ArtikelKolom

Ajaran Para Waliyullah Yang Patut Diteladani

Istilah waliyullah (arti harfiah: kawan Allah), atau yang biasa disebut dengan wali saja, adalah gelar yang diberikan kepada seseorang oleh masyarakat karena menilai bahwa orang tersebut suci, dan bahkan kadang-kadang dianggap sakti oleh karena mempunyai ilmu yang tinggi. Biasanya seorang yang disebut wali dianggap dapat dipercaya dan nasehatnya ditaati oleh masyarakat.

Jumlah wali cukup banyak. Namun yang umumnya dikenal di Jawa adalah wali sanga. Kesembilan wali sanga tersebut adalah: Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat dan Sunan Gunung Jati.

Selain di atas, masih ada dua wali yang sangat populer di Jawa, tetapi ajarannya oleh umum dianggap menyimpang, yakni Syekh Siti Jenar dan Sunan Geseng.

Dari guru agama saya, allamah Kyai Musa Mahfoed, saya mendapat informasi bahwa Sunan Ampel, yang pada waktu itu tinggal di Ampel Denta, Surabaya, mengadakan rapat bersama Sunan Bonang dan Sunan Giri.

Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa Sunan Ampel Denta adalah ayah dari Sunan Bonang. Sedangkan Sunan Giri adalah putra dari Maulana Ishak Blambangan. Maulana Ishak ditugaskan oleh Sunan Ampel agar berdakwah di wilayah Blambangan.

Dalam keputusan rapat itu, diperkenalkan tiga prinsip utama yang bisa menjadi jalan memperbaiki khalayak masyarakat.

Prinsip utama itu adalah: Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tut wuri hangiseni. Ketiga prinsip ini kelak di kemudian hari diadopsi oleh Ki Hadjar Dewantoro, dengan sedikit perubahan di klausa ketiga, sebagai slogan atau semboyan guru pendidik di Indonesia.

Penjelasan dari ketiga prinsip utama yang diperkenalkan oleh ketiga wali di atas dalam memperbaiki masyarakat itu adalah sebagai berikut:

Ing Ngarsa Sung Tuladha

Apabila kita berada di depan, dalam arti menjadi pemimpin, maka kita harus berjiwa teladan dan selalu berperilaku utama. Oleh karena berfungsi sebagai panutan, dengan sendirinya harus patut untuk dicontoh atau diteladani.

Sikap dan perilaku yang dikedepankan antara lain: menetapi dan menepati janji, satunya kata dengan perbuatan, sungguh-sungguh bertindak adil, mengambil keputusan dengan tegas, bertindak sabar dan bijaksana, dan mampu menjadi pengayom.

Ing Madya Mangun Karsa

Apabila berada di tengah-tengah, atau menjadi bagian dari masyarakat, maka kita harus selalu mengajak berbuat baik atau selalu memberi motivasi agar selalu bersikap positif dan konstruktif.

Selain itu, kita harus bisa memberi semangat untuk bergerak maju ke depan menuju kemajuan, mengingatkan dan berpesan dalam soal kebenaran, meningkatkan spiritualitas atau semangat perjuangan dalam berkarya untuk pembangunan masyarakat seutuhnya.

Tut Wuri Hangiseni

Di mana pun kita berada, baik di depan atau di tengah, dan khususnya bila kita di belakang, maka kita harus terus menerus memberi pengaruh atau nasehat dengan cara bijaksana (bil hikmah wal mauidhatil hasanah), tidak dengan cara memaksakan kehendak. Pengaruh atau nasehat itu berisi tauhid yang diinternalisasikan ke dalam hati sanubari masyarakat.

Tauhid adalah sikap rohaniah yang harus memancar dan terlihat dalam keseluruhan tata kehidupan jasmani dan rohani manusia. Secara jahriyah atau indrawiyah, tauhid adalah mengiktikadkan secara mutlak bahwa Allah itu Esa, tidak ada yang menyekutukanNya.

