AkademikaDiskursusKliping

Akidah: Antara Konfrontasi dan Interioritas

DALAM jangka waktu lama, perbedaan pola keberagamaan di kalangan umat Islam merupakan persepsi terpendam. Penampakan pola itu baru muncul ketika MUI mengeluarkan 11 fatwanya dan kemudian menimbulkan kontroversi prokontra. Dalam fatwa itu, berbagai masalah dianggap sebagai masalah akidah (fundamen iman).

Masalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dianggap pula oleh MUI sebagai masalah akidah karena menyangkut “hak Tuhan”. Sedangkan bagi penentang fatwa, hal itu dianggap sebagai masalah sosial-politik, yaitu masalah hak-hak asasi manusia, khususnya dalam beragama. Perbedaan sikap dan pandangan itu, dipandang dari sudut fenomenologi agama, bersumber dari pola keberagamaan yang-meminjam pengertian sosiolog Peter L. Berger-disebut “konfrontasi” di satu pihak dan “interioritas” di lain pihak.

Dari isu akidah itu akhir-akhir ini mencuat golongan “fundamentalis” versus golongan “liberal” yang mengalami konfrontasi. Golongan pendukung fatwa MUI, yang antara lain diwakili oleh Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, dan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), menganggap 11 fatwa MUI itu “sudah mutlak”, “tidak perlu didialogkan”.

Bagi golongan fundamentalis, akidah adalah inti dan dasar agama, merupakan kebenaran mutlak, karena menyangkut kedaulatan Tuhan. Dalam wacana Islam, memang berkembang persepsi bahwa Islam didukung oleh empat tiang sebagai soko guru, yaitu akidah, syariah (hukum Tuhan), ibadah (ritus hubungan manusia dan Tuhan), akhlak dan muamalah. Akidah dan ibadah menyangkut hubungan vertikal, sedangkan akhlak dan muamalah pada dasarnya merupakan bentuk hubungan manusia dengan manusia.

Syariat mencakup kedua dimensi relasional di atas. Namun, golongan fundamentalis mengutamakan aspek akidah, syariah, dan ibadah. Sedangkan golongan liberal ingin memberi makna yang lebih konkret dalam keberagamaan pada aspek akhlak dan muamalat. Golongan fundamentalis juga melihat pada aspek akhlak dan muamalat. Namun, dua aspek tersebut dianggap merupakan bagian dari akidah dan karena itu sifatnya juga mutlak.

Bagi golongan fundamentalis, akidah Ahmadiyah dirasakan sebagai meresahkan dan mengganggu akidah mayoritas. Padahal, menurut golongan liberal, akidah itu harus dipahami sebagai interioritas yang mengarah ke dalam. Sedangkan bagi golongan fundamentalis, akidah bersifat konfrontatif, yang membedakan secara mutlak mana yang benar dan mana yang salah, mana yang lurus, sesuai dengan petunjuk Tuhan dalam teks-Nya, mana yang sesat.

Dalam teologi Islam, diskursus mengenai akidah-yang dipengaruhi oleh paham Ibn Taymiyah, Muhammad Abdul Wahab, dan Abul ‘Ala al-Maududi-merupakan upaya merumuskan kebenaran mutlak, atau menurut istilah Dr Mohammad Rosidi kebenaran akhir (ultimate truth). Golongan fundamentalis merasa telah mampu merumuskan kebenaran mutlak itu, misalnya dalam 11 fatwa MUI yang dianggap bersifat “mutlak” itu.

Golongan fundamentalis, sebagaimana dicerminkan dalam fatwa MUI, tidak mengakui prinsip “kebenaran relatif” (relativisme) dalam agama, karena mereka hanya mengenal kebenaran mutlak. Padahal, kebenaran mutlak itu hanya milik Tuhan. Setiap hasil pemikiran manusia, sekalipun mengenai akidah (dalam teologi), adalah tetap kebenaran relatif.

Penolakan prinsip kebenaran relatif dalam keberagamaan ini telah mendorong suatu kelompok untuk mencapai hegemoni. Kelompok ini kemudian melembaga ke dalam sistem “kependetaan” (rahbaniyah) atau clergy. Dalam sejarah intelektual kaum muslim, menurut filsuf muslim kontemporer asal Maroko, Mohammed Abied al-Jabiri, telah terjadi perselingkuhan antara kaum ulama atau filsuf dan kekuasaan, yaitu ketika kaum Mu’tazilah menjadikan pahamnya ideologi negara.

Dalam teologi Islam, diskursus yang muncul pada era modern di sekitar akidah telah berkembang menjadi ideologi. Bahkan ketika Syarikat Islam lahir pada 1912, organisasi itu juga belum mengenal konsep ideologi. Sebelum abad ke-19, dunia Islam sebenarnya belum mengenal konsep ideologi.

Dengan munculnya ideologi-ideologi sekuler semacam liberalisme, sosialisme, atau nasionalisme, para pemimpin umat Islam berusaha pula menemukan “ideologi Islam”. Tapi mereka tidak menempuh pendekatan rasional-empiris (pendekatan burhani), melainkan menempuh metode deduktiftekstual (pendekatan bayani) dengan menggali ajaran teks (Al-Quran, Sunah, dan tradisi dalam pandangan para ulama), dengan mengabaikan konteks.

Dari pendekatan itu, mereka menjadikan akidah sebagai ideologi. Dari sinilah lahir konsep “kedaulatan Tuhan” yang dikemukakan oleh Al-Maududi yang mempengaruhi Hasan al-Bana dan Sayyid Qutb di Mesir, dan melahirkan gerakan Ikhwan al-Muslimin. Di Indonesia, paham ini melahirkan rumusan sila ketuhanan yang diaktualisasi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dalam naskah Piagam Jakarta.

Melalui proses demokrasi liberal, paham ini kemudian malah berkembang menjadi konsep “negara Islam” dan “Islam sebagai dasar negara”. Dalam paham ini, konsep negara Islam dan Islam sebagai dasar negara dianggap sebagai akidah. Dalam hal ini konsep negara Islam mendapat legitimasi keagamaan, yaitu dengan menganggap ideologi sebagai atau identik dengan akidah.

Menurut Nurcholish Madjid, konsep negara Islam boleh-boleh saja dikemukakan dalam wacana, tetapi konsep ini tidak mengandung sanksi keagamaan, karena itu tidak boleh dianggap sebagai akidah yang sifatnya suci. Negara, menurut Syaikh Ali Abdul Raziq, seorang ulama Al-Azhar, Mesir, adalah masalah sosial dan politik, karena tidak ada rujukan tekstual, baik dalam Al-Quran maupun Sunah Nabi.

Dengan doktrin Ketuhanan Yang Maha Esa-tanpa embel-embel-sebagai diusulkan oleh tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan interioritas yang arahnya ke dalam, yakni hanya menjadi landasan moral bagi sikap dan perilaku warga negara. Karena itu, pasal dasar negara “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu lalu diikuti dengan pasal tentang kebebasan beragama (tidak ada ketentuan menjalankan syariat Islam sebagai hukum negara), yang konsekuensinya, “setiap warga negara berhak menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya itu”.

Asumsinya, paham keagamaan itu tidak satu, melainkan beragam, dan karena itu setiap warga negara tidak hanya berhak menjalankan ibadah menurut agama (formal)nya, tapi juga berdasarkan apa yang sesungguhnya dipercaya atau diyakini. Jadi, kebebasan ini bukan hanya kebebasan beragama (yang sering mengarah kepada pola konfrontasi), melainkan juga menurut kepercayaan di dalam hati sanubari, yang merupakan interioritas.

Pengharaman terhadap liberalisme, sekularisme, dan pluralisme timbul karena MUI menganggap paham-paham itu sebagai masalah akidah umat Islam, dan karena itu merupakan semacam masalah internal keluarga. Padahal, paham-paham itu adalah masalah sosial-politik.

Tentu saja orang boleh tidak setuju, asal dilakukan melalui wacana, disertai argumen-argumen yang rasional-obyektif, dan tidak bisa dilakukan atas dasar iman yang subyektif. Pengharaman paham melalui legitimasi politik dari pemerintah berarti melanggar hak-hak asasi manusia, khususnya kebebasan berpikir. Demikian pula pembubaran terhadap Ahmadiyah.

Wacana akidah sebagai ideologi politik memang akan menimbulkan intoleransi dan tidak memungkinkan kompromi dan sikap moderasi. Secara sosial, jika suatu golongan merasa kuat, akidah akan menimbulkan sikap eksklusif. Dan jika golongan itu merasa lemah atau rendah diri, yang timbul adalah sikap isolatif. Tapi keduanya mengandung potensi dan sumber bagi sikap dan tindak kekerasan.

Sungguhpun demikian, dalam masyarakat di mana agama merupakan hal yang populer seperti di Indonesia, wacana akidah memang merupakan hal yang tak terhindari. Karena itu, untuk menghindari timbulnya absolutisme dan mengarah kepada kekerasan, wacana mengenai akidah perlu dilakukan berdasarkan asumsi-asumsi tertentu.

Pertama, akidah, yang baru timbul kemudian dalam wacana keagamaan Islam, adalah sesuatu yang bukan seperti barang mati, melainkan sesuatu yang hidup, berkembang, dan dinamis. Dengan begitu, konsep dan persepsi mengenai akidah juga bisa berubah. Kedua, akidah, sebagai hasil pemikiran manusia, walaupun merespons wahyu Ilahi, hanya bisa mencapai kebenaran relatif.

Ketiga, kebenaran dalam wacana akidah itu bisa dicapai melalui berbagai pendekatan dan metode. Keempat, pemikiran manusia, termasuk mengenai akidah, selalu dipengaruhi oleh lingkungan, khususnya struktur sosial dan dunia materi yang melingkupi seseorang atau suatu golongan. Kelima, konsep-konsep agama termasuk segi akidah sangat dipengaruhi oleh sejarah, karena itu diperlukan relativisme sebagai penerimaan terhadap kontigensi sejarah.

Keenam, karena faktor sejarah, kebenaran itu harus dipersepsikan sebagai dapat dijumpai pada berbagai agama. Ketujuh, justru karena kecenderungan pemutlakan kebenaran agama yang berintikan akidah itu, akidah harus bisa didialogkan. Akidah bisa didialogkan jika dipahami sebagai interioritas dan bukan konfrontasi.

Dalam masyarakat yang didominasi oleh pemeluk Islam seperti Indonesia, diperlukan sekularisasi. Pemisahan antara agama dan negara di sini artinya, janganlah menjadikan akidah sebagai ideologi politik dan karena itu menjadikan ideologi politik sebagai akidah. Hal yang sedemikian itu terjadi karena perselingkuhan agama dan kekuasaan yang menciptakan absolutisme dan otoriterisme yang memberangus demokrasi. Negara Republik Indonesia pada hakikatnya adalah negara kebangsaan sekuler yang berlandaskan nilai-nilai moral Pancasila.[]

Penulis: M. Dawam Rahardjo | Presiden The International Institute of Islamic Thought Indonesia

Sumber : majalah.tempointeraktif.com | 05 SEPTEMBER 2005

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »