Artikel

Al-Quran Mendorong Manusia Berfikir Pluralistik

glass cup with saucer

Al-Qur’an adalah Kitab Suci yang risalahnya harus disampaikan kepada seluruh umat manusia di dunia, sebagaimana dinyatakan Allam dalam firmanNya:

“Katakanlah: Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah Utusan Allah kepada kamu semuanya (ilaikum jamî’â), yang mempunyai kerajaan langit dan bumi. Tak ada Tuhan selain Dia; Ia memberi hidup dan menyebabkan mati. Maka berimanlah kepada Allah dan Utusan-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya, dan ikutilah dia agar kamu terpimpin pada jalan yang benar.” (QS 7:158)

Di tempat lain Allah menyatakan:

“Dan tiada Kami mengutus engkau, kecuali sebagai pengemban kabar baik dan sebagai juru pengingat kepada sekalian manusia (kâffatallinnâs), tetapi kebanyakan manusia tidak tahu.” (QS 34:28)

Kalimat ilaikum jamî’â (kepada kamu semuanya) dan kâffatallinnâs (kepada sekalian manusia) di dua ayat di atas seolah menegaskan bahwa risalah Qur’an tidak untuk disampaikan kepada bangsa Arab saja, tetapi juga kepada bangsa-bangsa lain di dnia.

Untuk keperluan ini, umat Islam, terutama para da’i dan muballigh, harus menjalin komunikasi dengan semua bangsa di dunia. Sarana komunikasinya adalah bahasa. Dakwah Islam akan lebih mudah dilakukan jika bangsa-bangsa ‘Ajam (non Arab) mengerti bahasa Arab. Atau sebaliknya, para da’i dan muballigh yang mengerti dan menguasai bahasa-bahasa ‘Ajam.

Selama seribu tahun pertama di dalam era Islam, bahasa Arab menjadi bahasa dunia dan bahasa ilmu pengetahuan. Karena itu, tafsir-tafsir Al-Qur’an umumnya berbahasa Arab. Memasuki milenium kedua, ketika bahasa Arab tidak lagi menjadi bahasa dunia, muncul terjemah dan tafsir Quran menggunakan bahasa-bahasa ‘Ajam, baik bahasa-bahasa Barat, seperti Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, dan sebagainya, maupun bahasa-bahasa Timur seperti Persi, Urdu, Tiong Hoa, Jepang, Indonesia, dan sebagainya.

Di samping itu, umat Islam dituntut pula untuk memahami dan menghayati agama-agama yang dianut oleh berbagai bangsa di dunia. Sebab, pada tiap-tiap umat telah dibangkitkan Utusan (QS 16:36) yang dikaruniai wahyu, tanda bukti yang terang dan kitab suci.

Melalui agama atau kitab suci merekalah Islam memperkenalkan diri dengan santun, sebagaimana diisyaratkan oleh ayat:

Dan Kami tak mengutus (para utusan) sebelum engkau kecuali orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepada mereka – maka bertanyalah kepada para pengikut peringatan jika kamu tak tahu – dengan tanda bukti yang terang dan Kitab-kitab Suci. Dan kami turunkan kepada engkau peringatan agar engkau dapat menjelaskan kepada manusia apa yang telah dituntunkan kepada mereka, dan agar mereka suka berfikir.” (QS 16:43-44)

Agar dapat melaksanakan tugas mulia ”menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan atau diwahyukan kepada mereka” (litubayyina linnâsi mâ nuzilla ilaihim), seorang muslim, baik sebagai da’i atau muballigh, harus mengakui Kitab Suci agama lain dan berkomunikasi dan berdialog secara teologis dengan umat agama lain, dengan cara membaca Kitab Suci mereka.

Umat Islam harus mempelajari agama-agama berbagai bangsa di dunia dengan bertanya kepada empunya penganut agama itu (fas’alû ahladz-dzikr), atau langsung menelaah dan membaca kitab suci mereka, sebagaimana dinyatakan dalam ayat:

“Tetapi jika engkau ragu-ragu tentang apa yang Kami turunkan kepada engkau, tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum engkau, sesungguhnya kebenaran telah datang kepada engkau dari Tuhan dikau, maka janganlah engkau menjadi golongan orang yang ragu-ragu.” (QS 10:94)

Perintah fas’alilladzîna yaqra’ûnalkitâba minqablika (maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum engkau), mendorong para muballigh bertanya kepada para ulama dan pendeta agama-agama berbagai bangsa di dunia. Juga mendorong sebagian umat Islam, terutama para muballighnya, hendaknya ada yang membaca dan menelaah kitab-kitab suci terdahulu, yang dalam al-Quran antara lain disebut sebagai zuburil awwalîn (kitab-kitab suci zaman dahulu) (QS 26:196).

Misalnya dari kalangan Bani Israel, kita perlu membaca Taurat yang diturunkan kepada Musa a.s., Zabur yang diturunkan kepada Daud a.s., Injil yang diwahyukan kepada Isa Almasih (Yesus Kristus) dan kitab-kitab atau suhuf yang diturunkan kepada para Nabi Israel lain, yang di kemudian hari terhimpun dalam Bibel, tepatnya Perjanjian Lama.

Begitu pula dengan Kitab Suci yang diturunkan kepada bangsa lain, seperti Zend-Avesta yang dibawa oleh Zarathustra, Tri Pitaka yang dibawa oleh Sidharta Gautama, Bhagavadgita yang dibawa oleh Sri Kresna, Lun Yu yang dibawa oleh Kong Hu Cu, dan sebagainya.

Melalui kitab-kitab suci mereka itu, kebenaran Al-Qur’an dapat diketahui. Karena kitab-kitab suci itu telah menubuatkan kedatangan Al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., seperti diisyaratkan dalam ayat,

Sesungguhnya ini adalah wahyu dari Tuhan seru sekalian alam. Ruh yang dipercaya telah menurunkan itu, dalam hatimu, agar engkau menjadi golongan orang yang memberi ingat, dalam bahasa Arab yang terang. Sesungguhnya yang sama dengan itu terdapat dalam kitab-kitab suci zaman dahulu.” (QS 26:192-196).

Jadi, Al-Qur’an sangat mendorong berfikir pluralistik, karena pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga terasa Islam sebagai rahmatan lil’âlamîn, karena umat Islam bisa bergaul dengan siapapun, baik secara humanis maupun teologis. []

Oleh: Simon Ali Yasir

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »