Artikel

Bai’at dan Visi Kemenangan Islam

Jika di Barat Islam adalah agama yang disalahpahami (the misunderstanding religion), maka di Timur, termasuk di Indonesia, Ahmadiyah adalah gerakan yang disalahpahami (the misunderstanding movement). Meski sudah berusia hampir tiga perempat abad, tetapi masih banyak orang-orang yang salah paham tentang Ahmadiyah.

Ahmadiyah adalah gerakan pembaharuan di dalam Islam, yang didirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad berdasarkan ilham yang diterima beliau pada tanggal 1 Desember 1888. Gerakan ini didirikan untuk berperan serta dalam rencana Ilahi memenangkan Islam, dengan metoda sebagaimana yang sudah digariskan oleh Sang Mujaddid dalam bukunya, Fathi Islam yaitu: Pertama, menyusun karangan-karangan dan penerbitannya, berupa kitab-kitab Islam. Kedua, menyiarkan maklumat-maklumat (brosur) yang dilanjutkan dengan pembahasan diskusi.

Ketiga, Komunikasi langsung atau kunjung-mengunjungi berupa silaturrahmi, ceramah, pelajaran-pelajaran/kursus-kursus agama dan tanya jawab/diskusi. Keempat, komunikasi dengan surat menyurat (korespondensi). Dan kelima, bai’at atau janji setia, yang intinya adalah “menjunjung tinggi agama melebihi dunia”.

Inti dari kelima jalan menuju kemenangan Islam (fathi islam) di atas adalah komunikasi, yakni komunikasi horisontal kepada sesama manusia yang dilakukan dengan tulisan dan lisan, serta komunikasi vertikal, berupa bai’at.

Bai’at adalah janji setia setiap pribadi kepada Allah, yang intinya adalah bersumpah untuk “menjunjung tinggi agama melebihi dunia”, dengan cara “menjual jiwanya” untuk memperoleh perkenan Allah, sebagaimana dilukiskan dalam QS 2:207, “waminan-nâsi may-yasytarî nafsahub-tighâa mardlâtillâh”, dan di antara manusia ada sebagian yang menjual jiwanya untuk memperoleh perkenan Allah.

Bai’at adalah Sunnah Rasul. Contoh konkret adalah bai’at para pengikut Nabi Suci yang berasal dari Madinah di Aqabah, yang dikenal dengan Bai’atul-Aqabah, yang dilakukan dua kali di tahun 621 dan 622 M. Bai’at ini berujung pada peristiwa hijrah, yang menjadi titik awal kemenangan Islam. Demikian halnya juga dengan Bai’atusy-Syajarah atau Bai’atur-Ridlwan, yang berujung Perdamaian Hudaibiyah (628 M), yang menjadi titik awal kemenangan yang diraih oleh Nabi Suci dan para pengikutnya.

Kemenangan yang diraih oleh Nabi Suci itu disebut sebagai “fatham-mubiina”, kemenangan yang nyata (QS 48:1), yang dengan itu kaum muslmin menerima ganjaran yang berlimpah-ruah (ajran adzîma), baik secara duniawi maupun secara ukhrawi.

Sesungguhnya orang yang berbai’at kepada engkau, mereka hanyalah berbai’at kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Maka barangsiapa merusak bai’atnya, mereka hanyalah merusak dirinya sendiri. Dan barang siapa menetapi janjinya kepada Allah, Ia akan menganugerahkan kepadanya ganjaran yang besar.” (48: 10).

Ganjaran duniawi yang mereka peroleh adalah takluknya dua super power saat itu, Romawi yang Kristen dan Persia yang agnostik. Sedangkan ganjaran ukhrowi mereka peroleh dengan dijadikannya mereka sebagai ummatan wasath, umat yang paling unggul (QS 2:143) dan sebagai khaira ummah, sebaik-baik umat, yang ditampilkan buat teladan manusia, dalam hal amar ma’ruf nahyi munkar dan beriman kepada Allah.

Namun demikian, dengan kemenangan gilang gemilang itu, mereka tetap berendah hati, dan merasa faqir di hadapan Allah (QS 35:15; 47:38). Maka berlakulah apa yang oleh Isa Almasih nubuatkan, “Berbahagialah orang yang miskin (faqir) di hadapan Allah, karena merekalah empunya Kerajaan Sorga” (Mat. 5: 3).

Untuk menjadi fakir tidaklah harus hidup miskin, papa tanpa harta dan tanpa kuasa duniawi. Barang perlengkapan duniawi boleh saja dimiliki, bahkan harus dicari, tetapi lalu didayagunakan menurut petunjuk Ilahi dan teladan dari Nabi Suci.  Jadi al-faqir itu dicintai Allah bukan karena kemiskinan duniawinya, tetapi karena besar ketergantungannya kepada Allah, sehingga ia berdoa dan berdzikir senantiasa ke hadirat-Nya. [S. Ali Yasir]

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »