ArtikelEdisi Kemerdekaan

Ahmadiyah dan Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia

Hidup keberagamaan dan pemikiran keagamaan di Indonesia bukan hanya teradopsi, tapi juga terinduksi oleh ide-ide Ahmadiyah yang dipancarkan oleh Imamuzzaman Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mujaddid, al-Masih dan al-Mahdi yang kedatangannya telah dinubuatkan oleh para Nabi Utusan Allah dari segala penjuru dunia.

Oleh : K.H. S. Ali Yasir | Ketua PB GAI Periode 1995-1999

Sebelum berbicara tentang “Ahmadiyah dan Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia” dalam koridor “Revitalisasi Peran GAI dalam Peta Pemikiran Keislaman di Indonesia”, yang menjadi tema Jalsah GAI tahun 2005 ini, terlebih dahulu kita perlu membicarakan negara kita.

Menurut kesaksian R.M. Pradika Reksopranoto, seorang ahli metamatika, posisi geografis Indonesia adalah lebar 17 derajat (dari 6 derajat lintang utara s.d. 11 derajat lintas selatan) sedangkan panjangnya 45 derajat (141 derajat bujur timur s.d. 95 derajat bujur timur) alias seper-8 keliling khatulistiwa. Jadi format ajaib Republik Indonesia adalah 17.8.45, selaras dengan kesaksian zamannya, karena diporkalamirkan pada tanggal 17-8-1945, bertepatan dengan Nuzulul-Qur’an tanggal 17 Ramadhan 1364 H.

Negara kita dinamakan Indonesia, tetapi lebih tepat jika dinamakan NUSANTARA. Di antara dua nama itu, yang seharusnya kita pilih adalah yang kedua, Nusantara (nusa artinya pulau atau pulau-pulau, tara adalah antara, dua benua dan samudera) karena sesuai dengan fitrah dan tanda-tanda alam-zamannya. Indonesia adalah kepanjangan dari INDia of NEderland State(s) In Asia, dipendekkan jadi Nederlandsch Indie.

Nama Indonesia adalah usulan S. W. E. Logan (1798-1875) dan Adolf Bastian (1826-1905), diduga merupakan rekayasa AS jauh sebelum Indonesia merdeka. Mereka alihkan “Indonesia” berasal dari “Indos” dan “Nesos”. Anak bangsa seharusnya malu dengan nama Indonesia itu, karena kita benar-benar telah terjebak dalam permainan licik Dajjal, Yakjuj dan Makjuj. Seakan-akan, anak bangsa yang berjumlah lebih dari 200 juta jiwa itu tak punya tanah air, mereka menumpang di tanah air milik Nederland, lengkapnya INDia of NEderland State(s) In Asia (INDONESIA). Beda sekali dengan MALAYSIA kepanjangannya “Malayan State In Asia”. Suatu nama yang membanggakan.

Beruntung dan bersyukurlah kita sebagai warga GAI, karena sifat Gerakan kita adalah non-politik. Ahmadiyah adalah gerakan rohani yang tak mengenal batas-batas geografis dan perbedaan etnis. Jika kita bersyukur, meski menggunakan nama Indonesia, bukan Nusantara, kita akan tetap bisa berperan serta dalam skenario Rencana Ilahi memenangkan agama-Nya setelah “terbunuhnya” Sang Dajjal.

Rencana Dajjal akan gagal dan dikubur atau ditelan sejarah, karena firman Allah yang berbunyi, “wamakarû wamakarallâhu wallâhu khairul-mâkirîn” (mereka membuat rencana, dan Allah pun membuat rencana, dan Allah adalah sebaik-baik perencana, QS 3:54), tetap berlaku sepanjang zaman, di mana pun dan kapan pun.

Selanjutnya kita bicara tentang “Ahmadiyah” dan “pemikiran Islam” di kawasan yang fitrahnya ditengarai oleh tanda-tanda alam dan zaman, dengan angka 17.8.1945. Tanda-tanda semacam ini termasuk obyek yang harus dibaca, sebagaimana yang diperintahkan Ilahi kepada Nabi kita Muhammad saw.: “Iqra’!”

Angka 17-8 mengingatkan kita sebagai orang Islam akan firman Allah dalam Kitâbush-Shâghir Alquran sebagai berikut, “Boleh jadi Tuhan kamu akan memberi rahmat kepada kamu. Jika kamu kembali (berbuat kerusakan), Kami akan kembali (pula menjatuhkan siksaan). Dan kami membuat Neraka sebagai penjara bagi kaum kafir” (QS 17:8)

Inti ayat itu, bahwa Allah berkenan memberikan rahmat-Nya, selaras dengan Pembukaan UUD NKRI yang diproklamirkan pada 17.8.1945, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

Jika dibaca dari belakang berarti 8:17 yang mengingatkan kita kepada firman Allah dalam Alquran yang berbunyi, “Maka bukanlah kamu yang membunuh mereka, melainkan Allahlah Yang membunuh mereka; dan bukanlah engkau yang memukul/melempar (musuh), tetapi Allahlah yang memukul/melempar dia; dan agar Ia menganugerahkan kepada orang-orang mukmin anugerah yang baik dari Dia. Sesungguhnya Allah itu Yang Maha-mendengar, Yang Maha-tahu.” (QS 8:17)

Manunggaling kawula lan Gusti (fanâ fillâh), yang dalam ayat ini dilukiskan dengan kalimat “falam taqtulûhum walâkinnallâha qatalahum; wamâ ramaita idz ramaita walâkinnallâha ramâ,” yang juga telah dinubuatkan Musa dalam Tauratnya (Lihat Kitab Ulangan 33:1-3) dan Isa Almasih dalam Injilnya (dzâlika matsaluhum fit-taurâti wamatsaluhum fil-injîl) itu, diperagakan oleh segenap anak bangsa pasca 17.08.1945 di masa-masa awal kemerdekaan. Karena itu Allah SWT tetap “menganugerahkan kepada orang-orang mukmin anugerah yang baik” (waliyubliyal-mu’minîna minhu balâ’an hasanâ), berupa kemenangan susul menyusul di pihak anak bangsa, baik dalam menghadapi musuh dari luar maupun musuh dari dalam yang mengingkari Proklamasi 17.08.1945.

Proklamasi Indonesia bersifat pluralistik, sebagaimana diabadikan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang dicengkeram erat-erat oleh burung Garuda berperisai Pancasila, yang jumlah bulunya 17 pada setiap sayap, 8 pada ekor, 19 bulu kecil di bawah perisai, dan 45 bulu kecil di atas perisai atau leher. Jadi terdapat angka 17.8.1945, persis dengan tanda-tanda zamannya.

Tetapi kini yang terjadi sebaliknya, bukan balâ’an hasanâ yang dinikmati, melainkan musibah demi musibah yang menimpa anak bangsa. Mengapa? Karena anak bangsa kini seperti yang dinyatakan oleh Yesus sebagai “angkatan yang jahat dan tidak setia menuntut suatu tanda. Tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus” (Mat 16:4), karena mereka hanya terpaku dan terpukau pada tanda-tanda alam saja, buta akan tanda-tanda zaman. Kata Yesus: “Rupa langit kamu tahu membedakannya, tetapi tanda-tanda zaman tidak.” (Mat 16:3).

Melalui Rasulullah saw., Sang Khatamun-Nabiyyin, teguran Ilahi lebih keras lagi, karena tatkala anak bangsa ini seperti kaum Yahudi, yang para alim ulamanya “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa” (Mat 23:2) Allah memperingatkan dengan keras: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tak kamu lakukan? Amat membencikan dalam penglihatan Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tak kamu lakukan.” (61:2-3)

Apa yang dikatakan oleh anak bangsa, terutama para pejabat, aparat dan PNS pada setiap upacara dan pidato? Yang mereka katakan adalah Pembukaan UUD RI 1945 inklusif Pancasilanya. Sila pertama dalam ucapan adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi dalam praktek adalah Keuangan Yang Maha Kuasa, sehingga KUHP pun diplesetkan menjadi “Kasih Uang Habis Perkara,” sebagaimana kita dengar dan lihat pada tayangan TV, baik TV pemerintah maupun swasta, baik surat kabar maupun majalah dan tabloid.

Misalnya banyak oknum di lembaga tinggi negara yang seharusnya menegakkan hukum justru terlibat suap, baik di Mahkamah Agung, kehakiman, kepolisian, bahkan Departemen Agamanya. Ini fenomena bahwa uang yang dipertuhan, bukan Allah Yang Maha-pemurah.

Anak bangsa masa kini lupa bahwa 19:45 dalam Quran Suci bukan hanya sekedar kisah sejarah, melainkan hidayah yang berlaku untuk sepanjang zaman. Ibrahim (Ibraninya Abraham, artinya bapak segala bangsa yang diberkati secara melimpah-limpah yang dengan perantaraannya segala bangsa diberkati) memperingatkan ayahnya, “Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau siksaan dari Tuhan Yang Maha-pemurah akan menimpa engkau, sehingga engkau menjadi kawan setan” (QS 19:45)1

Jadi mempertuhan selain Allah Yang Maha-pemurah itu adalah sumber bencana di muka bumi, baik dalam arti makro maupun mikro. Sebaliknya, mempertuhan Allah, Tuhan Yang Maha Esa alias Tauhid adalah sumber balâ’an hasanâ, anugerah yang baik yang sejatinya telah dan akan selalu dicurahkan secara melimpah-limpah di negeri ini, jika segenap anak bangsa berbuat sesuai dengan asas Tauhid sebagaimana dinyatakan dalam UUD Negara kita: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” yang karena itu “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (UUD bab XI fasal 29 ayat 122).

Ayat tersebut kini implementasinya terganggu oleh fatwa ulama “ahli-ahli Taurat” dan “orang-orang Farisi” anak bangsa yang dikeluarkan menjelang bulan suci Ramadhan 1426 hijriah yang lalu.

Seharusnya segenap ulama dan zuama anak bangsa ini bertobat sejak sekarang juga dengan cara kembali kepada fitrah, baik secara personal (sebagai anak manusia) maupun secara nasional (sebagai anak bangsa yang ber-Tauhid itu), agar kita terhindar dari siksaan Ilahi yang kini telah menggelantung lebih dahsyat lagi di awan Nusantara ini. Tinggal menunggu waktu, bukan dalam hitungan hari lagi, tetapi dalam hitungan menit, bahkan dalam hitungan detik, siksaan dahsyat itu akan dijatuhkan kepada anak bangsa, sebagai balasan dari ulah para ulama dan zu’ama yang mengingkari fitrah bangsa dan negaranya sendiri yang ini sejatinya berarti menentang Allah, Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana telah dinyatakan dalam firmanNya dalam Quran 45:19 –sebagai kebalikan dari 1945– yang berbunyi: “Sesungguhnya mereka tak berguna sedikit pun bagi engkau melawan Allah. Dan sesungguhnya orang-orang lalim itu sebagian mereka adalah kawan sebagian yang lain. Dan Allah itu pelindung bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS 45:19).

Muslim Ahmadi

Tatkala ayat suci 45:19 tersebut diwahyukan pada zaman Mekah akhir (wahyu ke-65) “orang-orang yang bertaqwa” itu yang dimaksud adalah para sahabat Rasulullah saw. Mereka adalah orang-orang yang mendapat pertolongan Allah SWT dan tak melawan Dia, karakter mereka adalah suka memberi ampun kepada orang-orang yang takut kepada hari-hari Tuhan (ayyâmullâh) (45:14) dan mereka tahu bahwa Allah telah memberitahu kepada Bani Israel: Kitab, Hukum, Kenabian dan rezeki berupa barang-barang yang baik yang karena itu Bani Israel melebihi bangsa-bangsa lain (45:16), teristimewa pada zaman Musa s.d. Sulaiman (1250-950 SM); para Nabi Israel dikaruniai tanda bukti yang terang tentang Perkara (45:16), yakni tentang kenabian Muhammad saw., namun mereka (para sahabat itu) tak berpendapat seperti kaum Musyrik Mekah bahwa Kitab Suci –yang memuat nubuat kedatangan Nabi Suci Muhammad saw. (3:81) itu– hanya diturunkan kepada dua golongan sebelum mereka saja (6:157) yaitu kaum Yahudi dan Kristen, di luar mereka tak menerima firman Allah itu. Para sahabat adalah khaira ummah (sebaik-baik umat) yang ditampilkan sebagai cermin bagi manusia (ukhrijat linnâs) dalam hal amar ma’ruf nahyi munkar dan beriman kepada Allah (3:110), karena itu satu kata dan perbuatannya, tidak hipokrit.

Tapi sekitar tahun 1945 orang-orang bertakwa yang dilindungi Allah dalam ayat 45:19 tak bisa ditujukan kepada orang-orang beriman yang para ulamanya mengambil kursi Musa, sehingga mereka ditegur Ilahi: limâ taqûlûna mâlâ taf’alûn, kabura maqtan ‘indallâhi antaqûlû mâlâ taf’alûn (61:2-3), meski mereka berdoa: “Rabbanâ innanâ sami’nâ munâdiyan yunâdî lil-îmân, an âminû birabbikum; Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mendengar seruan seorang penyeru yang menyeru kepada iman, serunya: Berimanlah kepada Tuhan kamu” (3:193); karena mereka tak menyambut, “fa âmannâ, kami beriman”, maka dari itu sia-sialah doa mereka: “Rabbanâ faghfirlanâ dzunûbanâ wakaffir ‘annâ sayyi’âtinâ watawaffanâ ma’al-abrâr, Tuhan kami, lindungilah kami dari dosa, hapuslah keburukan kami dan matikanlah kami bersama-sama orang yang tulus” (3:193). Alasannya, mereka tak menyadari akan arti doa mulia tersebut seperti halnya tatkala berdoa: “Rabbanâ innaka man tudkhilin-nâra, faqad akhzaitahu. Wamâ lizhzhâlimîna min anshâr, Tuhan kami, barangsiapa Engkau masukkan Neraka, ia pasti Engkau hinakan. Dan bagi kaum lalim, mereka tak akan mempunyai penolong” (3:192). Rabbanâ wa âtinâ mâ wa’adtanâ ‘alâ rusulika walâ tukhrijnâ yaumul-qiyâmah; innaka lâ tukhliful-mî’âd. Tuhan kami, berilah apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui para Utusan Dikau, dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari Kiamat, sesungguhnya Engkau itu tak pernah ingkar janji (3:194); juga tak mereka hayati akan maksud doa-doa agung tersebut. Dengan demikian mereka telah berbuat lalim tanpa disadarinya pula, sebab mereka menentang keras “munâdî yunâdi lil-îmân”, pada zaman akhir yang iman menggantung di bintang tsuraya ini. Masya Allah, astaghfirullah!

Lalu ditujukan kepada siapa dan bagaimana maksud doa tersebut? Orang-orang bertaqwa yang dilindungi Ilahi itu adalah kaum Muslimin golongan Ahmadiyah, Muslim Ahmadi, karena merekalah yang menyambut dan mengikuti Sang Penyeru (Munâdi) yang menyeru kepada iman (yunâdi lil-îmân) pada zaman akhir ini, yakni Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908), seorang putera Persi yang setelah menggapai iman di bintang tsuraya lalu menurunkannya ke bumi kemudian menyeru dunia, seruannya “an âminû birabbikum.” Pada saat itu akhir abad ke-19 M sampai sekarang di bumi memang banyak umat Islam, tetapi tinggal namanya; mereka membaca Quran Suci, tetapi sejatinya hanya mengeja hurufnya, karena tak lebih dari tenggorokan, masjid-masjid mereka memang makmur, karena banyak pengunjung dan kegiatannya dan megah pula bangunannya, tetapi sunyi dari petunjuk, alim ulamanya merupakan makhluk yang paling buruk di bawah kolong langit, karena dari mulut mereka keluar fitnah padahal fitnah itu hanya kembali kepada mereka sendiri, namun demikian mereka dengan bangga mendabik dada sebagai orang yang takut kepada Allah karena mereka merasa sebagai orang yang dituju oleh ayat suci innamâ yakhsyallâha min ‘ibâdihil-‘ulamâ’u, yang mereka terjemahkan “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama (35:28) dan hadits Nabi al-‘ulamâ’u warasâtul-anbiyâ’i, ulama itu pewaris para nabi. Keadaan semacam inilah yang sangat dicemaskan oleh Rasulullah saw., sehingga beliau menangis di hadapan Tuhan serta berdo’a: Yâ Rabbi, inna qaumit-tahadzû hâdzal-qur’âna mahjûrâ, wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku memperlakukan Quran ini sebagai barang yang ditinggalkan (25:30).

Setelah hijrah ke Madinah pada tahun 622 M, Nabi Suci mendapat hiburan samawi bahwa mâ kânallâhu liyadzaral-mu’minîna ‘alâ mâ antum ‘alaihi hattâ yamizal-khabitsa minath-thayyibi, Allah tak akan membiarkan kaum mukmin berada dalam kamu sekarang ini sampai Ia memisahkan yang buruk dari yang baik (3:179). Pemisahan Ilahi tersebut kini telah dipenuhi dengan diutusnya seorang Penyeru (Munâdî) yang menyeru kepada iman, yunâdî lil-îmân, mazhar sempurna Rasulullah Muhammad saw. yang kedatangannya telah dinubuatkan oleh para Utusan Ilahi terdahulu, baik yang disebutkan dalam Quran Suci ataupun tidak. Dalam arti inilah maksud doa: “Rabbanâ wa âtinâ mâ wa’attanâ ‘alâ rusûlika ….” (3:194), sebab Allah SWT menjelaskan pemenuhan janji-Nya melalui para Nabi Utusan Allah itu diabadikan dalam Quran Suci sebagai berikut:

“Dia ialah Yang membangkitkan di kalangan bangsa Ummi seorang Utusan di antara mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, dan menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Kebijaksanaan, walaupun mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang terang. Dan (Dia juga Yang membangkitkan seorang Utusan dari) orang-orang lain yang belum pernah menggabungkan diri dengan mereka (bangsa Ummi). Dan Ia adalah Yang Maha-perkasa, Yang Maha-bijaksana” (QS 62:2-3).

Utusan dari bangsa Ummi atau Arab adalah Nabi Suci Muhammad saw., sedang Utusan dari orang-orang atau bangsa lain – yakni bangsa Persi – yang belum pernah berjumpa dengan bangsa Ummi (Arab) itu adalah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908)2 yang telah mampu menggapai iman yang menggantung di bintang Tsuraya, kemudian beliau sebagai Munâdî (Penyeru) pada zaman akhir ini mendapat amanat Ilahi Yunâdi lil-îmân (menyeru kepada iman): “An âminû birabbikum” (berimanlah kepada Tuhan kamu); mereka yang menyambutnya fa âmannâ, kami beriman, adalah kaum Muslimin yang pada tanggal 1 Nopember 1900 dinamakan kaum Ahmadiyah.

Sebagaimana tersurat dalam Kitab-kitab Suci para Nabi terdahulu dan juga Quran Suci dan Hadits Nabi, di masa datangnya Hari Tuhan, yakni masa kedatangan Masih Mau’ud, Allah berkenan melimpahkan nikmat-nikmat rohani yang menghidupkan umat sedemikian hebat dan luasnya, hingga wanita-wanita pun akan menerima ilham, anak-anak yang belum akil baligh akan membuat nubuatan-nubuatan, dan orang-orang awam pun akan berkata-kata dengan Roh Kudus. Ini semua berkat pantulan rohaniyat Masih Mau’ud yang merefleksi pada kalbu-kalbu manusia yang berbakat suci.

Sungguh hebat dan dahsyat induksi Masih Mau’ud, tak ubahnya seperti datangnya Nabi Besar Muhammad saw. pada saat itu terdapat ribuan ulama dan rahib Yahudi dan Kristen yang biasa menerima ilham dan kasyaf yang menginformasikan bahwa Nabi Akhir Zaman, yakni Muhammad saw. sebagai Khatamun-Nabiyyin akan segera lahir di tanah Arab, maka mereka berdatangan ke tanah Arab dan menyampaikan informasi itu kepada anak cucu mereka, akan tetapi setelah Sang Nabi yang ya’rifûnahû kamâ ya’rifûna abnâ ahum telah mereka kenal seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri (2:146; 6:20) itu datang dan membawa “salam” dari Allah Ta’ala, maka sifat mementingkan diri dan kefanatikan membinasakan kebanyakan para ulama dan rahib, hati mereka menjadi hitam kelam dan padamlah iman mereka, kecuali sebagian kecil dari mereka yang beruntung karena menjadi Muslimin yang baik, seperti diperagakan oleh Waraqah bin Naufal, Yasir, Salman al-Farisi, Abu Hurairah (yang semula Kristen), Ka’ab Akhbad, Abdullah bin Salam (yang semula Yahudi), dll. Mereka adalah tsullatun minal-awwalin, sejumlah besar dari golongan permulaan (56:13, 39), wassâbiqûnas-sâbiqûna, ulâikal-muqarrabûn, yang paling depan, orang yang terdekat kepada Allah (56:10-11); sedang kaum Ahmadi adalah wa tsullatun minal-âkhirîn, sejumlah besar dari golongan terakhir (56:40).

Peran Ahmadiyah

Meski imamuzzaman zaman akhir secara geografis di dekat “Menara Putih” di sebelah timur Damsyik, yang berarti jauh dari Indonesia, namun refleksi cahaya rohaninya menjangkau pula kalbu-kalbu orang-orang yang berbakat suci di negeri yang sedang dijajah kaum kafir ini. Sejarah mencatat, sewafat beliau pemikiran Islam yang fitriah tumbuh bak cendawan di musim hujan, misalnya Haji Samanhudi dengan Syarikat Islamnya di Solo (tahun 1911), disusul K. H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya di Jogjakarta (tahun 1912), K. H. Hasyim Asy’ari (1871-1947) dengan Nahdlatul ‘Ulamanya di Surabaya (tahun 1926), dan lain-lain.

Sebenarnya pemikiran mereka yang cemerlang itu semakin dikokohkan oleh Allah SWT dengan datangnya dua muballigh dari Ahmadiyya Anjuman Isyaati Islam (Ahmadiyah Gerakan Penyiar Islam) Lahore, yakni Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad Baig, yang bermukim di Jogjakarta pada awal tahun 1924. Sebelumnya, Khawaja Kamaluddin, Imam Masjid Woking, London dan Redaktur Majalah Islamic Review datang ke Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1920 di Surabaya, lalu kembali ke London pada awal tahun 1921 setelah melakukan safari dakwah ke berbagai tempat dan kota.

Demikianlah cahaya demi cahaya rohaniah yang memantul (merefleksi) dari orang-orang yang berbakat suci itu sejatinya terinduksi pancaran cahaya Imamuzzaman yang dalam kitab suci baik Taurat dan Injil atau lainnya maupun Quran Suci dilukiskan sebagai matahari itu. Inilah rahasianya seseorang Nabi menyatakan dirinya sebagai Terang Dunia atau Matahari.

Ide-ide Ahmadiyah

Ahmadiyah sebagai gerakan rohani jelas berperan besar dalam perkembangan pemikiran Islam di dunia, inklusif di Indonesia, seperti uraian di atas. Jika demikian, secara logika, tentunya umat Islam yang menyatakan dirinya sebagai pengikut orang-orang yang berbakat suci yang kini menjadi ormas-ormas Islam itu berbaiat kepada Imamuzzamannya dan bergabung pada Ahmadiyah, atau setidak-tidaknya bekerja sama dalam memajukan Islam, tetapi mengapa mereka justru menentang dan memusuhi Ahmadiyah, bahkan menganggap kafir Ahmadiyah? Hal ini karena selain Masih Mau’ud secara etnis non Arab, ada dua hal yang penting, yaitu:

Pertama, mereka sejatinya telah menyimpang dari khithah dan pemikiran panutannya. Ambillah contoh Muhammadiyah yang lebih tua dari Nahdlatul ‘Ulama. Di samping itu fakta fakta berbicara, berdirinya GAI tak terpisahkan dengan Muhammadiyah yang berpusat di Jogjakarta. Seperti pernah diungkapkan oleh Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, “K. H. Ahmad Dahlan adalah seorang super liberal”, sehingga beliau dituduh sebagai perusak agama oleh umatnya sendiri, sampai-sampai langgar beliau dirusak massa. Tetapi kini Ketua Umum Muhammadiyah (menurut berbagai sumber) justru yang memelopori mengharamkan liberalisme dan pluralisme yang dijunjung tinggi oleh K. H. Ahmad Dahlan, bahkan mengafirkan Ahmadiyah dalam MUNAS MUI akhir bulan Juli 2005 yang lalu. Seandainya ini disinetronkan, seperti “sinetron Islami” yang akhir-akhir ini memenuhi wajah pertelevisian tanah air, tentu roh K. H. Ahmad Dahlan memberikan peringatan keras kepada Din Syamsudin dkk, sebagaimana tersirat dalam buku beliau, “17 Kelompok ayat dan falsafah ajaran K. H. Ahmad Dahlan”, ketika beliau dituduh sebagai perusak agama, beliau tak melayani tuduhan murahan yang didukung oleh preman berjubah (meminjam istilah Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah sebelum Din Syamsuddin) itu; beliau menyitir suatu hadits yang diriwayatkan oleh Dailami dari Mu’adz bin Jabal, beliau sama sekali tak mengekor kepada fatwa para mullah dan kiai dari seberang Nusantara yang telah marak lama sebelum Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 Nopember 1912.3

Kedua, mereka salah paham dan membuat jarak dengan Ahmadiyah, bahkan memutuskan silaturahmi yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Senada dengan ini Imamuzzaman Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menulis: “Seandainya ada orang yang tidak mengerti alam rahasia Tuhan ini dan biarpun ia sudah mendengar tentang kedatangan seorang Imam Zaman, tetapi ia tidak segera mengadakan kontak, maka pertama-tama orang itu memperlihatkan gejala rasa tak butuh akan Imam itu, kemudian dari keasingan berkembang prasangka, dan dari prasangka tumbuhlah rasa permusuhan, dan dari rasa permusuhan – na’udzubillah – sampai ke tingkatan di mana akhirnya keimanannya padam” (Perlunya Seorang Imam Zaman, hlm. 11).

Alangkah berat tantangan yang dihadapi oleh kaum Ahmadi dari waktu ke waktu, sejak kelahirannya sampai hari ini selalu menghadapi tantangan hebat. Ini telah menjadi sunnatullah, selain telah tertulis dalam Kitab Suci juga dibuktikan oleh sejarah, bahwa tugas mulia itu memang berat resikonya. Maka dari itu kaum Ahmadi tak boleh pesimistis, apalagi putus asa. Dalam Islam tak ada kamus putus asa. Sadarlah bahwa yang diperjuangkan oleh Ahmadiyah adalah masalah kemanusiaan, bukan politik, sehingga jika Ahmadiyah menang, berarti Islam yang menang, yang di dalamnya tak ada orang atau golongan yang ditindas, apalagi dibinasakan, karena Islam itu bukan orang dan bukan golongan.

Islam adalah fitrah Allah, yang di atas fitrah itu manusia diciptakan, fithratallâhillatî fatharannâsa ‘alaihâ (20:30). Oleh karena itu, fitrah manusia itu baik, sebab semua manusia dilahirkan atas fitrah, tanpa kecuali. Mereka yang kembali kepada fitrahnya dengan cara berbuat selaras dengan fitrahnya disublimasi oleh ajaran (pemikiran) Islam yang fitriah, baik mereka yang mengaku sebagai orang Islam maupun non-Islam. Pemikiran Islam fitriah itulah yang ditampilkan oleh Ahmadiyah, yang sejatinya dicari-cari oleh segenap anak bangsa, baik mereka Muslim maupun non Muslim.

Teradopsi dan terinduksi

Banyak sekali ide-ide tajdid Islam Ahmadiyah yang faktual menjadi pemikiran keagamaan di Indonesia, misalnya:

  1. Bhineka Tunggal Ika (Beraneka ragam tetapi satu), semboyan pada Lambang Negara Republik Indonesia, secara religius selaras dengan pluralisme yang dijunjung tinggi oleh Ahmadiyah. Pluralisme agama versi Ahmadiyah tidak sama dengan pluralisme yang diharamkan oleh fatwa MUI 2005 bahwa kabeh agama padha wae, karena yang sama menurut Quran Suci adalah asal dan tujuan akhirnya, yakni Tuhan Yang Maha Esa, sebab menurut “Pokok Kekuatan Maksud Gerakan Ahmadiyah Indonesia” butir (2) berbunyi: “Faham Islam amat luas; Islam mengakui bahwa semua agama itu pokok aslinya dari Allah”. Juga menurut “Ahmadiyah dalam Teori” butir (3), “Agama Islam pandangannya liberal. Ia mengakui kesatuan seluruh umat manusia, dan menerima semua Nabi yang timbul di antara semua bangsa.”
  2. UUD NKRI tahun 1945 Bab XI pasal 29 ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan (2) Negara menjamin kebebasan penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Hal ini bukan hanya selaras dengan ayat magna charta kebebasan beragama lâ ikrâha fid-dîn (2:256), melainkan pula sejiwa dengan rumusan “Ahmadiyah dalam Praktek” butir (1) “Pemimpin-pemimpin agama dari semua bangsa dan kitab-kitab sucinya dihargai”, dan butir (3), “Semua mazhab dalam agama Islam dianggap sebagai ranting-ranting pohon yang beraneka macam. Dapat saja ada banyak perbedaan-perbedaan kecil, tapi mereka semua sependapat tentang Kitab Quran dan Nabi Muhammad saw.”
  3. Tafsir IAIN. Majalah Mingguan TEMPO edisi 18 September 1971, antara lain menulis: “Siapa yang mengkaji Tafsir Quran Departemen Agama yang populer sebagai “Tafris IAIN” boleh melihat di situ bagaimana Maulana Muhammad Ali (Lahore) menerangkan hakikat Islam di antara agama-agama, hakikat Quran dan semacam itu.” (hlm. 20).
  4. Semboyan pendidikan di negeri ini adalah “Tutwuri handayani” yang lengkapnya seperti dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara, Pendiri Taman Siswa (1922): “Ing ngarsa sung tuladha, ing madyo mangun karsa, tut wuri handayani”. Suatu rumusaN Islamik-Quranik yang dikembangkan oleh Ahmadiyah, karena filsafat pendidikannya adalah para Nabi Utusan Allah – yang secara umum tak diakui sebagai pendidik – sejatinya pendidik hakiki umat manusia; pada diri merekalah ditemukan peragaan “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Di samping itu, semua guru adalah guru agama. Jadi guru-guru ilmu pengetahuan umum, baik ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan sosial, adalah juga guru agama, karena mereka lebih mendekati lukisan Quran tentang ‘alimun (30:22) atau ‘ulamâ (30:28) yang artinya orang yang berilmu, baik secara tekstual maupun kontekstual. Guru-guru agama yang mengampu ilmu-ilmu agama yang arabik kalau toh diklasifikasi sebagai ‘ulama hanya secara tekstual atau linguistik yang tidak Quranik (lih. 35:28; 26:196-7). Untuk mengantisipasi hal itu putera terbaik GAI, M. Mufti Sharif menulis buku Filsafat dan Perbandingan Agama sebagai buku pegangan siswa PGAA (Pendidikan Guru Agama Atas), suatu lembaga pendidikan di bawah Departemen Agama yang memproduk guru-guru agama Sekolah Dasar. Buku tersebut visi dan misinya inklusifistik-pluralistik, tidak eksklusivistik seperti yang diperagakan MUI dan buku-buku akidah Islam dan fiqih Islam yang lebih bersumber pada sunnah Arab daripada sunnah Allah dan Sunnah Nabi yang banyak beredar di masyarakat Indonesia. Inilah rahasia mengapa Indonesia menjadi sarang terorisme yang secara diametral konsep jihadnya bertentangan dengan konsep Ahmadiyah yang sejalan dengan fitrah manusia.
  5. Kesaksian Margaret Blood, seorang sarjana Australia dalam tesisnya tentang Ahmadiyah menulis sebagai berikut: “Publikasi (tulisan-tulisan) khususnya dari Ahmadiyah Lahore mempunyai peranan yang penting dalam penelaahan Islam di Indonesia. Oleh karena kepopuleran atau terkenalnya publikasi-publikasi itulah yang telah mempengaruhi cara berfikir religius di antara para Muslimin Indonesia ….” (Dikutip dari Warta Keluarga GAI nomor khusus Muktamar GAI XI/1984, hlm. 8).

