DiskursusWarta Keluarga

Beriman dalam Tantangan Radikalisme Agama

Untuk memperingati Hari Ulang Tahun yang ke-90, komunitas Kolese St. Ignatius (Ignatius House of Studies – IHS atau Kolsani) menyelenggarakan sarasehan bertajuk “Beriman dalam Tantangan Radikalisme Agama” (Perspektif Kaum Muda Lintas Agama – Kelompok – Golongan). Sarasehan diadakan di Kolese St. Ignatius, Jl. Abubakar Ali 1 Yogyakarta, Minggu, 24 Februari 2013.

Sarasehan kali ini merupakan salah satu rangkaian acara dalam bidang akademis untuk menyambut HUT ke-90 Kolsani. Selain sarasehan kali ini, akan ada dua kali sarasehan dengan tema yang  berbeda di bulan April dan Mei mendatang. Perayaan HUT ke-90 sendiri diperingati oleh komunitas Kolsani melalui tiga bidang acara yaitu akademis (sarasehan dan terbitan-terbitan), spiritualitas (ekaristi HUT, retret umat, dan ekaristi jubileum dan promosi panggilan), dan sosio-kultural (lomba untuk umum, pengobatan gratis dan seni rakyat).

Mereka yang hadir dalam sarasehan 24 Februari 2013 kemarin, sebagai narasumber, adalah Ibu Alissa Wahid ketua Jaringan GUSDURian, Bapak A.M. Safwan selaku perwakilan dari Kaum Shiah – RausyanFikr Institute, Bapak Basyarat Asgor Ali sebagai perwakilan dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia, Bapak Jhohannes Marbun selaku perwakilan dari HKBP Kotabaru, Bapak Budi Raharjo, M.A, sebagai perwakilan dari Komunitas Hindu Bapak Hastho Bramantyo selaku perwakilan dari Komunitas Buddha, serta perwakilan dari Kolese St. Ignatius yaitu Fr. Andri Astanto, SJ.

Fr. Andri Astanto dari Kolsani mengawali diskusi dengan membagikan pengalaman  belajar di pesantren-pesantren yang  menekankan pendidikan nilai. Di pesantren-pesantren itu ada program yang disebut  Living Values Education, yang mencoba menanamkan  12 nilai kepada anak didik, yakni: kesederhanaan, tanggung jawab, toleransi, kasih sayang, persatuan, rendah hati, damai, menghargai, kerjasama, kejujuran, kebebasan dan kebahagiaan. Model pendidikan ini dimaksudkan untuk memperkokoh filosofi hidup  anak-anak di pesantren.

Living Values Education dirasa punya dampak terhadap  anak didik sekaligus juga terhadap para pendidik, khususnya dalam upaya untuk menumbuhkan kesadaran dan penghargaan terhadap keragaman agama. Para santri, misalnya, mengadakan kunjungan berkala ke gereja-gereja. Satu hal yang cukup ditekankan oleh Fr. Andri adalah bahwa perjumpaan dan pengenalan dari dekat dapat mengurangi prasangka yang sebelumnya telah membentuk pola pemahaman kita terhadap yang lain.

Perwakilan dari HKBP Kotabaru, Jhohannes Marbun, menekankan rasionalitas dalam menyikapi keberagaman. Keberagaman itu terlihat bahkan di dalam satu agama. HKBP adalah gereja suku yang ada di dalam Agama Kristen. Dalam lingkup paling kecil pun kita sudah berbeda. Lalu haruskah perbedaan itu dipermasalahkan? Apakah itu akan mengarahkan kita pada cita-cita keindonesiaan?

Jawabannya adalah ‘utamakan kepentingan bersama serta upayakan terus rasionalitas dalam berpikir tentang keragaman!’ Memahami Indonesia berarti memahami manusianya yang beragam. Maka tantangan kemudian adalah melihat keragaman sebagai potensi,  memilih pemimpin yang berpotensi menyikapi perbedaan secara bijak, serta membangun dialog dan kerja nyata.

Alissa Wahid dari jaringan GUSDURian menyambung dengan mencoba menyoroti persoalan dari sudut pandang perkembangan zaman (globalisasi, kontestasi nilai/ideologi, munculnya kultur baru, batas nilai  yang semakin buram, serta egalitarianisme informasi). Kontestasi nilai dan ideologi  menjadi tantangan tersendiri, terutama ketika akses kepada informasi semakin besar dan setiap orang bisa menjadi sumber informasi yang setara (lewat internet, jejaring sosial, dsb).

Dalam kemajuan dunia komunikasi itu, berapa banyak dari kita yang lebih merasa sebagai  warga dunia ketimbang sebagai warga Negara Indonesia? Banyak orang Indonesia yang mungkin sudah semakin kehilangan rasa ke-Indonesia-an.

Terkait dengan masalah agama, Alissa melihat bahwa di Indonesia ada 2 jenis Islam, yang ia sebut sebagai “Islam Indonesia” dan “Islam Anyar”. Islam Indonesia adalah Islam yang sejak awal mau membangun Indonesia yang ber-bhineka-tunggal-ika. Sedangkan  Islam Anyar adalah kelompok Islam yang belakangan muncul, yang lebih memandang Islam sebagai identitas ketimbang ke-Indonesiaan-nya.

Selanjutnya Alissa melihat bahwa dalam  menyikapi kebhinekaan, ada tiga kategorisasi, yakni kelompok bhineka-toleran, kelompok antibhineka-intoleran dan publik mainstream yang gamang di tengah kontestasi nilai antara kedua kelompok itu. Kelompok bhineka-toleran adalah kelompok militan yang mempertahankan ide keindonesiaan. Sedangkan kelompok antibhineka-intoleran adalah mereka yang menolak ide keindonesiaan, yang terutama ingin memperjuangkan ideologi golongannya bagi seluruh masyarakat.

Alissa secara khusus menekankan pentingnya dialog, khususnya antar pemuka agama sebagai opinion leader, serta kampanye penanaman kesadaran tetang kebhinekaan lewat sarana-sarana komunikasi dan jejaring sosial via internet sebagai locus perjuangan bagi terwujudnya Indonesia yang sungguh-sungguh bhineka-tunggal-ika.

Perwakilan dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia, Basyarat Asgor Ali, mencoba menawarkan perspektif lain. Baginya, beragama secara radikal berarti mengimani ajaran agama sendiri tetapi juga mau  mencoba mengenal agama yang lain. Ini ia buktikan misalnya dengan mengikuti tata perayaan atau ibadah-ibadah agama lain, terutama dengan tujuan untuk mengenal lebih dekat dan menjauhi prasangka-prasangka. Ini radikal, menurutnya, karena melampaui batas agama sendiri. Ia juga mengikuti pelbagai bentuk studi lintas iman sebagai upaya perluasan wawasan.

Bapak Budi Rahardjo, perwakilan dari komunitas Hindu,  menyebut bahwa dalam agama Hindu, ada 3 karakter manusia. Pertama, Kanistha-Adhikari, yakni orang yang berpikir bahwa cara sembahyangnya paling benar, sebutan akan Tuhan yang paling benar…fanatik, sempit, sedemikian rupa sehingga ia bukan saja menyalahkan agama lain, kelompoknya sendiri pun disalahkan.

Kedua, Madya-Adhikari: orang yang fanatik pada agama sendiri, tetapi meyakini bahwa Yang Maha Kuasa itu juga bisa ditemui, disebut, dikenali oleh yang lain. Maka ia menyadari  bahwa Tuhan Yang Maha Esa bisa diisyafi dengan cara berbeda;

Ketiga, Utama-Adhikari: orang yang menghargai/mengasihi semua, bukan hanya sebatas untuk menghargai yang berbeda, tetapi juga untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan semua orang, semua makluk (lingkungan), serta dengan Tuhan. Menurutnya, dalam kerangka pemahaman akan keberadaan “yang-lain”,  utama-adhikari adalah ideal yang perlu kita kejar.

Perwakilan dari RausyanFikr Institute,  A.M. Safwan memberi penekanan bahwa kelompok agama memiliki tantangan untuk menjawab problem politik, dsb. Kelompok agama bisa menjadi kelompok penjaga moral, kontrol terhadap kekuasaan. Kita sebagai kelompok-kelompok agama yang sedang mengupayakan dialog perlu menyadari bahwa dialog yang sedalam apa pun tidak bisa memasuki hal terdalam dari kepercayaan.

Pada akhirnya, keadilan adalah  kriteria objektivikasi kebenaran agama. Maka dialog perlu mengarah pada pewujudan keadilan. Dengan kata lain, etika adalah jembatan universal yang hendaknya dipakai oleh semua golongan, demi tujuan bersama.

Dalam sarasehan yang dihadiri oleh 178 peserta dari aneka universitas dan komunitas ini disimpulkan bahwa keberagaman di Indonesia merupakan sebuah energi yang memperkaya dan memberdayakan hidup bersama. Perjumpaan atau dialog antar umat beragama menjadi perwujudan umat beriman untuk menumbuhkan rasa saling menghargai keanekaragaman satu sama lain.

Di penghujung diskusi, pembicaraan mengarah pada sebuah upaya tindak lanjut bersama untuk:

  1. Memupuk sikap toleransi – yang tidak sama dengan sikap mau menerima karena tak tahu (ignorance) mau buat apa dengan yang lain – tetapi toleransi yang lebih bersifat aktif mau menjumpai,
  2. Berdialog dan bekerjasama dengan yang lain dalam pelbagai bidang, termasuk aksi sosial bersama atas nama kemanusiaan.

Memang ada kesan bahwa belum ada agenda bersama yang mengerucut secara konkret. Tetapi sebagai awal bagi upaya membangun kesadaran bersama di antara kaum muda lintas agama-golongan, hal ini sudah merupakan sesuatu yang pantas disyukuri.

Terasa bahwa para peserta pun meninggalkan Kolsani dengan membawa antusiasme untuk mengupayakan cara-cara yang bisa dilakukan menurut kapasitasnya masing-masing demi terbangunnya hidup bersama sebagai satu kesatuan bangsa Indonesia. Semoga!

Penulis : Julius Mario Plea Lagaor, SJ dan Renatyas Fajar Christanto
Sumber: http://ihs.provindo.org

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »