Artikel

Agama Kong Hu Cu dalam Perspektif Islam

Riwayat Kong Hu Cu

Kong Hu Cu, hidup antara 551 – 479 SM, adalah salah satu Nabi Utusan Allah yang tak tersebut dalam Quran Suci. Namanya dalam bahasa latin ditulis Confucius (Konfusius). Beliau dilahirkan pada tahun 551 SM, di daerah Lu, yang sekarang dikenal sebagai propinsi Shantang di Timur Laut daratan Cina. Ayahnya bernama Syu Lang Heh, seorang prajurit yang meninggal tatkala beliau masih kanak-kanak. Beliau hidup dan dibesarkan oleh ibunya, Yen Cing Tsai.

Kong Hu Cu bercita-cita menjadi pegawai pemerintah. Kariernya dimulai sebagai pengawas gudang gandum di koa kelahirannya. Selang beberapa tahun kemudian beliau melepaskan pekerjannya untuk berkabung atas kematian ibunya pada tahun 528 SM.

Selama berduka dalam jangka waktu tiga tahun, beliau mengasingkan diri untuk belajar dan bermeditasi. Kadang-kadang beliau muncul di tengah-tengah masyarakat sebagai guru dan menarik perhatian banyak orang. Kemasyhurannya meningkat, namun belum memasuki kehidupan umum.

Pada tahun 501 SM beliau diangkat menjadi pegawai tinggi Kerajaan Chung Tu sebagai Hakim Ketua Kota Chung Tu dan segera dipromosikan sebagai Mentri Tenaga Kerja dan Kehakiman. Dengan demikian beliau mendapat kesempatan untuk mempraktekkan ajaran-ajarannya dan membangun negara dengan model administrasi yang tertib. Hasilnya, terciptalah perdamaian di seluruh negeri, karena penindasan dihilangkan dan keadilan ditegakkan. Pelanggarana susila dan kejahatan sosial di negerinya pun hampir-hampir lenyap. Hal ini mendatangkan kedengkian dan permusuhan dari pihak lain. Mereka berusaha keras untuk menggeser beliau.

Pada usia 50 tahun beliau menerima risalah Tuhan dan diangkat sebagai Nabi. Hal ini tersurat di dalam Kitab Suci Lun Gi,  “Thian, Tuhan Yang Maha Esa, telah menyalakan kebajikan dalam diriku” (Lun Gi VII:23); “Sudah  lama dunia ingkar dari Jalan Suci, kini Thian menjadikan Guru selaku Bok Tok (Genta Rohani)-Nya” (Lun Gi VII:24).

Karena itulah, pada tahun 497 SM beliau meletakkan jabatannya, kembali mengembara menyebar luaskan risalah Ilahi bersama sekelompok kecil muridnya.

Setelah belasan tahun mengembara, dalam usai 68 tahun beliau diizinkan untuk kembali ke tanah kelahirannya. Di sana beliau mengabiskan sisa umurnya untuk mengabdi kepada Thian dengan menyebar luaskan risalah yang diamanatkan kepadanya. Beliau wafat dengan tenang pada tahun 479 sM dalam usia 71 tahun.

Kong Hu Cu hidup pada zaman dinasti Ciu, yang disebut sebagai zaman Chun Chiu atau musim semi dan rontok (722 – 481 SM). Saat dimana dinasti Ciu melemah, terpecah belah menjadi ratusan kerajaan yang saling berperang. Atau di zaman Cian Kok, zaman perang antara tujuh kerajaan (481 – 221 SM), di bagian akhir masa dinasti Ciu.

 

Ajaran Kong Hu Cu

Agama Kong Hu Cu aslinya disebut Ji Kau (Ju Chiau), artinya agama bagi yang lembut hati, yang terbimbing, yang terpelajar. Berbeda dengan Confucianisme atau Ji Hak (Ju Chia), yaitu paham yang muncul dan berkembang dari buah pikiran dan gagasan pengikut Konfusius, yang mengandung filsafat budaya dan ilmu pengetahuan.

Menurut Prof. Dr. Lee T. Oei, mahaguru Filsafat dan Kebudayaan Timur Fordham University New York, USA, “Apakah Konfusianisme itu agama, filsafat ajaran atau tata susila, jawabannya cekak-aos: Semua. Tegrantung ditinjau dari sudut apa.” (Matakin, 1994:27).

Pokok keimanan agama Kong Hu Cu dinyatakan dalam ayat, “Firman Thian itulah dinamai Watak Sejati. Hidup mengikuti Watak Sejati itulah menempuh Jalan Suci. Dan bimbingan menempuh Jalan Suci itulah yang dinamai Agama” (Tiong Yong 4:1).

Rinciannya, umat Kong Hu Cu percaya akan “Delapan Pengakuan Iman (Pat Sing Cian Kwi), yaitu:

  • Sing Sien Hong Thian (Sepenuh Iman percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa)
  • Sing Cun Khoat Tik (Sepenuh Iman menjunjung Kebajikan);
  • ing Liep Bing Bing (Sepenuh Iman menegakkan Firman Gemilang);
  • Sing Ti Kwi Sien (Sepenuh Iman menyadari adanya nyawa dan roh);
  • Sing Haosy (Sepenuh Iman memupuk cita Berbakti);
  • Sing Sun Bok Tok (Sepenuh Iman mengikuti Genta Rohani Nabi Kong Hu Cu);
  • Sing Kiem Susi (Sepenuh Iman memuliakan Kitab Suci) dan
  • Sing Hing Tai Too (Sepenuh Iman menempuh Jalan Suci).

Atas dasar uraian di atas secara deskriptif Kong Hu Cu adalah agama, bahkan asli murninya agama samawi, karena antara lain:

  • Tuhan Yang Maha Esa, Dia disebut Thian (T’ien) yang muncul 18 kali daam kitab Sabda Suci. Dia adalah Maha besar, Maha tinggi (Si King 2:5.4.1), Maha mendengar, Maha melihat (Su King II.III:7), Maha gaib, Maha mulia (Si King II:I:IV), transender tapi juga imanen (Si King III:3; IV:I), senantiasa menyertai manusai (Si King IV:2; II:7), dan lain-lain.
  • Beriman kepada Bok Tok atau Genta Rohani (Tuhan Yang Maha Esa), para Nabi Utusan Allah dan Kitab Suci yang dibawanya: “Seorang susilawan, memuliakan tiga hal: Firman Thian, orang-orang besar (para orang-orang suci) dan memuliakan sabda para Nabi (Lun Gi XVI:8).
  • Beriman kepada nyawa dan roh yang tak terpisahkan dengan kehidupan di akhirat, yang dalam agama Kong Hu Cu diuraikan dalam bentuk sastra yang dikenal sebagai shan-shu (Kitab kebajikan), shico-shuo (cerita pendek) dan t’ushuo (cerita bergambar).
  • Ajaran tentang manusia dan masyarakat yang baik, kesimpulannya sebagai berikut:
    1. Manusia asalnya baik, karena manusia dikaruniai watak sejati yang terdiri dari lima unsur, yaitu: jen (kemanusiaan), ui (kelayakan), li (sopan santun), ch’i (kebijaksanaan) dan hsin (kesungguhan dan kepercayaan)
    2. Manusia mengemban tugas suci untuk menjaga, merawat, mengembang-kan, memuliakan, mengamalkan dan mewujudkan watak sejati yang berupa kebaikan itu dalam kehidupan kongkrit.
    3. Etika agama Kong Hu Cu secara garis besar terdiri dari: ngo siang (lima kebaikan), pat tik (delapan kebaikan) dan ngo lun (lima hubungan kemanusiaan). Ngo Siang (lima kebaikan) adalah watak sejati yang telah disebutkan di atas. Sedang Pat Tik (delapan kebaikan itu ialah: hau (laku batin, loyalities), tee (rendah hati, humility), tiong (Setia, faithfulness), sien (dapat dipercaya, trustworthiness), lee (susila, propurity of heart), dan thi (tahu malu, shame). Akhirnya ngolun (lima hubungan kemanusiaan), penguasa dengan bawahan/rakyat, ayah dengan anak, suami dengan istri, kakak dengan adik dan teman dengan teman. Dalam rangka menegakkan ngo lun melahirkan sepuluh kewajiban asasi manusia (KAM): penguasa bersifat cinta kasih, bawahan/rayat bersifat setia; orang tua bersifat kasih sayang, anak berlaku bakti, kakak berlaku baik hati, adik berlaku rendah hati, suami berlaku benar, istri mau mendengar; yang tua bermurah hati, yang muda mengikuti.
  • Ajaran tentang bermasyarakat dan bernegara:
    1. Negara harus berdasarkan watak sejati manusia itu. Penguasa tidak boleh tidak harus orang yang dapat memelihara watak sejati manusia dalam keadaan yang suci murni, keramahannya dengan demikian itu saja rakyat dapat memelihara kesucian watak sejatinya.
    2. Suatu hal yang mungkin, suatu negara yang patut dicontoh, disitulah damai meliputi rakyat yang bahagia, bila penguasa mendasarkan pemerintaan atas watak sejatinya, yakni Sing mereka, yang dalam keadaan yang suci murni akan bertindak seperti tindakan “Langit”.
    3. Bukan kecakapan dan kecerdikan yang terutama menjadikan seseorang patut menjadi pegawai pemerintah, melainkan keluhuran jiwanya, yakni kemurnian Sing-nya. Tanpa syarat ini mereka akan berbuat jahat dan keji.
  • Ajaran tentang alam semesta, agama Kong Hu Cu mengajarkan bahwa alam semesta merupakan bukti kemahakuasaan Thian, Tuhan Yang Maha Esa, yang hendaknya dimanfataakan untuk kesejahteraan manusia dalam menjalankan perintah Tuhan. Alam semesta bergerak menurut hukum yin yang (unsure negative dan positif) seperti diterangkan dalam Kitab Yak King (Kitab tentang Perubahan).

 

Sejarah Agama Kong Hu Cu

Agama Kong Hu Cu mempunyai sejarah yang sangat tua. Teks kitab sucinya yang tersurat dalam Kitab Suci yang lima (Ngo King) ada yang berasal dari zaman Giau, Sun I Agung, dan lain-lain, yang hidup sekitar 23 abad sebelum tarikh Masehi. Ada yang berasal dari zaman Sing Thong dan I Ien yang hidup sekitar abad ke 18 SM, atau zaman Ki Chiang (Bun Ong) dan Ki Tan (Ciu Kong) sekitar abad ke 12 SM, yaitu permulaan Dinasti Ciu (1122-225 sM).

Kong Hu Cu hampir-hampir dilupakan orang sebagai Genta Rohani Tuhan atau Nabi (Sing Jien), bahkan Nabi Agung (Ci Sing), sebagaimana beliau nyatakan: “Aku hanya meneruskan, tidak mencipta. Aku sangat menaruh kepercayaan dan suka kepada yang kuno itu” (Lun Gi VII:1).

Setelah Kong Hu Cu wafat, agamanya terus berkembang, dapat mengalahkan saingannya. Sekitar dua abad terakhir dari dinasti Ciu, terlibat dalam peperangan antar negara. Ini masa kekacauan politik, ketiadaan hukum dan pertumpahan darah. Penguasa kerajaan Ciu ditantang oleh beberapa pangeran feodal yang bahkan mengangkat dirinya dengan jabatan saja. Maka timbullah tujuh Negara besar yang terus menerus terlibat dalam peperangan satu sama lainnya. Dalam kondisi demikian timbullah kebebasan berfikir. Fenomenanya bangkit “Seratus Aliran” dalam filsafat dan agama yang sailng bersaing dengan agama Kong Hu Cu.

Pada saat itu muncullah Meng Tzu (Latin: Mencius 372-289 SM) dan Su Cu (Sun King atau Hsun Tao). Meng Tzu adalah Pahlawan ajaran Kong Hu Cu, dengan menitik beratkan masalah cara memerintah yang adil. Pendiriannya, pemerintahan yang baik tidaklah tergantung kepada kekuatan kekerasan, tetapi tergantung kepada keteladanan para penguasa, karena: “Jika seseorang yang memerintah memperlakukan rakyatnya sebagai rumput dan sampah, rakyat itupun berhak memperlakukan dia sebagai bandit dan musuh”. Alasannya, “rakyat memiliki kedudukan tinggi dalam Negara, roh bumi dan biji-bijian datang kemudian, dan penguasa ada perkara penghabisan”. (Bing Cu).

Di samping itu Meng Tzu juga menekankan atas kebaikan yang mendasar dalam fitrah manusia. Menurut dia manusia mewarisi empat sifat mulia: hati manusia (Jen), ketulusan (Yi), sopan santun (Li) dan kebijaksanaan (Chik). Manusia menjadi jahat, bukanlah kesalahan sifat-sifat dasarnya, tetapi karena akibat berhubungan dengan kehidupan yang kasar. “Seseorang kstaria” kata Meng Tzu, “Adalah seseorang yang tidak kehilangan hati nuraninya, seperti anak kecil telanjang bulat”.

Agama Kong Hu Cu (Ji Kan) mencapai zaman keemasan pada zaman Dinasti Hau (206 SM – 220 M), saat masa pemerintahan Kaisar Hau Bu Tee (140-87 sM). Tepatnya tahun 136 SM, agama Kong Hu Cu dijadikan agama negara, dan sejak saat itu dari satu dinasti ke dinasti yang lain sepanjang 2000 tahun lebih, kitab suci agama Kong Hu Cu dijadikan materi pokok ujian moral dan intelektual kerajaan. Tujuannya ialah untuk menghasilkan pegawai pemerintahan yang memiliki integritas pendidikan dan moral serta mengabdi kepada agama Kong Hu Cu.

Pengikut Kong Hu Cu lain yang muncul setelah Meng Tze adalah Hsun Tzu, seorang agnostic, maka dia tak percaya kepada Thian (Langit) sebagai Tuhan Yang Maha Esa; Thian adalah hukum alam, yakni hukum yang berlaku di alam semesta. Tentang fitrah manusia pada dasarnya ada jelek, maka manusia harus mencari kebajikan. Cara efisien untuk menemukan sifat dasar manusia yang jelek adalah Li (ritual) dan Yeo (musik).

Setelah bangkitnya kemerdekaan berfikir pada akhir zaman dinasti Ciu (1050-256 SM) dan awal berdirinya kekaisaran Chin (221-206 SM), Kaisar Shi Huang Ti mengeluarkan dekrit “pengendalian pemikiran” ketuhanan, sejarah –kecuai kerajaan Chin– filsafat, pengobatan dan pertanian. Akibat dari dekrit ini, maka sebagian besar buku-buku Kong Hu Cu dimusnahkan menjadi abu dan tidak kurang dari 460 ahli-ahli fikir yang dihukum mati.

Untuk mengokohkan kerajaannya Shi Huang Ti membangun Tembok Raksasa sepanjang 2430 kilometer, lebar dasarnya 8 meter dan tinggi 16 meter; pada jarak tertentu dibuat menara pengintaian. Kini Tembok Raksasa itu menjadi salah satu dari Sembilan keajaiban dunia.

 

Agama Kong Hu Cu di Indonesia

Keberadaan agama Kong Hu Cu di wilayah nusantara bersamaan dengan datangnya perantau atau pedagang-pedagang Cina sejak abad ke 3 Masehi. Tersiarnya agama Kong Hu Cu ditengarai berdirinya Bio atau kelenteng untuk melakukan ibadah kepada Thian dan penghormatan kepada leluhur. Untuk melengkapi Bio di lingkungannya didirikan Su Wan atau Taman Kitab. Ini bisa ditemukan di berbagai tempat, seperti Jakarta, Semarang, Lasem, Tuban, Makassar, Manado, dan lain-lain yang mempunyai sejarah berabad-abad.

Pada akhir abad ke 1 Masehi mulai ada upaya menerjemahkan Kitab Suci Konfusian ke dalam bahasa Melayu (Indonesia), misalnya: Terjemaan Kitab Thai Ha, Tiong Yong dan Su Su oleh Nyio Thun Ean di Ambon, terjemahan Hikayat Kong Hu Cu oleh Lie Kiem Hok di Jakarta, dan terjemahan Thai Hok dan Tiong Yong oleh Tan Ging Tiong di Sukabumi.

Kemudian untuk memurnikan peribadatan dan menghindari sinkretisme, serta membina kehidupan beragama umat Kong Hu Cu, pada abad ke 20 M didirikanlah berbagai lembaga keagamaan Khong Kauw Hwee atau Majelis-majelis Agama Kong Hu Cu, seperti di Solo, Semarang, Bandung, Bogor, dan lain-lain. Pada tahun 1923, Majelis –majelis ini menyelenggarakan konggres di Yogyakarta yang berhasil membentuk sebuah badan pusat yang dinamai Khong Kauw Cong Hwee atau Majelis Pusat Agama Kong Hu Cu, dan kota Bandung dipilih sebagai pusat.

Majelis ini tidak begitu aktif pada zaman pendudukan Jepang, baru bangkit kembali pasca taun 1950, dengan mengadakan konggres di Solo pada tanggal 1 April 1955 yang melahirkan lembaga baru dengan nama Perserikatan Khung Chiau Hui Indonesia, yang sejak tahun 1967 bergantian nama MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Kong Hu Cu Indonesia).

Tetapi, pada tahun 1973, Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC), Badan Koordinasi Intelejen Negara (BAKIN), menetapkan Kong Hu Cu bukan agama, hanya sebagai kepercayaan saja, karena dianggap tidak mengenal ajaran akhirat (after-life), serta tidak memiliki nabi dan kitab suci.

Tetapi di era reformasi, pada masa Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Kong Hu Cu diakui kembali sebagai agama. Hingga akhirnya, pada zaman Presiden Megawati ditetapkan sebagai agama resmi, dan diperlakukan sama dengan agama-agama lain seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha.

 

Sekte-sekte Agama Kong Hu Cu

Menurut Suma Chian dalam bukunya Su Ki (catatan sejarah), tatkala Kong Hu Cu wafat, murid Kong Hu Cu tercatat 3000 orang. Antara lain tersurat dalam bab 47 sebagai berikut, “Setelah wafat Kong Hu Cu, ketujuh puluh muridnya terpencar dan melakukan perjalanan ke berbagai negeri. Ada yang menjadi guru dan ada yang menjadi mentri raja muda. Ada yang menjadi kawan atau guru para pejabat, dan ada yang menyembunyikan diri serta tidak diketahui kabar selanjutnya”.

Di antara penganut beliau pada generasi kedua adalah Bing Cu (Bing Kho, Latinnya Mencius) dan Su Cu (Sun Khing Hsun Tsu). Bing Cu meluruskan dan memantapkan agama Kong Hu Cu (Ji Kau) sehingga digelari A Sing, Sang Penegak Ajaran Nabi, dan kitabnya, Su Si atau Kitab Yang Empat, menjadi kitab kanonik penutup agama Kong Hu Cu. Sedangkan Su Cu, meskipun besar pengaruhnya, karena dasar pemikirannya kontroversial tentang keimanan terhadap Thian sebagai pencipta alam semseta dan sumber kesadaran susila rohani manusia, dan anggapannya yang negatif tentang watak sejati manusia (Sing), maka kitabnya ditolak oleh agama Kong Hu Cu, tetapi tetap dianggap sebagai Konfusianis. Kaum legalis dari agama Kong Hu Cu berasal dari aliran ini.

Sejarah mencatat, pada zaman Sam Kok atau Tiga Kerajaan (221-265) sudah muncul adanya istilah Sam Kau (Tiga Agama) dan Kiu Liu (Sembilkan Aliran). Yang dimaksud dengan Sam Kau adalah Ji Kau (Agama Kong Hu Cu), Hut Lan/Sih Kau (Agama Buddha yang masuk ke Cina sekitar abad kedua Masehi dan Tao Kau (Agama Tao), sehingga bagi orang Cina mempunyai satu pepatah “tiga agama, tetapi satu agama” meski Kong Hu Cu bukan Buddha dan bukan pula Tao, dan sebaliknya.

Sedangkan yang dimaksud dengan Kiu Liu adalah aliran-aliran dalam agama Kong Hu Cu, yang adalah sebagai berikut:

  • Ji Ke yaitu berbagai sekte yang mengaku berpokok kepada ajaran Kong Hu Cu dalam perkembangannya dikenal sebagai Ji Hak atau Konfusianisme.
  • Tao Ke, yaitu sekte yang pahamnya bertumpu pada Loocu dan Congcu.
  • Im Yang Ke, yaitu sekte yang berpaham bahwa alam semesta ini di bahwa hukum yang bersifat Im Yang atau Negatif dan Posistif.
  • Hwat Ke, yaitu sekte yang berpaham legalis, bahwa masyarakat hanya dibereskan kalau diatur dengan hukum yang keras dan tegas.
  • Bing Ke, yaitu sekte yang menekankan memperbincangkan nama-nama.
  • Bik Ke, yaitu sekte yang pahamnya berpokok pada ajaran Bing Cu (Meng Tzu).
  • Cong Heng Ke, sekte yang pahamnya sangat mempengaruhi setia zaman Cia Kok (zaman peperangan tujuh negara) pada akhir dinasti Ciu, bersifat politis.
  • Cak Ke, yaitu sekte yang berasal dari berbagai kaum dan paham atau aliran.
  • Long Ke, yaitu sekte yang mengutamakan pertanian.

 

Kitab Suci Agama Kong Hu Cu

Kitab-kitab yang diimani oleh umat Konfusiani sebagai Kitab Suci, adalah Ngo King, Su Si dan Han King. Ngo King (Kitab Suci yang Lima) adalah kitab klasik yang terdiri dari lima Kitab, yaitu:

  • Si King (Kitab Sajak) berisi kumpulan sajak atau nyanyian yang bersifat lagu rakyat dari berbagai negeri yang disebut Kong Hong (adat istiadat berbagai negeri). Yang bersifat kritik yang disebut Siau Nge (pujian kecil); yang bersifat pujian bagi penguasa yang arif bijaksana disebut Tai Nge (pujian besar); yang berupa lagu puja disebut Siong untuk mengiringi berbagai upacara sembahyang. Kumpulan sajak yang paling tua berasal dari zaman dinasti Siang atau Ien (1766-1122 SM), dan yang termuda merupakan bagian terbesar dari zaman dinasti Ciu sekitar abad ke 6 SM.
  • Su King (Kitab Sejarah) berisi dokumentasi sejarah suci agama Kong Hu Cu terdiri atas dokumen sejarah suci dinasti kuno Cina yang meliputi suatu periode panjang antara abad ke 23 sampai abad ke 7 SM. Dokumen-dokumen itu disusun secara kronologis oleh Kong Hu Cu dan diberi pengantar.
  • Yak King (Kitab Wahyu tentang perubahan), isinya mengungkapkan kejadian, perubahan dan segala peristiwa tentang alam semesta. Teks pokoknya ditulis oleh Nabi Ki Chiang dan Ciu Kong yang hidup sekitar abad 12 sM dan syarah atau penjelasannya ditulis oleh Nabi Kong Hu Cu.
  • Lee King (Kitab Suci tentang susila dan peribadatan atau upacara-upacara) terdiri atas 3 kitab, yaitu: Gi Lee (kitab tata cara peribadatan), Ciu Lee (kitab kesusilaan dinasti Ciu) yang keduanya ditulis oleh Ciu Kong pada abad ke 12 sM, dan Lee Ki (catatan kesusilaan) yang merupakan catatan yang ditulis oleh murid dan penganut umat Kong Hu Cu.
  • Chun Chiu King (Kitab Sejarah zaman Chun Chin) yang ditulis sendiri oleh Kong Hu Cu disertai tiga tafsir dan aplikasinya yang masing-masing ditulis oleh Coo Khiu Bing salah seorang sahabat dan murid Kong Hu Cu, Kong Yong Koo dan Kok Liang Chik.

Su Si (Kitab yang Empat, The Four Books) adalah Kitab Suci yang menerangkan pokok ajaran agama Kong Hu Cu, yaitu:

  • Thai Hak (Ajaran Besar, The Great Learning) dibukukan oleh Cing Cu atau Cing Cham, salah seorang murid Kong Hu Cu, isinya memberi tuntunan membina diri dari yang terdalam diri sendiri sampai kepada hal rumah tangga, masyarakat, Negara dan dunia. Rinciannya tentang: (a) manifestasi dari sifat-sifat mulia, (b) Kasih sayang sesama manusia, (c) tetap teguh dalam kebajikan yang tertinggi. Delapan perkara etis politis yang mendorong perkembangan pribadi adalah: (i) penyelidikan, (ii) memperluas pengetahuan, (iii) ketulusan dalam fikiran, (iv) pensucian hati, (v) memperkaya pribadi, (vi) tata krama kekeluargaan, (vii) tata pemerintahan, dan (viii) jaminan perdamaian dunia.
  • Tiong Yong (Doktrin Jalan Tengah) ditulis oleh Khong Kiep/Cu Su, cucu Kong Hu Cu, berisi ajaran keimanan yang memberi tuntunan bagaimana beriman kepada Thian, Tuhan Yang Maha Esa sebagai Khaliqnya, memahami jati dirinya sebagai makhluk ciptaan Thian serta tanggung jawabnya sebagai pengemban Firman Tuhan dan bagaimana membangun watak dan sikap agar mampu bertindak tengah-tepat (Tiong) dan dalam pelaksanaannya dapat menciptakan suasana harmonis (Hoo). Ini adalah suatu cara bertindak yang mencegah seseorang menjadi ekstrim.
  • Lun Gi/Lun Yu (Sabda Suci) terdiri atas 20 jilid, merupakan kumpulan catatat murid atau cucu murid Kong Hu Cu, berisi sabda-sabda suci Kong Hu Cu, percakapan Kong Hu Cu dengan murid-muridnya atau dengan orang lain di zaman itu. Kitab yang disusun beberapa waktu setelah wafatnya Kong Hu Cu ini ada tiga versi; versi Lu, versi Sh’i dan versi Kuno. Ketiga versi ini tidak seluruhnya sejalan, baik dalam lingkup isi maupun susunan teksnya.
  • Bing Cu atau Mencius, kitab ini ditulis oleh murid Bing Cu dalam meluruskan dan menegakkan ajaran agama Kong Hu Cu dari penyimpangan akibat munculnya berbagai sekte atau aliran. Kitab ini terdiri dari tiga ceramah Bing Cu di depan pangeran-pangeran feodal, para menteri, para sahabat dan murid-muridnya.

Yang terakhir, Kitab Hau King (Kitab Bakti) ditulis oleh Cing Cu yang mencatat ajaran laku-bakti yang diterima dari gurunya, Kong Hu Cu. Beliau menjelaskan bahwa “tugas untuk berbakti adalah dasar dan sifat yang mulia serta sumber budaya”. Menurut beliau tugas laku bakti itu tidak hanya suatu kemuliaan dalam rumah tangga saja, melainkan juga memancarkan pengaruhnya ke segenap tingkah laku hidupnya, baik moral, politik maupun sosial. Konsep itu berasal dari ikatan kekeluargaan dan meluas kepada hubungan-hubungan lain, hingga akhirnya mencapai tingkat Jen yang berarti kasih sayang penuh manusia terhadap sesama umat manusia.

 

Nubuat Kong Hu Cu tentang kedatangan Nabi Suci Muhammad saw

Sebagai seorang Nabi Besar yang melaksanakan ajaran yang lebih tinggi dan sempurna yang akan datang sesudah Kong Hu Cu, dalam Su Si tertulis sebagai berikut:

“Maha besar Jalan Suci Nabi. Sangat luaslah dia, berlaksa wujud dikembangkan dan dipelihara, kemuliaannya meninggi langit. Alangkah besar peranan yang dijalankannya. Darinya tertetapkan tiga ratus macam tata susila dan tiga ribu macam alat lembaga. Hal ini menantikan orang kemudian yang dapat melaksanakannya” (Tiong Yong XXVI:1-5).

Keagungan dan sifat-sifat nabi yang akan datang itu dilukiskan oleh Kong Hu Cu sebagai berikut:

“Hanya Nabi yang sempurna dapat terang pendengarannya, jelas penglihatannya, cerdas dan bijaksana, maka cukuplah ia menjadi pemimpin. Keluasan hatinya, kemurahannya, keramah-tamahannya dan kelemah-lembutannya cukup untuk meliputi segala sesuatu. Semangat yang berkobar-kobar, keperkasaannya, kekerasan hatinya dan ketabahan ujiannya cukup untuk pekerjaan besar. Kejujurannya, kemuliaannya, keteguhannya dan kelurusannya cukup untuk mendapat hormat. Ketertibannya, kebenarannya, ketelitiannya dan kewaspadaannya cukup untuk membedakan segala sesuatu. Kebijaksanaannya tersebar luas, dalam, tenang dan mengalir tiada henti-hentinya, ibarat air keluar dari sumbernya”. (Tiong Yong XXX).

Karena itu terciptalah “Kebersamaan Agung” yang dilukiskan dalam kalimat nubuat sebagai berikut:

“Bila terselenggara Tao atau Jalan Suci Yang Agung itu, dunia di bawah langit ini akan di dalam kebersamaan. Dipilih orang yang bijak dan mampu, kata-katanya dapat dipercaya, apa yang dibangun-kerjakan berlangsung harmonis. Orang tidak hanya kepada orang tua sendiri hormat mengasihi sebagai orang tuanya; tidak hanya kepada anak sendiri saja menyayangi sebagai bapaknya. Disiapkan bagi yang tua damai tentram melewati hari tuanya sampai akhir hayat, bagi yang muda sehat mendapatkan kesempatan berpahala, dan bagi anak dan remaja mendapatkan pengasuhnya.

Kepada para janda, balu, yatim-piatu, yang sebatang kara dan yang sakit, semuanya mendapat perawatan. Yang pria mendapatkan pekerjaan yang tepat. Yang wanita memiliki rumah tangga tempatnya pulang. Barang-barang berharga tidak dibiarkan tercampak di tanah, tetapi juga tidak untuk disimpan bagi diri sendiri saja. Maka segala upaya yang mementingkan diri sendiri tertekan, dan dibiarkan berkembang; perampok, pencuri, pengacau dan pengkhianat menghentikan perbuatannya, maka pintu gerbang luar tidak perlu ditutup. Demikianlah yang dinamai Kebersamaan Agung (Tai Tong)” (Lee Ki VII I.2)

Ayat-ayat nubuat tersebut menjadi sempurna dengan diutusnya Nabi Suci Muhammad saw (570-632 M) dari Arabia, sebab:

  • Nabi Suci Muhammad saw adalah satu-satu Nabi yang mendakwahkan diri bahwa dirinya datang untuk menggenapi nubuat para Nabi terdahulu, sebagaimana diisyaratkan dalam Quran Suci 3:81-82. Kong Hu Cu menyebutnya, “Nabi, yang ini menantikan orang kemudian yang datang melaksanakannya”.
  • Karakteristik yang dilukiskan oleh Kanghucu terdapat pada diri Nabi Suci, misalnya:
    1. “Sangat luaslah dia, berlaksa wujud dikembangkan dan dipelihara meninggi langit” sesuai dengan lukisan beliau dalam Quran Suci (53:1-9).
    2. “Alangkah besar peranan yang dijalankannya…” mengisyaratkan keluhuran budi pekerti Nabi Suci saw sebagaimana dinyatakan dalam Quran Suci 68:4, maka beliau dijadikan contoh yang baik (33:21) dan satu-satunya Nabi yang menyatakan kepada dunia, “(Wahai manusia) jika kamu cinta kepada Allah ikutilah aku’ Allah akan mencintai kamu dan melindungi kamu dari dosa”. (3:31).
    3. Nabi yang sempurna dapat terang pendengarannya, cerdas dan bijaksana; maka cukuplah ia menjadi pemimpin tergenapi dengan terjadinya peristiwa Isra’ dan Mi’raj tatkala Nabi Suci menjadi imam salat, sedang para Nabi lainnya menjadi makmum dan ketika Mi’raj beliau bertatap muka secara langsung, karena kedekatan beliau”, seperti dua busur yang diikat menjadi satu atau lebih dekat lagi” 53:6-10).
    4. “Keluasan hatinya, kemurahannya….” juga terdapat dalam diri Nabi Suci sebagaimana direkam oleh sejarah
    5. “Semangat yang berkobar-kobar, keperkasannya…” cocok untuk Nabi Suci, sebagaimana dinyatakan dalam namanya “Muhammad” artinya “orang yang terpuji”. Keterpujian beliau direkam oleh sejarah secara lengkap. Bangsanya sendiri memberi gelar Al-Amîn artinya orang bisa dipercaya. Karena itu para malaikat pun memberi hormat dengan penghormatan yang layak (33:56).
    6. “Ketertiban, kebenarannya, ketelitiannya dan kewaspadaannya cukup untuk membedakan segala sesuatu,” menunjuk Nabi Suci, karena kedatangan beliau sebagai Al-Haq atau kebenaran (17:81) dan sebagai Al-Furqon atau pembeda (25:1).
    7. “Kebijaksanaannya tersebar luas, dalam, tenang dan mengaliir tiada henti-hentinya, ibarat air yang keluar dari sumbernya” lukisan ini cocok untuk Nabi Suci yang ditugaskan menjabarkan kebijaksanaan (62:2) demikian pula Quran Sucinya (17:39) dan ini terus berlangsung tanpa putus karena beliau Kâtamun-Nabiyyîn, Segel (Penutup) para Nabi (33:40), Nabi terbesar dan terakhir, karena tak akan datang Nabi lagi sesudah beliau, baik Nabi lama ataupun Nabi baru. Tapi nikmat karunia yang dahulu dialami dan dicapai oleh para Nabi terdahulu dapat dicapai oleh mereka karena ketaatan dan kepatuhannya kepada beliau.
  • Yang dimaksud “Jalan Suci yang Agung” yang mampu mewujudkan “kebersamaan Agung” adalah “Agama Islam” yang dibawa oleh Nabi Suci Muhammad saw, karena Islam mengajarkan bahwa manusia adalah umat yang satu (2:213), lalu terpecah menjadi berbagai suku dan bangsa (49:13) yang berbeda-beda bahasa dan warna kulitnya (30:22). Lalu pada tiap-tiap bangsa itu Allah tetapkan undang-undang (syir’ah) dan jalan (minhâj) (5:48) untuk hidup bersama di bumi yang satu dibawah satu atap langit (2:22), sebagaimana ditegaskan dalam ayat: “Jika Tuhan dikau menghendaki, niscaya Ia membuat umat manusia satu umat. Dan mereka tak henti-hentinya berselisih, kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhan dikau; dan untuk inilah Ia menciptakan mereka” (11:118-119). Selaras dengan ayat suci ini Nabi Suci bersabda bahwa “perbedaan di antara umatku adalah rahmat” (Al-Hadits). Umat Nabi Suci terdiri dari dua golongan, yaitu umat ijâbah, yakni umat Islam dan umat da’wah, yakni umat non-Islam; semuanya adalah “Keluarga Allah”. Maka dari itu lewat doktrin “ikhtilâfu ummatî rahmat,” sejatinya perbedaan pendapat adalah kawan berfikir, perbedaan akidah adalah kawan dialog dan perbedaan ibadah adalah kawan istabiqul-khairât atau berlomba dalam berbuat baik (5:48). Lewat cara inilah Kebersamaan Agung yang dinamis terwujud. Kini dunia bergerak ke arah itu.