Tauhid itu membentuk watak, mental, sikap hidup dan tata kelola pikiran manusia kepada sifat-sifat dan nilai-nilai yang positif, yang amat diperlukan dalam kehidupan, pembangunan dan perjuangan.

Karakteristik manusia yang bertauhid adalah memiliki sifat mulia seperti jujur, berani, damai, toleran, patuh, suci, ramah, dermawan, serta perbuatan luhur seperti membantu yang lemah, menolong orang sakit, dan mengeratkan silaturahmi. Juga memiliki berpuluh atau beratus sifat dan perbuatan lain yang termasuk dalam rangkaian akhlakul karimah, yang didasarkan atas budi pekerti yang mulia.

Pengaruh tauhid bagi diri manusia antara lain:

  1. Menjadikan orang tidak memiliki pandangan yang sempit dan picik
  2. Menumbuhkan sifat penghormatan dan penghargaan terhadap diri sendiri
  3. Menumbuhkan sifat rendah hati dan khidmat
  4. Membentuk manusia menjadi orang baik dan jujur
  5. Tidak membuat orang menjadi murung dan gampang patah hati dalam segala keadaan
  6. Menimbulkan ketabahan hati, kesabaran dan keyakinan akan Tuhan
  7. Menumbuhkan sifat berani
  8. Menimbulkan sikap damai dan puas
  9. Membersihkan sifat-sifat buruk dan cemburu, sakit hati dan tamak
  10. Menjauhkan diri dari menempuh jalan yang tidak jujur dalam meraih kesuksesan
  11. Membuat manusia patuh terhadap peraturan Allah dan RasulNya.

Karena itu, para waliyullah, yang antara lain direpresentasikan oleh para wali yang tersebut di atas, seakan telah sangat menyadari bahwa pembangunan manusia seutuhnya itu sangat membutuhkan pembinaan moral.

Jiwa yang kuat atau roh yang kokoh adalah sangat prioritas, atau sangat prinsipil dalam kehidupan manusia.

Begitu pentingnya kekuatan moral dari jiwa yang kokoh, sehingga hampir dapat dikatakan bahwa baik dan buruknya perubahan di dunia ini, besar kecilnya perubahan itu, dan kuat lemahnya jiwa, serta sehat tidaknya jiwa yang menimbulkan perubahan itu, bergantung pada kekuatan jiwa tauhid yang dilandasi oleh nilai tauhid.

Dengan meneguhkan dan menyentosakan jiwa manusia dengan kekuatan tauhid itu, masyarakat diharapkan akan menjadi baik, tata tentrem kerta raharja, menjadi masyarakat yang tulus, sak iyeg sak eka praya, selalu bergotong royong berupaya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran yang berlandaskan kejujuran.

Sikap tauhi ini diperlukan dalam upaya membentuk watak, agar masyarakat menjadi baik, mempunyai integritas dan kredibilitas tinggi tanpa pamrih, serta mau berkorban dalam setiap perjuangan.

Selain itu, dalam usaha dakwahnya, para wali juga menggunakan berbagai instrumen budaya, antara lain dengan menciptakan banyak jenis dolanan atau permainan anak-anak, termasuk juga tembang seperti pucung, asmarandhana, ilir-ilir, dsb.

Dalam memberi nasehat, para wali menggunakan klausa yang gampang diingat. Misalnya “aja ma lima”, yang berarti aja maling, aja main, aja madon, aja madat, aja minum. Ringkas artinya adalah jangan serakah, dimana setan berhasil mempengaruhi diri pribadi manusia dengan cara itu, dan juga jangan selalu mennuruti setiap gejolak hawa nafsu.

Demikianlah sekelumit kecil ajaran para waliyullah yang patut kita contoh teladani dalam menyiarkan Islam dengan keindahan.

 

Penulis: Nanang Rahmatullah III
Meniti pengembaraan para wali, mengikuti perjalanan suci sang nabi
Isra Mi’raj 27 Rajab 1428 H/11 Agustus 2007

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »