Ahmadiyah sebagai sebuah gerakan keagamaan terus menghadapi tantangan untuk tetap mempertahankan eksistensinya di Indonesia. Hal ini dikarenakan perbedaan pandangan Ahmadiyah mengenai kenabian, wahyu, al-Masih dan al-Mahdi dengan mayoritas pandangan masyarakat Indonesia.
Perbedaan ini tak pelak melahirkan respon di masyarakat bahwa Ahmadiyah telah menyimpang dari ajaran Islam yang “sebenarnya” dan sudah barang tentu telah menodai agama Islam.
Berbagai kekerasan pun terpaksa harus diterima oleh Jemaat Ahmadiyah sebagai konsekuensi atas anggapan yang menyimpang tersebut, kasus-kasus seperti di Makassar (awal 2011), Cianjur, Tasikmalaya (Maret, 2011), Bogor (April 2011), Cikeusik (Februari 2011) menjadi fakta bahwa Ahmadiyah harus menelan pil pahit kebrutalan warga, yang terpancing isu perbedaan mendasar (aqidah) antara Ahmadiyah dan beberapa kelompok Islam arus utama (mainstream) lainnya.
Bahkan, baru-baru ini, terdengar kembali berita mengenai resistensi masyarakat Muslim mainstream yang ditunggangi oleh pemerintah terhadap kelompok Ahmadiyah di kabupaten Bangka yang dianggap meresahkan karena interpretasi keagamaan yang berbeda.
Derita belum usai, air mata kembali berderai, kelompok Ahmadiyah tampaknya terus dihantui penderitaan yang diakibatkan oleh sikap sekterianisme beberapa masyarakat Muslim Indonesia. Pertanyaan singkat muncul, bagaimana fenomena ini bisa terjadi dan seolah terus direproduksi tanpa henti?
Nalar masyarakat Indonesia dalam bernegara yang berupa nalar religius di satu sisi, dan nalar sekuler di sisi lainnya menjadikan dualisme jiwa kebangsaan (nasionalisme) pada masyarakat indonesia; nasionalisme religius dan nasionalisme sekuler. Dualisme nasionalisme ini terlihat ketika menanggapi permasalahan perbedaan ajaran Ahmadiyah dengan ajaran mainstream Muslim Indonesia.
Sebagian kelompok berpendapat bahwa Ahmadiyah merusak Islam karena tidak sesuai dengan ajaran Islam mayoritas, sebagian lagi berpendapat bahwa ajaran Ahmadiyah sah untuk berkembang di Inonesia selama ajaran itu tidak bertentangan dengan konstitusi.
Terdapat dua pembacaan yang dapat kita gunakan untuk melihat fenomena di Indonesia yang terjadi antara kelompok Islam mainstream dan Ahmadiyah. Pembacaan pertama adalah pembacaan doktrinal, yaitu masalah interpretation diversity atau perbedaan tafsir. Masalah perbedaan ini menjadi besar ketika para kelompok Islam arus utama menjadikan penafsiran mereka sebagai ukuran untuk menolak Ahmadiyah.
Prinsip mayoritarianisme pun menjadi argumen untuk mengklasifikasikan antara ajaran murni dan ajaran sesat. Terlebih, lahirnya fatwa dan kebijakan pemerintah (SKB 3 Menteri) mengenai pelarangan penyebaran Ahmadiyah menggambarkan drama perjalanan yang membawa kepada pembacaan kedua mengenai Ahmadiyah; yaitu perwujudan karakter nasionalisme ketuhanan (godly nationalism) masyarakat Indonesia.
Selengkapnya silahkan unduh dalam artikel berikut ini!
AHMADIYAH DALAM LABIRIN SYARIAH DAN NASIONALISME KETUHANAN DI INDONESIA
Oleh: Muzayyin Ahyar | Fakultas Syariah IAIN Samarinda