Dari kelima contoh tersebut, dan masih dapat diperbanyak lagi, dapat dikatakan kelima hal itu merupakan bukti konkret bahwa ide-ide Ahmadiyah teradopsi menjadi pemikiran keagamaan di Indonesia, tetapi akan lebih tepat jika dikatakan bahwa hidup keberagamaan dan pemikiran keagamaan di Indonesia bukan hanya teradopsi, tapi juga terinduksi oleh ide-ide Ahmadiyah yang dipancarkan oleh Imamuzzaman Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mujaddid, Masih dan Mahdi yang kedatangannya telah dinubuatkan oleh para Nabi Utusan Allah dari segala penjuru dunia.

Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufiq dan hidayahNya kepada kita semua sehingga kita mampu berperan serta dalam memperjuangkan dan memenangkan Islam yang telah diamanatkan kepada Imamuzzaman kita sebagaimana telah dijanjikan Ilahi dalam Quran Suci 9:33; 61:9; 48:28 yang dijadikan dalil uraian ini, yang menurut Ibnu Jarir “Kemenangan Islam kembali akan terjadi dengan turunnya Isa ibnu Maryam”, selaras dengan tafsir Biharul-Anwar, bahwa “Imam Mahdi akan mengetengahkan ajaran-ajaran Islam sejati dalam bentuknya yang murni dan asli.” Jadi vitalitas Ahmadiyah sebagai pengejawantahan Mujaddid, Masih dan Mahdi tidak hanya berperan dalam pemikiran dan gerakan keislaman di Indonesia saja, melainkan juga di dunia. Allâhu akbar, subhânallâhi walhamdulillâhi walâ ilâha illallâhu wallâhu akbar.[]

_________________________

1. Bilangan 19 secara khusus dinyatakan Ilahi dalam profetik Qurani 74:30-31 yang menunjuk zaman kita sekarang, yakni pasca abad ke-19 Masehi jika dihubungkan dengan ayat profetik 32:5 tentang kemunduran Islam selama satu hari yang ukurannya seribu tahun setelah masa kejayaannya menurut hitungan atau kalender yang kita gunakan. Alam membuktikan bahwa anak bangsa Indonesia, meski mayoritas beragama Islam, tetapi menggunakan kalender Masehi 17.8.1945. Realitas ini merupakan penggenapan profetik “agar orang-orang yang diberi Kitab menjadi yakin dan orang-orang yang beriman bertambah iman, dan agar orang-orang yang diberi Kitab dan kaum mukmin tidak ragu-ragu.” Maksudnya, bersatunya umat Kristen dan umat Islam sebagaimana tercermin dalam Piagam Jakarta 22.6.1945 yang ditandatangani oleh 9 anak bangsa yang pluralis. Pluralitas diakui, tetapi pluralisme diharamkan oleh MUI. Quo vadis MUI?

2.  Nama Ghulam Ahmad al-Qadiyani nilai bilangannya berjumlah 1331, karena huruf Arab itu mengandung nilai bilangan. Awal abad ke-14 H bertepatan dengan awal abad ke-20 M, berarti pasca abad ke-19 M. Hal ini berarti alam dan zaman memberi kesaksian bahwa profetik Qurani dalam surat ke-19 (Maryam) diungkapkan sebagai pengejawantahan tugas beliau sebagai Almasih yang “mematahkan salib” dan “membunuh Dajjal” yang sampai hari ini masih tetap merupakan misteri bagi kaum non-Ahmadi.

3.  Pada zaman penjajahan Belanda, Muhammadiyah mengakui jasa dan pengabdian Ahmadiyah kepada Islam, kita baca tulisan: “Muballigh-muballigh Ahmadiyah yang telah bermukim di Barat sangat kerang mengembangkan Islam dan meratakan pengajarannya, begitulah berangsur-angsur, terus-menerus yang datang pada kemudiannya, hingga di antara Muballighin itu ada yang menuju pusatnya kaum Kristen di tanah Roma, Itali, hendak diislamkannya ….” (Almanak Muhammadiyah, tahun 1347 H/1928 M, hlm. 42).

 

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here