ArtikelHari Besar Islam

Apa Yang Sesungguhnya Terjadi Pada Pasukan Gajah di Tahun Kelahiran Nabi?

Nabi Suci Muhammad saw. lahir pada 12 Rabiul Awwal, Tahun 570 Masehi. Hari kelahirannya, atau yang lebih populer dengan sebutan Maulid Nabi, diperingati oleh sebagian besar kaum muslimin di berbagai belahan dunia hingga kini.

Dalam berbagai kitab Sirah Nabawiyah, tahun dimana Nabi Suci dilahirkan ini populer dengan sebutan “Tahun Gajah.” Penamaan ini merujuk pada peristiwa penyerangan Makkah oleh Raja Abesinia (Ethiopia) bernama Abrahah.

Peristiwa ini diabadikan di dalam Al-Quran yang diwahyukan pada zaman Mekah permulaan, dengan nama surat “Gajah” (Al-Fil). Bunyi firman Allah itu terjemah selengkapnya demikian.

“(1) Apakah engkau tak melihat bagaimana Tuhan dikau bertindah terhadap para pemilik gajah? (2) Bukankah Ia telah membuat perang mereka berakhir dengan kekacauan? (3) Dan Ia mengutus sekawanan burung untuk melawan mereka? (4) (Burung itu) melempari mereka dengan batu yang telah diputuskan. (5) Maka Ia menjadikan mereka seperti jerami yang habis dimakan.”[1]

Dalam pengantar surat ini, Maulana Muhammad Ali dalam The Holy Quran: Translation & Commentary (terbit pertama kali tahun 1917) menyatakan bahwa surat ini diberi judul “Al-Fîl” (artinya Gajah), merujuk pada adanya satu atau beberapa ekor gajah di dalam pasukan yang menyerbu Makkah, dengan tujuan untuk menghancurkan Ka’bah, yang terjadi pada tahun kelahiran Nabi Suci.

Menafsirkan ayat pertama dari surat Al-Fil, Maulana Muhammad Ali menulis, “Ayat pertama dari Surat Al-Fil ini mengisyaratkan peristiwa penyerbuan Abrahah ke Makkah dalam rangka menghancurkan Ka’bah. Abrahah adalah Raja Muda Abesinia beragama Kristen, dan berkedudukan di Yaman.”

Tujuan Abrahah menghancurkan Ka’bah, lanjut Ali, adalah agar gelora semangat beragama dan perniagaan orang Arab beralih ke Sana’a (ibukota Yaman). Dan untuk maksud itu, Abrahah telah membangun sebuah Kathedral yang megah di Sana’a.

Dalam kitab Sirah Rasulullah karangan Muhammad bin Ishaq bin Yasar, yang diterjemahkan oleh Alfred Guillaume dengan judul The Life of Muhammad: A translation of Ibn Ishaq’s Sirat Rasul Allah, diterangkan bahwa Abrahah adalah seorang gubernur penganut Kristen mazhab Miafisit, yang menjadi perwakilan penguasa Kerajaan Aksum di Yaman.

Ia membangun katedral Al-Qalis di Sana’a, dan berharap katedral itu menjadi satu-satunya tujuan para peziarah yang datang ke semenanjung Arab. Dan satu-satunya bangunan suci yang menjadi tandingan adalah Ka’bah di Mekah, yang terletak sekitar 1000 km arah barat laut Kota Sana’a.

Kala itu, Makkah adalah kota niaga sekaligus tempat ziarah spiritual bangsa Arab selama berabad-abad, karena adanya bangunan suci Ka’bah itu. Karena itulah, Abrahah berkeinginan menghancurkan Ka’bah, supaya tidak ada lagi tandingan bagi katedral yang ia bangun.

Maka ia pun lantas menyerbu Makkah dengan ribuan pasukan, diperkuat dengan beberapa ekor gajah yang dipersiapkan untuk merobohkan Ka’bah.

Lantas, apa yang menimpa Abrahah dan pasukannya sehingga gagal menyerbu Makkah?

Muhammad Ali, mengawali tafsirnya untuk empat ayat terakhir dari surat Al-Fil, menyatakan bahwa tidak ada satu hadits sahih pun yang meriwayatkan bagaimana balatentara Abrahah itu dibinasakan.

Ia kemudian menghadirkan pernyataan Ikramah Abu Abdillah, seorang mufassir populer, yang ia kutip dalam kitab Ruhul Ma’ani, Kitab tafsir Al-Quran karangan Abu Fadl Syahabuddin Sayyid Mahmud Alusi. Ikramah menyatakan bahwa kalimat “lemparan batu” di ayat ketiga dalam surat ini adalah berjangkitnya penyakit cacar.

Muhammad Ali juga merujuk tafsir Ibnu Katsir yang mengutip hadits riwayat Ya’qub, yang menerangkan bahwa kata tarmîhim bihijâratin dalam ayat keempat surat ini, dapat berarti “burung-burung melempari mereka dengan batu, atau melempar mereka hingga menghantam batu.” Tetapi kalimat ini bisa juga berarti “burung-burung pemakan bangkai yang merobek-robek daging mereka (pasukan Abrahah).”

Muhammad Ali lantas menyimpulkan bahwa apa yang menimpa pasukan Abrahah sehingga mereka kacau balau dan binasa, adalah berjangkitnya penyakit cacar yang ganas (sampar) di antara mereka, termasuk Abrahah sendiri, selagi mereka belum sampai di kota Makkah.

Mengutip William Muir dalam bukunya The Life of Mohammed (terbit tahun 1861), Muhammad Ali menyatakan bahwa pasukan Abrahah bubar dalam keadaan kacau balau dan putus asa. Sebagian besar tak dapat menemukan jalan pulang dan mati di jurang. Sebagian lagi hanyut binasa dilanda air bah.

Tafsir Maulana Muhammad Ali ini diamini oleh Leopold Weiss, jurnalis kelahiran Ukraina yang mengubah namanya menjadi Muhammad Asad setelah masuk Islam.

Dalam kitab tafsirnya, The Message of the Qur’an (terbit tahun 1980), Asad menafsirkan batu sijjil dalam ayat ketiga surat Al-Fil ini bukan benar-benar batu yang panas.

Asad menyatakan, ayat ketiga ini adalah alegori atau kiasan semata dari epidemi yang menimpa Abrahah dan pasukannya. Epidemi tersebut, berdasarkan penelusurannya dari sumber-sumber riwayat tradisional Islam, adalah wabah cacar.

Pendapat Maulana Muhammad Ali dan Muhammad Asad ini semakin diperkuat oleh penelitian tiga ilmuwan ahli sejarah epidemiologi, yakni John S. Marr, Elias J. Hubbard, dan John T. Cathey.

Dalam makalah bertajuk “The Year of the Elephant”, yang terbit dalam jurnal wikiJournal of Medicine (terbit tahun 2015), tiga peneliti ini menganalisis ayat 3, 4, dan 5 dalam Surat al-Fil.

Mereka mengutip gambaran Ibn Ishaq dalam Kitab Sirah Rasulullah yang meriwayatkan bagaimana proses sakaratul maut Abrahah dan pasukannya setelah gagal menyerang Ka’bah.

“Saat Abrahah dan pasukannya mundur, mereka tumbang di pinggir jalan, sekarat dengan menyedihkan dengan lubang-lubang air di kulit mereka. Tubuh Abrahah tersiksa. Dan ketika pasukannya membawanya pulang, jari-jari Abrahah lepas satu per satu. Di tempat jari-jari itu berada, terdapat luka yang mengerikan dengan nanah dan darah.”

Berdasarkan gambaran itu, dan diperkuat bukti-bukti medis modern mengenai ciri-ciri penyakit cacar, para peneliti itu menyimpulkan bahwa metafora pada ayat kelima dari Surat Al-Fil itu merujuk pada penyakit cacar.

Jenis cacar yang menyerang Abrahah, menurut mereka, adalah variola major, jenis cacar yang sangat berbahaya dan mematikan. Kesimpulan ini mereka dapatkan dari hasil analisa atas asal zoonosis, distribusi geografis, dan presentasi klinis yang mereka dapatkan dari catatan-catatan sejarah dari berbagai sumber.

Di tahun-tahun setelah serangan Abrahah, masih menurut ketiga peneliti ini, wabah cacar semacam ini juga menyerang wilayah pesisir Mediterania dan Afrika utara.

Lantas, apa hubungan peristiwa ini dengan kelahiran Nabi Suci?

Maulana Muhammad Ali menerangkan bahwa peristiwa diselamatkannya Ka’bah dari serangan Abrahah di tahun dimana Nabi Suci dilahirkan ini, mengandung makna yang dalam.

Surat yang diwahyukan di masa-masa awal kenabian ini, menurut Muhammad Ali, mengandung peringatan bagi kaum kafir Quraisy khususnya, yang kala itu menolak habis-habisan bahkan memusuhi dan memerangi Nabi Suci, bahwa Tuhan tidak akan berdiam diri dan membiarkan begitu saja apabila Utusan-Nya akan dibinasakan. Sebagaimana Ia juga tak berdiam diri ketika Rumah-Nya akan dibinasakan oleh Abrahah dan pasukannya, di tahun di mana Nabi Muhammad saw. dilahirkan.

Wallaahu a’lam bish-shawab.

Oleh : Asgor Ali

[1] Maulana Muhammad Ali, The Holy Qur’an, English Translation & Commentary. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh H.M Bachroen (cetakan pertama tahun 1979)

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here