DiskursusEdisi KemerdekaanKolom

Ahmadiyah

Mengapa saya ingat Bung Karno, Ahmadiyah, tahun 1936? Memang aneh bahwa saya harus mengutip surat tua itu untuk berbicara tentang “kemajuan dan kecerdasan” bagi umat Islam di Indonesia. Mungkin justru karena kedua hal itu makin dibiarkan terjerumus ke dalam “sektarisme”.

Oleh: Goenawan Mohamad | Tempo, 02 Agustus 2010

Pada suatu hari di bulan November 1936, Bung Karno menerima sepucuk pos. Di zaman ketika komunikasi masih sangat terbatas, surat itu dikirim seseorang dari Bandung dengan kapal biasa ke Kupang, di Pulau Timor bagian barat. Dari sana ia diterbangkan sebagai vliegpost (pos udara) ke Ende, tempat Bung Karno waktu itu hidup sebagai orang buangan.

Surat itu ditulis seorang teman. Ia bercerita bahwa harian Pemandangan memuat satu informasi kecil: Bung Karno telah mendirikan cabang Ahmadiyah dan “menjadi propagandis Ahmadiyah” wilayah Sulawesi.

Saya tak tahu kaget atau tidakkah Bung Karno mendengar cerita fiktif tentang dirinya itu. Mungkin tidak. Ia sudah siap mendengar tuduhan yang bermacam-ragam, termasuk “anti-Islam”, karena pandangannya yang kritis tentang perilaku umat Islam di Indonesia.

Meskipun demikian, Bung Karno membantah. Dengan tenang sekali. “Saya bukan anggota Ahmadiyah,” demikian ditulisnya dalam suratnya bertanggal 25 November tahun itu, yang bisa kita temukan dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi.

Karena ia bukan anggota, kata Bung Karno pula, “Mustahil saya mendirikan cabang Ahmadiyah atau menjadi propagandisnya.” Apalagi untuk wilayah Sulawesi: ia tak akan sampai ke sana. Sebagai orang yang diasingkan dan diawasi pemerintah kolonial Belanda, Bung Karno bahkan tak akan diizinkan untuk “pelesir ke sebuah pulau yang jauhnya hanya beberapa mil sahaja dari Ende.”

Tapi dari peristiwa ini tampak: Islam di Indonesia punya problem yang tiap kali seperti didaur ulang. Tahun 1936, seperti 2010: ada kecurigaan kepada orang yang mengemukakan pendapat lain tentang Islam. Tahun 1936, seperti 2010: ada sikap berseteru terhadap gerakan dan keyakinan Ahmadiyah.

Di tahun surat Bung Karno ditulis itu, permusuhan terhadap Ahmadiyah sudah sekitar tujuh tahun umurnya. Meskipun mula-mula tak ada gejolak apa pun.

Pada awalnya sekitar 20 pemuda Islam dari Sumatera Barat datang ke India untuk belajar agama di Qadian. Tahun 1925: mubalig pertama Ahmadiyah Qadian sampai ke Tapaktuan, Aceh. Ia kemudian ke Sumatera Barat. Pada 1926, organisasi Jemaat Ahmadiyah berdiri.

Sampai di sini, belum ada konflik yang tercatat, meskipun kalangan Ahmadiyah Qadian percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang pembaharu dan sekaligus “nabi,” tapi nabi yang tak membawa syariat baru.

Konflik pertama justru terbuka di Yogya, dan ini berhubungan dengan Ahmadiyah Lahore, yang tak menganggap Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi, melainkan seorang mujaddid (pembaharu).

Awalnya sebuah ukhuwah. Tahun 1924, dua pendakwah gerakan ini, Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad, datang ke Yogya. Djojosugito, sekretaris Muhammadiyah, mengundang mereka untuk berpidato di muktamar, dan menyebut Ahmadiyah sebagai “organisasi saudara Muhammadiyah”.

Tapi, setelah sebuah perdebatan, Muhammadiyah melarang paham Ahmadi. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-18 di Solo, pada 1929, dinyatakan bahwa “orang yang percaya akan Nabi setelah Muhammad SAW adalah kafir”. Djojosugito dipecat. Ia lantas mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia, 4 April 1930.

Takutkah Bung Karno dikaitkan dengan paham ini? Dari nada suratnya, tidak. “Saya tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya ia seorang mujaddid,” katanya.

Tapi Bung Karno memuji pelbagai buku dan tulisan dari kalangan Ahmadi. “Saya dapat banyak faedah daripadanya.” Salah satunya, yang dalam bahasa Belanda disebut Het Evangelie van Den Daad, oleh Bung Karno disebut “brilliant, berfaedah bagi semua orang Islam”.

Apalagi Bung Karno melihat ada tenaga yang positif dari kalangan Ahmadiyah: “… pada umumnya ada mereka punya ‘features’ yang saya setujui: mereka punya rationalisme, mereka punya kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka punya modernisme, mereka punya hati-hati terhadap hadits, mereka punya streven Qur’an sahaja dulu, mereka punya systematische aannemelijk making van den Islam.”

Bung Karno bukannya menyetujui semua. Ia menolak “pengeramatan” Mirza Ghulam Ahmad dan “kecintaan” kalangan Ahmadi “kepada imperialisme Inggris.” Tapi, tulis Bung Karno pula, ia “merasa wajib berterima kasih” kepada pandangan yang termaktub dalam karya-karya mereka.

Di masa itu, seperti tampak dari Surat-surat Islam dari Endeh, (korespondensinya dengan T. A. Hassan, tokoh “Persatuan Islam” di Bandung), Bung Karno memang sudah menunjukkan keinginannya. Ia hendak mendorong umat Islam ke masa depan, bukan berbalik ke masa lalu.

“Kenapa kita mesti kembali ke zaman ‘kebesaran Islam’ yang dulu-dulu? Hukum Syariat?” tulis Bung Karno dalam surat bertanggal 22 Februari 1936. “Islam itu kemajuan!”

Maka tak mengherankan bila “kemajuan” itu yang ia lihat pada gerakan Ahmadiyah. Tapi, lebih dari itu, Bung Karno tak mungkin mengabaikan apa yang dibawa sejarah: benturan dan pertemuan pelbagai buah pengalaman. Dalam kaitan itu, Bung Karno melihat “cacat” “Persatuan Islam” yang dipimpin T.A. Hassan, yaitu “sektarisme”: hanya paham sendiri yang dianggap benar; gagasan lain dimusuhi.

Padahal, dengan “membuka semua pintu budi akal kita bagi semua pikiran,” kata Bung Karno di akhir suratnya, akan lahir Islam yang “tiada kolot dan mesum”, yang bukan “hadramautisme”. Akan lahir Islam yang “cinta kemajuan dan kecerdasan”.

Mengapa saya ingat Bung Karno, Ahmadiyah, tahun 1936? Memang aneh bahwa saya harus mengutip surat tua itu untuk berbicara tentang “kemajuan dan kecerdasan” bagi umat Islam di Indonesia. Mungkin justru karena kedua hal itu makin dibiarkan terjerumus ke dalam “sektarisme”.

Hari-hari ini, “sektarisme” itu bahkan ditegaskan dengan kekerasan.[]

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here

Translate »