini pulalah, manusia dapat membedakan antara baik dan buruk, dan mempunyai kesadaran untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang mereka lakukan.
Ruh ini tidak ditiupkan pada binatang. Binatang tidak dapat menaklukkan alam, tidak dapat membedakan antara baik dan buruk, tidak mempunyai kesadaran untuk mempertanggungjawabkan akan perbuatan mereka.
Binatang tidak mempunyai kesadaran “ini milikmu, ini milikku, ini hakmu, ini hakku.” Binatang leluasa mengambil apa saja yang ada di hadapannya, tanpa menghiraukan peraturan, undang-undang, adat dan sopan-santun.
Binatang leluasa mengganyang apa saja yang dikehendakinya. Jika ada binatang lain yang sama-sama kehendaknya, timbullah perkelahian sengit. Yang menang dapat memiliki, yang kalah tidak dapat memiliki. Atau mungkin binatang ketiga yang memiliki, karena binatang yang berkelahi itu mati dua-duanya.
Memang manusia mempunyai juga nafsu hewani. Nafsu hewani ini penting sekali bagi jasmani manusia. Akan tetapi nafsu hewani ini harus diperhambakan pada Ruh.Jika tidak, manusia tiada ubahnya seperti binatang, yang hidup hanya diperuntukkan bagi kepuasan nafsu daging saja. Akibatnya, manusia berada dalam kebiadaban dengan segala hukum rimbanya.
Sekalipun manusia mempunyai ruh, tetapi tidak berati bahwa manusia dengan sendirinya mencapai kesempurnaan. Sekali-kali tidak!
Dengan ruhnya, manusia mempunyai kemampuan untuk terus meningkat ke arah kesempurnaan. Akan tetapi kemampuan ini baru dapat diwujudkan apabila manusia mempunyai Pedoman Pelaksanaan dan mau berusaha untuk melaksanakan Pedoman Pelaksanaan itu. Pedoman Pelaksanan itu tak mungkin diciptakan oleh manusia sendiri.
Manusia tidak mungkin menciptakan sendiri Pedoman Pelaksanaan ini. Mengapa tidak? Karena manusia itu makhluk yang dijadikan, bukan yang menciptakan diri sendiri, menurut kehendak sendiri.
Hanya Tuhan Yang bersifat Ar-Rahman sajalah yang dapat memberikan Pedoman Hidup yang tepat. Karena, Tuhan sebagai pencipta, pasti tahu akan segala rahasia ciptaan-Nya. Sebaliknya, manusia tidak tahu akan seluk-beluk jiwanya sendiri.
Ar-Rahmaan artinya Tuhan Yang Maha Pemurah, yang mencukupi segala kebutuhan makhluk-Nya dengan cuma-cuma, baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani.
Kebutuhan jasmani, kita semua sudah tahu. Adapun kebutuhan rohani, diberikan Allah berupa Pedoman Hidup. Pedoman Hidup yang paling akhir dan paling sempurna untuk segala abad dan segala bangsa ialah Al-Qur’an.
Barangsiapa melaksanakan Pedoman Hidup ini, ia akan memperoleh ganjaran lipat dua sampai 700 kali, dan akan memperoleh keberuntungan (sukses di dunia dan akhirat). Inilah manifestasinya Sifat Ar-Rahim.
Ar-Rahiim artinya Yang Maha Pengasih, yang memberi ganjaran lipat dua sampai 700 kali kepada barangsiapa yang mengerjakan rahmaniyah Allah sebaik-baiknya, baik rahmaniyah jasmani maupun rahmaniyah rohani.
Orang yang menanam sebutir biji, pasti akan memperoleh ganjaran berlipat ganda. Demikian pula orang yang menanam kebaikan, juga akan memperoleh ganjaran berlipat ganda.
Kendati demikian, banyak orang yang tidak suka menerima Pedoman Hidup Tuhan, apalagi melaksanakannya. Orang semacam ini pasti akan mendapat hukuman Tuhan. Kadang-kadang hukuman mereka berbentuk kesusahan dan kesengsaraan di dunia, akan tetapi hukuman ini akan memperoleh bentuk yang nyata di Akhirat. Inilahmanifestasinya sifat Maaliki yaumiddiin.
Maaliki yaumiddiin artinya Yang Memiliki Hari pembalasan atau Yang Memiliki Undang-undang Pembalasan. Akan tetapi oleh karena Kasih Sayang Tuhan itu jauh lebih besar, maka Tuhan hanya akan membalas yang setimpal dengan kesalahannya. Bahkan jika Ia berkehendak, Ia berkenan pula memberi ampun.
Baik pembalasan di dunia maupun di akhirat, ini sesungguhnya hanya dimaksud sebagai tindakan penyembuhan untuk menghilangkan penyakit rohani, agar manusia dapat memperkembangkan kehidupan rohaninya.
Dari uraian tersebut, jelas sekali bagaimana Tuhan melaksanakan Kedaulatan-Nya. Al-Qur’an banyak sekali memberikan contoh tentang peristiwa yang dialami oleh umat jaman dahulu, yang tujuannya hanya untuk menjelaskan bahwa Tuhan tetap melaksanakan Kedaulatan-Nya.
Peristiwa kaum Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Salih, Nabi Ibrahim, Nabi Musa dll, semuanya menggambarkan bahwa Kedaulatan Tuhan tetap dilaksanakan. Akan tetapi sayangnya banyak orang berpendapat bahwa Tuhan sekarang tidak melaksanakan Kedaulatan-Nya. Pendapat ini keliru sekali.
Wabah penyakit, Perang Dunia, air bah, topan, gempa bumi, dan sebagianya, adalah pembalasan Allah atas kejahatan manusia. Akan tetapi manusia tetap manusia. Apabila malapetaka sudah lewat, manusia kembali berbuat jahat lagi.
Segala perbuatan manusia itu hanya perwujudan atau refleksi dari keadaan jiwanya. Segala motif yang mendorong perbuatan manusia itu ditentukan oleh jiwanya.
Dengan jiwa itu manusia pergi ke mana-mana, dengan jiwa itu pula manusia melakukan pekerjaan sehari-hari, dan dengan jiwa itu pula manusia berhubungan dengan sesama manusia.
Singkatnya, dengan jiwa itu manusia memenuhi segala kewajiban dan menghormati hak-hak sesama manusia. Oleh sebab itu manusia sangat memerlukan Pedoman Petunjuk bagaimana caranya memperbaiki jiwa.
Menurut petunjuk Al-Qur’an, perbaikan jiwa itu hanya dapat dicapai melalui sistem hidup Islam, yang lebih mengutamakan daya pengatur dari dalam.
Daya pengatur dari luar seperti misalnya: undang-undang, alat kekuasaan Negara, dan sebagainya, ini memang perlu. Akan tetapi segala kekangan yang dilakukan dari luar, baik oleh alat kekuasaan negara ataupun pendapat umum (public opinion), ini pada umumnya hanya mampu menekankan ketertiban umum saja, akan tetapi tidak mampu merubah sikap batin manusia. Padahal, tanpa adanya perubahan sikap batin, tak mungkin dapat dicapai perkembangan akhlak dan perbaikan jiwa.
Sekarang, bagaimanakah caranya sistem hidup Islam membentuk daya pengatur dari dalam? Tiada lain caranya ialah dengan menanamkan iman sedalam-dalamnya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut ajaran Islam, syarat mutlak untuk mencapai perkembangan jiwa menuju kesempurnaannya ialah apabila segala usaha dan perbuatan manusia dilandasi dengan TAUHID.
“Katakanlah, sesungguhnya shalatku dan pengorbananku, hidupku dan matiku, ini hanya untuk Allah, Tuhan serwa sekalian alam” (QS 6:163).
Banyak sekali motif yang mendorong manusia untuk melakukan suatu aktivitas atau pekerjaan. Misalnya motif cinta pada keluarga, cinta pada tanah air dan bangsa, cinta kepada ilmu pengetahuan, dsb.
Banyak sekali patriot yang mempertaruhkan nyawa demi karena cintanya kepada tanah air dan bangsa. Mereka rela dipenjara, dibuang, digantung, dsb. Semakin tinggi dan semakin mulia cita-cita seseorang, semakin mulia pula perbuatan yang dilakukan.
Akan tetapi di atas ini semua adalah apabila segala usaha dan perbuatan manusia itu dilandasi dengan motif cinta kepada Allah. Karena hanya dengan motif ini sajalah manusia akan bertindak jujur kepada siapa saja tanpa dicampuri dengan kepentingan pribadi.
Sekalipun kita bersemboyan “sepi ing pamrih rame ing gawe,” tetapi jika tidak dilandasi motif cinta kepada Allah, semboyan ini hanya kosong belaka. Karena, segala urusan duniawi itu sebenarnya berpangkal kepada hawa nafsu.
Maka tanpa adanya pemeliharaan fungsi-fungsi jiwa yang berlandaskan motif cinta kepada Allah, tak mungkin dapat dicapai perkembangan akhlak dan jiwa, sehingga manusia tetap berada dalam tingkatan biadab, sekalipun lahirnya berada di puncak kemajuan. Inilah tujuan hidup manusia yang paling tinggi.
Oleh sebab itu, di dalam tiap-tiap shalat, orang Islam diajarkan supaya berdoa seperti bunyi QS 6:163 di atas.
Nabi Suci Muhammad saw. telah berhasil menciptakan kehidupan perorangan, keluarga, masyarakat nasional dan internasional, yang dilandasi motif cinta kepada Allah. Hidup mereka tampak sederhana, tidak seruwet, sesulit dan sekacau seperti sekarang ini.
Akan tetapi landasan yang mulia ini sekarang tidak dipakai lagi. Akibatnya dunia tidak lagi mengenal kejujuran, bahkan dunia lebih dikuasai oleh kepentingan pribadi dan golongan.
Lebih-lebih di zaman sekarang ini, yang terkenal dengan zaman MATERIALISME, Tuhan praktis tidak diakui lagi adanya. Kalaupun masih diakui, tempatnya di bawah sekali. Sehingga dalam praktek, agama diperkuda.
Mereka tidak mempunyai lagi rasa hormat atau takut kepada Allah, bahkan banyak di antara mereka yang sangat dipengaruhi oleh faham-faham kekafiran dan menyangkal adanya Tuhan.
Mereka memandang rendah pokok asasi Islam seperti shalat, puasa dan ibadah lain-lainnya. Bahkan tidak sedikit yang berolok-olok dan mencela. Sebaliknya, mereka dengan terang-terangan melanggar larangan Allah.
Maka sudah sewajarnya bahwa dunia tak ada perdamaian. Pendek kata, selama Kedaulatan Tuhan tidak ditegakkan, selama itu pula tak ada “salaam” (damai).
Oleh sebab uraian di atas itulah mengapa Gerakan Ahmadiyah Indonesia bercita-cita menegakkan Kedaulatan Allah, agar umat Indonesia mencapai keadaan jiwa (state of mind) dan kehidupan batin (inner life) yang disebut “salaam”(damai).[]
Dinukil dan diselia dari “Tafsir Qanun Asasi Gerakan Ahmadiyah Indonesia,” hlm. 122-138.
Comment here