“Sesungguhnya Allah tak mengubah keadaan suatu bangsa, sampai mereka mengubah keadaan mereka sendiri.” (Ar-Ra’d 13:11).
Dalam kerangka acuan mengenai peranan agama dalam pembangunan bangsa, saya memilih agama yang sesuai dengan agama pilihan Allah, “Sesungguhnya agama (yang benari di sisi Allah ialah Islam.” (QS 3:181). Hal ini saya tempuh untuk membentengi subyektifitas pribadi yang ingin menerobos mewarnai agama yang dipilih sendiri, yang tidak mustahil ditumpangi oleh nafsu pro dan kontra. Untuk lebih memantapkan, saya mengutip pandangan seorang Katolik yang menjadi kepercayaan Paus, bagaimana pendapatnya tentang Islam. “Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization.” (Prof. H.A.R. Ghibb). Islam itu sesungguhnya jauh lebih luas daripada sekedar sistem teologi. Islam adalah peradaban masyarakat yang utuh.
Dunia dewasa ini sedang dilanda dekadensi moral yang drastis. Hampir setiap jengkal tanah tak ada yang luput dari bahaya kemerosotan moral itu. Ironisnya justru orang-orang beragama yang terpandang di antaranya yang berperan di situ. Bagaimana beratnya penyebaran agama, kalau di tempat yang tak jauh dari penyebaran agama itu, dalam jangka waktu lima bulan, telah terjadi lima kali kasus pemerkosaan gadis-gadis balita, yang lebih memilukan gadis cilik itu kemudian dibunuh secara sadis pula. Na’udzu billaahi min dzaalik.
Di sisi lain kita rasakan gejolak akibat sampingan keberhasilan dan kemajuan saintek. Alih teknologi menuju era industrialisasi. Produksi mesin-mesin yang super canggih itu cukup membuat orang tersipu heran. Tanpa disadari, secara pelan tetapi pasti, kiblat hidup manusia nyaris tergeser dari agamis menjadi materialis. Dengan penghayatan kondisi dunia dewasa ini, sebaiknya manusia tidak mencari kambing hitam untuk menutup aib yang ada dalam diri sendiri, dengan mengatakan kemajuan dan keberhasilan IPTEK-lah penyebab kemerosotan moral.
Kemajuan teknologi merupakan kebutuhan alami bagi masyarakat yang berkembang. Saya yakin teknologi itu tidak membahayakan, termasuk teknologi nuklir sekalipun. Bukankah matahari itu sesungguhnya juga memproduksi nuklir yang amat dahsyat? Apakah senjata nuklir itu jahat? Sepanjang manusia di belakang nuklir itu masih bermental agama, mampu mengendalikan diri, senjata nuklir itu tak akan membahayakan. Tetapi jika manusia di belakangnya itu tak sadarkan diri, tekan tombolnya, hancur binasalah puluhan ribu manusia yang tertimpa. Yang perlu dijaga adalah orang yang memiliki senjata nuklir itu sendiri.
Itu semua hanya sebagai contoh bahwa daya intelektual yang handal belum merupakan jaminan atas terciptanya situasi damai. Sebab itu pembangunan suatu bangsa tanpa agama adalah ibarat mencincang air.
“Kebobrokan telah timbul di daratan dan lautan karena usaha tangan manusia”. (Ar-Ruum 30:41).
Allah SWT dengan tandas telah membuka kartu bahwa kerusakan yang terjadi di alam sernesta ini bukan karena hasil kemajuan IPTEK, tetapi karena para pakar IPTEK itu sendiri tidak dijiwai oleh agama. Kehancuran bukan karena nuklir, tetapi para pengelola nuklir itu bukanlah orang yang mengelola “ruh”-nya sesuai sejalan dengan sunnatullah.
Tetapi apa hendak dikata, Qur’an Suci telah memberi lampu merah bahwa dua kelompok manusia telah dilanda kekeringan ruh. Yang pertama ialah kelompok daratan yang kering ilmu agama, satunya lagi kelompok lautan ilmu agama tetapi sunyi dari amalan-amalan saleh. Itulah kondisi umat dewasa ini yang telah diinformasikan oleh Allah SWT.
Isi ayat di atas memacu siapa saja yang sadar terhadap bahaya yang menimpa manusia. Yang menerima berita itu secara sadar terus berupaya bagaimana menyelamatkan umat yang berdiri di tepi jurang kehancuran. Seolah-olah acuan spiritual itu sulit dilaksanakan. Masalahnya, bagi yang sadar terhadap tugas mulia itu tumbuhnya mengecil, akan menggarap masalah yang tumbuh meraksasa.
Tetapi sejarah membuktikan, seorang yatim piatu penggembala kambing mampu merubah keadaan bangsa Arab yang telah berlumuran segala macam dosa. Usaha yang dilakukan hanya memakan waktu kurang dari seperempat abad. Masalahnya sekarang yang segera ditangani ialah menaburkan semangat Muhammad demi terciptanya suasana agama.
“Engkau pasti akan naik ke suatu keadaan, lepas keadaan yang lain.” (Al-Insyiqaq 84:193).
Agama, pembangunan, dan bangsa adalah tiga mata rantai hidup manusia, jika dirangkai menjadi satu akan menghasilkan satu untaian pengertian tentang hakekat hidup. Sesungguhnya hidup ini bukan milik kita, tetapi semata-mata hanya anugerah Allah SWT yang tak ternilai indahnya. Adapun keberadaan agama itu untuk menata hidup manusia agar manusia selalu berada dalam posisi yang selaras dengan sunatullah yang berlaku mutlak, universal dan absolut.
Manusia khalifatullah adalah pengibar panji sifat-sifat luhur dan terpuji. Hidup manusia masuk dalam lingkaran evolusi proses yang berawal dari Iradatullah dan berakhir pada Qudratullah. “Innaa lillaahi wainnaa ilaihi raaji’un.” Segenap manusia diharap mau memahami hukum ini. Manusia mau menerima atau menolak, hukum ini tetap berlaku.
Pembangunan bangsa itu sendiri, telah meninggalkan kesan adanya satu usaha terus menerus berkesinambungan yang bersifat inovatif menuju kesempurnaan. Pembangunan bangsa pada dasarnya membangun tiap individu secara bertahap mencapai kesempurnaan yang berpolakan hukum Allah yang berlaku di alam semesta ini. Jika manusia berkenan mengamati hukum Allah di alam semesta ini, sungguh ia akan terpukau. Alangkah rapi, indah, harmonis, serasi dan damai. Tiap sudut pandang akan menatap panorama yang ditata dengan ukuran dan aturan, “qaddara fahadaa.”
Pembangunan bangsa tak kenal berhenti, berhenti berarti mati. Jika diperhatikan hukum tumbuh-tumbuhan secara biologis tumbuh pucuk daun yang hijau tersenyum segar. Bangsa yang sedang meniti di atas tahapan hukum evolusi akan selalu disibukkan dengan urusan sendiri, yang akan selalu berdampak positif. Keberhasilan yang telah dicapai merupakan amanat yang harus dikembangkan, kegagalan merupakan keberhasilan yang tertunda dan awal perbaikan untuk meneliti hal-hal yang kurang serasi.
Hari ini fakta berbicara bahwa manusia berpacu dengan waktu. Yang memperhatikan dan memanfaatkan waktu akan disambut dengan senyum riang dengan segala harapan. Siapa yang lalai akan terpenggal olehnya. Waktu yang luwes dan ramah itu bisa berubah menjadi kejam yang selalu memburu. Adapun hari esok penuh harapan. “Apakah kamu tidak berkelana di muka bumi dan bagaimana akibatnya orang-orang yang durhaka?”
Piala keberhasilan sebagai tanda penghargaan telah diinformasikan sebelumnya, bahwa setiap langkah kaki yang didorong oleh hati yang mengharapkan ridla Allah semata, akan disambut oleh piala hidup yang siap diterima dengan lipat ganda. Hidup bangsa ini akan dipenuhi oleh optimisme yang tinggi. Pembangunan bangsa tanpa agama adalah suatu perbuatan bunuh diri yang sia-sia. Apa artinya gedung tinggi menjulang didirikan jika penghuninya tidak mengenal Allah secara benar. Apa maknanya jalan halus mulus dibangun jika pemakainya tak kenal etika?
Tumbuhnya bangsa yang bersimbah harta tetapi menimbulkan malapetaka perlu dikaji secara mendasar sebab-sebabnya. Kiranya kita bangsa Indonesia perlu angkat topi setinggi-tingginya terhadap para pakar penyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang telah meletakkan dasar, bahwa hakekat pembangunan di Indonesia ialah membangun manusia Indonesia seutuhnya. Ciri khas pembangunan di Indonesia ialah pembangunan yang tidak hanya bernilai material saja, tetapi pembangunan yang selaras antara dunia dan agama, jasmani dan ruhani. Sehingga pembangunan gedung-gedung yang tinggi berjalan seiring dengan pembangunan penghuni-penghuninya.
Nabi Muhammad saw. lima belas abad yang silam telah mencanangkan acuan spiritual pada waktu beliau membangun fondasi pembangunan bangsa yang diabadikan dalam Kalamullah Quran Suci. Apa arti imbang antara kehidupan dunia dan akhirat. “Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan selamatkalah kami dari siksa neraka” (Al-Baqarah 2:201).
Quran Suci meletakkan satu dasar keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin. Tersedianya sarana dan prasarana kehidupan manusia secara material hendaknya selalu dipantau oleh kuasa ruhani agar terhindar dari api perselisihan, iri hati, dan dengki. Kondisi hidup yang selalu dibayangi oleh iri dan dengki ini ibarat api di dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat disulut membara, yang bisa menimbulkan bahaya terbakarnya perselisihan.
Jika pertumbuhan hidup lahiriyah selalu dikuasai oleh daya batiniyah yang tinggi, itulah makna kehidupan yang seimbang. Nafsu pengumpulan harta tanpa kontrol ruhani yang cermat, maka kehidupan semacam itu oleh Quran diberi ciri “huthamah”, yaitu “api yang menjilat-jilat di hati.” Ini bahaya yang meremukkan masa depan bangsa. Dia sendiri telah berada dalam kobaran api, sedang generasi yang menggantikannya menerima bom waktu yang nanti pada saatnya bisa meledak porak-poranda. Kaki kanan berdiri di atas puing-puing reruntuhan warisan yang diterima dari generasi sebelumnya sedang kaki kiri terbenam dalam bara api yang tak kunjung padam.
Namun demikian harapan-harapan masih mungkin apabila generasi yang menderita alang kepalang itu masih berkenan memperhatikan cahaya petunjuk Ilahi yang dinyalakan cahayanya pada Quran Suci. “Carilah olehmu apa-apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada kamu kehidupan akhirat, tetapi jangan lupa nasibmu di dunia” (Al-Qashash 28:78).
Konteks perintah Allah yang terpadu antara dunia dan akhirat telah menata pikir, bahwa tugas pokok hidup manusia itu ialah Kampung Akhirat. Ini tidak harus tunggu hidup kelak. Tetapi sejak sekarang kondisi hidup akhirat sudah dirintis, yaitu wujud hidup yang sungguh indah tak ada taranya. Di situ tidak ditemui rasa iri dengki, tak ada teror apalagi perang, yang ada hanya lomba menuju sempurna. Hidup kelak di akhirat yang sesungguhnya, yang seolah-olah tak berujung ini, sangat ditentukan oleh bentuk kehidupan di dalam dunia ini. Sebab itu tak boleh diabaikan, karena hidup yang hanya beberapa tahun ini akan mewarnai hidup akhirat yang tak berujung itu.
Keyakinan ini menjadi naluri religius, motivasi diri untuk fastabiiqul–khairaat, berpacu dalam kebaikan untuk berusaha dalam hukum proses evolusi: berhenti berarti mati, mundur hancur, maju terus pantang mundur. Setiap langkah yang ditempuh akan selalu meninggalkan jejak hidup yang tumbuh dan berbuah sesuai dengan langkah mana yang ditempuh. Setiap langkah yang keliru seberat debu sekalipun merupakan racun berbisa yang mematikan jiwanya, maka dibencinya dan berjuang sekuat-kuatnya agar tidak dekat-dekat dengan perkara itu.
Setiap pelanggaran yang dilakukan merupakan percikan api yang menyengat dirinya. Sebenarnya nyala api neraka itu panasnya telah dirasakan waktu hidup di dunia ini. Api yang dinyalakan sendiri, kelak ditempati sendiri, karena terasa tidak enak kemudian diingkari. Datanglah siksaan berikutnya bertubi-tubi akibat ingkari diri. Dilemparkan kesalahan sendiri kepada Ilahi Rabbi. Mengapa hidupku hanya sebentar di dunia yang salah ini dan harus menanggung siksa abadi?
Menurut konsep pemikiran Quran Suci, Allah itu Maha Pengasih Maha Penyayang, tidak pernah murka apalagi menyiksa. Istilah siksa itu hanya satu bentuk pernyataan akibat pendurhakaan manusia itu sendiri. Sehingga api neraka yang amat panas itu berfungsi sebagai ibu, fa ‘ummuhu haawiyah.
Komitmen Spiritual
Allah SWT. lewat FirmanNya mengingatkan bahwa dalam diri manusia tertanam rasa adanya hubungan yang erat antara manusia sebagai makluk dengan Allah sebagai Khaliq. “Dan tatkala Tuhan dikau melahirkan keturunan dari para putra Adam, dari punggung mereka , dan membuat persaksian atas diri mereka sendiri: Bukankah Aku Tuhan Kamu? Mereka berkata: Ya, kami menyaksikan.” (A1-A’raf 7:172).
Rasa ini perlu ditumbuhkan, sebab setiap manusia memegang kemudi bahtera yang mengarungi samudra hidup yang amat luas. Maka hendaknya ia selalu memperhatikan suara hati. Suara hati ini terus memberi petunjuk sampai ke pantai tujuan. Di saat bahtera hidup oleng dihantam gelombang cobaan, hampir-hampir kehilangan arah, justru suara hati ini semakin melengking jelas, alastu bi Rabbikum? qaaluu balaa syaahidnaa. Bukankah Aku ini Tuhan kamu? Mereka berkata: Ya! kami menyaksikan.
Ini menggugah adanya rasa kecenderungan dalam diri secara kodrati untuk selalu menghambakan diri kepada Allah sebagai Rabb-nya. Suara ini menjadi ekspresi ruh yang melahirkan sifat-sifat utama dan terpuji, sifat kasih sayang, pengampun, cerdas, bijaksana dan lapang dada. Sifat ini lebih populer disebut “mukmin yang soleh”. Profil semacam ini menjadi figur orang-orang di sekelilingnya. Bahasa-bahasa agama diterjemahkan dalam hidupnya yang akan dibaca oleh siapa saja yang melihatnya. Bicaranya menjadi burhan yang terang karena memang terjadi pada dirinya “satunya kata dengan perbuatan”. Dirinya ibarat matahari dalam satu tata surya.
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat ditentukan oleh ada atau tidaknya prototipe orang sebagai uswatun hasanah. Tampilnya keteladanan yang baik dalam pembangunan bukan sekedar “pucuk dicita ulam tiba,” tetapi melalui penataan, penanaman, dan penciptaan. Iklim umat yang mengamalkan agama dalam hidupnya sehari-hari.
Menciptakan kehidupan beragama tidak harus melalui metode klasikal, tetapi pemanfaatan waktu-waktu informal itu yang lebih efektif. Shalat berjamaah, ayah menjadi imam anak istri menjadi makmum, dzikir bersama bersalam-salaman, tercipta suasana ‘Idul Fitri’ layaknya. Waktu makan bersama dijadikan media subur untuk penaburan jiwa agama. Waktu-waktu yang lain cukup tersedia.
Dalam pemecahan masalah, keluarga dilibatkan secara aktif. Dengan cara yang sederhana tetapi praktis, mereka diajak menikmati kehidupan surga sekarang juga. Mereka tidak cukup diberi ceramah ilmiah tentang kehidupan surga dengan janji-janji kelak setelah mati , tetapi sekarang sudah terbiasa berada dalam suasana surga yang penuh damai.
Untuk menghapus rasa lapar dan dahaga orang tidak cukup diberi ceramah tentang makanan lezat dna minuman segar yang sedang terkunci di dalam almari kaca. Suatu tindakan yang arif, apabila mereka diajak bersama membuka almari itu, masing-masing dipersilakan mencicipi makanan dan meneguk minuman yang segar.
Demikianlah agama itu bukan sekedar perbuatan seremoni dogmatis tetapi agama ialah spiritual experiences. Orang beragama adalah orang perbuatan. Amal manusia di dunia ini akan mewarnai hidupnya di akhirat nanti.
Dasar Pembentukan Watak Bangsa
Tauhid, mengesakan Allah, adalah pondasi pokok yang paling mendasar dalam pembentukan watak bangsa. “Wa’budullaaha walaa tusyriku bihii syai-aa: dan mengabdilah kepada Allah, dan janganlah mempersekutukan Dia dengan sesuatu.” (An Nisaa’ 4:36). Karena itu tumbuhkan Tauhid, jauhkan Syirik.
Manusia itu tunggal, diciptakan oleh Yang Maha Tunggal, cenderung berwatak manunggal. Kewajiban manusia hanya berlaku seperti Juru Taman: menumbuhkan, menyirami, memupuk, menyiangi dan menyingkirkan tumbuh-tumbuhan pengganggu. Dari tangan-tangan trampil yang cekatan dan jeli Juru Taman itulah Tauhid akan tumbuh berkembang, berbunga, berbuah lebat dan lezat, bermanfaat bagi Juru Taman itu dan masyarakat luas.
Tumbuh dan berkembangnya wajar dan alamiah, sangat enggan bila dicampuri tangan manusia apalagi dipaksa. Tanda-tanda tumbuhnya sangat terasa pada tiap-tiap jiwa dengan seribu satu cara. Kadang-kadang ingin manunggal, selalu ingin bersatu, rukun kepada siapa saja. Jika terbentur pada suatu perbedaan bersikap toleransi yang berprinsip: setuju dalam berbeda.
Mengenal Benar Secara Benar
Benar itu bersumber dari Allah Yang Maha Esa, tidak mau dibelah. “A1-haqqu min rabbikum, Benar itu dari Allah Rabbmu.” Benar tidak perlu diperebutkan. Barang siapa berebut benar, ini hanya menunjukkan masing-masing berdiri pada ujung yang berbeda. Benar itu amat perkasa, indah dan menarik. Setiap orang sangat ingin memiliki.
Tanda-tanda kuasa Kebenaran pada diri manusia adalah timbulnya sifat-sifat berani menyatakan kebenaran, dan dirinya siap menjadi motor pendorong untuk membuat dirinya rela menyebarkan ajaran-ajaran Kebernaran. Pepatah mengatakan “Berani karena benar takut karena salah”. Dalam lubuk hatinya telah terukir, barangsiapa yang takut menyatakan kebenaran dan takut bicara benar, dirinya telah mengetuk pintu syirik yang sewaktu-waktu akan terbuka, dan dirinya siap menjadi penghuninya.
Sabar adalah bagian sifat utama yang sering disalah-mengertikan. Penampilan seseorang yang wajar dan bersahaja ditafsiri itu satu sifat lemah. Sabar itu sifat tabah, tangguh, yang berjuang sekuat-kuatnya agar dirinya selalu dalam posisi ridla Allah. Alam pikirannya wajar dan logis jauh dari unsur membuat-buat, karena sesuatu yang tidak dialami tak akan bertahan lama. Umpatan dan cacian disambut dengan do’a dan kasih sayang. Dia sadar bahwa orang yang mengumpat itu sedang kehilangan dirinya. Dia ibarat orang melempar bola pada tembok di depannya, semakin keras dia melempar, kembalinya bola pada dirinya semakin cepat dan keras.
Satu peristiwa waktu Rasulullah sedang asyik bersama sahabat-sahabat, beliau dimohon untuk mengajarkan ilmu Allah yang beliau terima, beliau berkata, “jangan marah”. Permohonan itu diulang tiga kali jawab beliau tetap, “jangan marah!” Orang yang marah ialah orang yang menderita, terperosok ke dalam lubang ‘syirik’. Dirinya sendiri menjadi in all and be all, menjadi segala-galanya. Dirinya menjadi manusia serba super, serba benar. Pikirannya tumpang tindih, kacau, irrational. Seandainya yang marah itu pemimpin bangsa, akan menyeret ribuan pasukan dengan segala perlengkapannya. Tak ayal lagi, mereka menjadi penyebab jatuhnya korban sia-sia.
Hubungan inter dan antar keluarga dan bangsa
Dalam Qur’an Suci, terdapat dasar etika pergaulan inter dan antar keluarga dan bangsa. “Dan mengabdilah kepada Allah, dan janganlah mempersekutukan sesuatu dengan Dia, dan berbuatlah baik kepada kepada orang tua, dan kerabat dan anak yatim, dan orang miskin, dan tetangga yang ada hubungannya, famili, dan kawan dalam bepergian, dan orang yang bepergian, dan apa yang dimiliki oleh tangan kanan kamu. Sesungguhnya Allah itu tak suka kepada orang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisaa’ 4:36).
Berbuat baik kepada Ibu Bapak adalah kriteria pertama untuk mengukur skala sikap dalam pengembangan selanjutnya. Jika berbuat baik kepada kedua orang tua, orang yang paling berjasa ini gagal, sulit kiranya untuk menginjak anak tangga berikutnya untuk berbuat baik secara tulus. Guru dan lingkungan yang menyusui ilmu dan mengangkat dirinya meningkatkan kualitas pribadi, dan menginjak jenjang yang lebih tinggi, tergolong yang harus dihormati. Berbuat takzim terhadap ibu bapak, guru, dan lingkungan termasuk dalam agenda kegiatan setiap hari.
Yatim dan orang-orang miskin dan orang-orang yang lemah mempunyai hak atas harta yang dititipkan sebagai amanat kepada orang kaya. Hak itu harus dibayarkan secara periodik oleh yang kuat kepada yang lemah. Kewajiban membayarkan hak orang lemah ini ada ditetapkan secara baku dalam kaidah hukum syariat, ada pula yang suka rela di luar itu. “Wa mimmaa razaqnaahum yunfiquun, dan yang membelanjakan sebagian dari apa yang Kami berikan kepada mereka.” (Al-Baqarah 2:3).
Orang yang membayar zakat bukan orang berbuat kelebihan, tetapi itu harta yang justru wajib dibayarkan. Sebab jika tidak, ia tergolong orang yang merampas hak orang-orang miskin dan lemah. Orang-orang yang miskin tentang ilmu Allah tetapi lemah iman perlu tercatat dalam daftar kegiatan, sebab lemah iman dan miskin ilmu Allah bahayanya lebih hebat dan akibatnya lebih fatal. Siapa yang memiliki ilmu Allah tetapi enggan untuk mendarmabaktikan diri, diancam oleh Allah dengan ancaman yang pedih, yaitu “maa ya’kuluuna fii buthuunihim ilannaar,” tak memasukkan di dalam perutnya kecuali api. Dan ancaman akibat keengganan tadi akan menjadi bumerang bagi dirinya. “Walaa yukallimullaahu yaumal-qiyaamah,” Allah tak mengajaknya bicara pada hari kiamat.
Mental agama menggugah satu kesadaran bahwa puncak kebahagiaan itu adalah Allah itu sendiri. Bagaimanapun indahnya mahluk tak akan seindah khaliqnya. Seberapa cinta kasih manusia belum mampu menyentuh ujung Maha Kasih Allah. Siksaan yang paling sedih ialah apabila manusia yang seharusnya mencintai dan mencari Allah sampai ketemu, tetapi malah tak mampu berdialog dengan Dia. Bagaimana pedihnya orang yang tidak diajak bicara dengan yang dicintai?
“Dan tolong-menolonglah dalam kebajikan dan kebaktian, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah itu keras sekali pembalas-Nya.” (Al-Maaidah 5:2).
Islam menumbuhkan jiwa individual yang sosial. Langkah yang pragmatis dan selektif, apakah perbuatannya menguntungkan perkembangan ruhnya atau sebaliknya. Barometer yang selalu bergerak menunjuk benar dan salah, baik dan buruk, telah terpasang secara kodrat dalam hati manusia. Namun demikian bekerjanya sangat tergantung kepada petunjuk Allah. Pertolongan yang akan diberikan kepada orang lain disaring lebih dahulu, apakah pertolongannya itu benar-benar bernilai pertolongan atau sebaliknya.
Perasaan iba seringkali menyesatkan, sebab itu perlu ketajaman hati. Pertolongan yang diberikan tidak semata-mata bernilai material tetapi lebih bertumpu kepada pertumbuhan ruh. Nabi Suci Muhammad saw. memberi keterangan tentang corak pertolongan itu, sebagai berikut: “Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya.” Semua jenis pertolongan yang mengandung unsur perkara Allah itulah pertolongan yang sebenarnya, hingga orang itu layak disebut anshaarullaah (penolong Allah). Jika tidak, perbuatan itu hanya perbuatan pura-pura yang sia-sia. Perampok pun dapat menolong sesama perampok, kawanan serigala dapat bersatu padu saling menolong satu sama lain.
Taat Kepada Pemerintah, Jangan memberontak
Islam meletakan tiga kerangka dasar pembangunan bangsa. Pertama, taat kepada kepada Allah sebagai tujuan hidup yang paling pokok. Kedua, taat kepada Utusan sebagai tauladan hidup yang paling baik. Ketiga, taat kepada pemerintah yang memegang kekuasaan di bumi. “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Utusan, dan kepada yang memegang kekuasaan di antara kamu. (An-Nisaa’ 4:59).
Allah dan Rasul sebagai kekuasaan yang tertinggi dan esensial dalam pembangunan watak yang luhur. Lalu pemerintah yang berkuasa di bumi, yang di bawah kuasanya sebagai pengayom benih-benih hidup beragama ditaburkan. Tanpa pengayoman dari pemerintah, benih-benih hidup beragama yang disemai tak akan tumbuh subur.
Sehubungan dengan ini, keluarga besar Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GAI) wajib bersyukur kepada Allah SWT, bahwa kehidupan beragama di negara Republik Indonesia tercinta yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 diberi kebebasan dan dijamin oleh peraturan pemerintah. Hal ini dapat dikaji dalam bunyi Undang-undang Dasar 1945 Bab XI Pasal ayat 1 dan 2, yakni negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya itu.
Kebebasan menjalankan agama ini lebih jelas kalau dirangkai dengan penjelasan pasal 29 ayat 2, “Kebebasan agama adalah merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu langsung bersumber pada martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Allah.” Sebagai konsekuensi logis tanggung jawab Pemerintah Republik Indonesia untuk melindungi dan menjamin kebebasan beragama telah diudangkan Undang-undang No. 8 tahun 1985, tentang Organisasi Kemasyarakatan yang berhak melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi, dan mempertahankan hak hidupnya sesuai dengan tujuan organisasi.
Kebebasan beragama di negara kita Republik Indonesia yang tercinta ini sangat singkron dengan ajaran Islam: laa ikraaha fid-diin, tak ada paksaan dalam agama. Quran Suci sebagai pedoman hidup umat Islam telah mengingatkan bahwa kita harus taat kepada Pemerintah dan jangan memberontak. Laporan ini dapat disimak dalam sabda-Nya yang berbunyi sebagai berikut: “Sesungguhnya Allah melarang berbuat keji, jahat, memberontak.” (An-Nahl 16:90). Bagi yang melanggar, Nabi Suci Muhammad saw. memperingatkan keras, “Barang siapa benci kepada pemerintah dari perkara agama maka hendaklah sabar, karena sesungguhnya barang siapa keluar dari taat kepada pemerintah, biarpun sejengkal lalu ia mati, maka ia mati sebagai jahiliyah.” (H.R. Bukhari).
Fakta dan Gejala
Di balik hidup yang nyata ini, tersimpan suatu misteri. Hanya dengan kuasa Allah semata misteri itu dapat diungkap. Ayat Qur’an yang berbunyi, “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan tanpa tujuan.” (Al-Qiyaamah 75:36), harus menjadi dasar motivasi. Manusia hendaknya rajin membalik-balik lembaran hatinya sendiri, membaca apa yang tertulis di situ. Sebagai orang beragama, apakah sudah mencintai dan mencari Allah? (Al-Insyiqaaq 84:6). Sejauh mana sublimasi hidup Rasul terhadap hidupku? (33:21). Seberapakah ayat-ayat Quran Suci mewarnai hatiku? (26:194).
Kiblat hidup manusia secara pelan dan pasti tergeser oleh era industrialisasi. Di negara-negara sekuler derap pembangunan mencapai sukses di bidang materi tetapi lengah di bidang ruhani. Sejak kanak-kanak telah terbiasa dibuai dengan kemewahan, santai di atas ayunan harta, akibatnya terlena oleh sanjungan hidup yang fana.
Sebagai bumbu uraian ini, kami kutip pendapat seorang ahli jiwa anak, Prof. Bruno Bettleheim, ahli jiwa pendidikan anak. Ia mencela pendidikan modern yang menipu anak didik, karena menampilkan hidup ini hanya semata kesenangan dan kegembiraan. Para pendidik modern termasuk penulis cerita anak modern tidak menceritakan hidup yang sebenarnya. Sementara, kematangan pribadi justru dicapai melalui silih bergantinya tawa dan air mata. (Dikutip dari MPA No. 37 bulan Oktober 1989, hal. 19).
Dapat dipetik satu pelajaran bahwa hidup bergaya mewah sudah terserang penyakit kejenuhan. Kondisi hidupnya monoton hanya menuruti ajakan nafsu rendah yang temporer dan tak mengenal renovasi mental.
Selanjutnya bagaimana keterangan seorang pakar jiwa, dr. H. Dadang Hawari, dalam kehidupan manusia modern itu? “Dapat juga kami sampaikan di sini bahwa dalam penelitian yang dilakukan di Amerika terhadap para eksekutif, menyebutkan bahwa 80% dari mereka menderita stres, dan menjadi salah satu penyebab ketidaharmonisan dalam hubungan suami istri, dan ditambah lagi bahwa pada umumnya mereka dari keluarga yang tidak mengamalkan kehidupan beragama.” (Dikutip dari MPA No. 37, 1989).
Hidup manusia berangsur-angsur dan pasti ditarik oleh proses evolusi yang sangat tergantung kepada hidup beragama. Keadaan hidup penghuni planet bumi akan dipaksa oleh keadaannya sendiri menerima agama sebagai dasar hidup. Pemukiman semakin sempit, bangunan berhimpit, sampai saatnya nanti membuang tinja manusia pun akan sulit.
Entah berapa udara yang tercemar obat-obat insektisida pembasmi hama ini masuk paru manusia. Asap hitam legam selalu mengepul dari cerobong pabrik. Di kota yang padat kendaraan bermotor udaranya akan tercemar dan dihirup oleh penghuninya. Air sulit untuk mengindari pencemaran limbah industri. Jika daging babi tu diharamkan karena bersifat hinziir (kotor), namun udara yang tercemar tadi apakah tidak bisa disebut kotor? Sekalipun mungkin sulit diidentifikasikan kepada hinziir.
Keadaan hidup semacam ini mau tak mau sangat membutuhkan pelaksanaan agama. Kalau tidak, bahayanya bisa melebihi bahaya bom nuklir.[]
Oleh: Musni Nur Ahmad
Sumber: Kumpulan Naskah Siraman Ruhani pada Muktamar GAI XII, 1989