 

Pandangan Islam Terhadap Agama Kong Hu Cu

Secara eksplisit Quran Suci dan Hadits Nabi tak menyatakan bahwa Kong Hu Cu adalah seorang Nabi Utusan Allah kepada bangsa Cina. Tetapi ini tak berarti bahwa beliau bukan Nabi Utusan Allah. Sebab Quran Suci telah menyatakan bahwa Allah telah membangkitkan para Utusan sebelum Nabi Suci, diantara mereka ada yang diceritakan dan sebagaian yang lain tak diceritakan kepada Nabi Suci (4:164; 40:78)

Di samping itu banyak pula ayat yang menyatakan bahwa pada tia-tiap umat (bangsa) telah dibangkitkan seorang Utusan (10:47; 16:36) atau Nadzir (35:24). Para Nabi itu seorang lelaki yang dikaruniai wahyu Ilahi (21:7, 27) yang berisi hukum syariat dan jalan yang terang (5:48), tata cara ibadat (22:67). kitab suci, hukum dan nubuat (6:90) kedatangan “Seorang Rasul yang akan membenarkan mereka (3:81) yang disampaikan oleh Malaikat Jibril (42:51) dalam bahasa kaumnya masing-masing (14:4). Inti ajaran mereka adalah Tauhid dan mengabdi kepada-Nya (21:25) serta menjauhi perbuatan jahat dan berbuat baik kepada sesama (16:36).

Penerima wahyu itu disebut pula Hadi (13:7) artinya penujuk jalan, selaras dengan kata Tao artinya Jalan Suci, yakni Jalan yang menunjukkan manusia untuk mencapai kebahagiaan universal, sebagaimana telah diwasiatkan Ilahi kepada Adam pada 4000 tahun sebelum Masehi (2:38-39).

Jika demikian Kong Hu Cu adalah Utusan Allah yang tak diceritakan dalam Quran Suci. Tetapi kalau kita melaksanakan perintah Ilahi agar berpesiar ke muka bumi (16:36), misalnya pergi ke “Daratan Cina” dengan menjelajahi halaman demi halaman dalam Kitab Suci agama Kong Hu Cu, akan melihat dengan mata kepala sendiri akan kebenaran pendapat bahwa Kong Hu Cu adalah salah seorang Nabi Utusan Allah kepada bangsa Cina, karena syarat-syarat kenabian menurut Quran Suci dapat dikenakan kepada diri beliau.

Sebagai agama, Kong Hu Cu asli murinya adalah juga agama samawi. Fungsinya membenarkan dan menggenapi agama yang sebelumnya telah diwahyukan kepada bangsa Cina semenjak abad ke 23 SM yang telah tenggelam kepada kemusyrikan, meski di kalangan mereka telah hadir belasan Sing Yen (orang sempurna), yaitu orang yang menurut kodratnya mempunyai pengetahuan yang tinggi dan ketulusannya sempurna, sebagaimana Isa Almasih yang berfungsi membenarkan dan menggenapi agama sebelumnya yang telah dinyatakan dalam Taurat Musa dan para Nabi Israel lainnya (61:6; bdk Mat 5:17-19).

Ulfat Azizus-Samad dalam bukunya “Agama-agama Besar Dunia”, menyatakan bahwa pada tahun 59 M, suatu awal pemujaan terhadap Kong Hu Cu, dimulai ketika Kaisar Ming dari dinasti Han, yang belakangan memerintahkan untuk beribadah kepada Kong Hu Cu, tadinya ditetapkan di Kelenteng Lu, kemudian ke segenap pemerintaan di kota-kota. Ini jelas menegakkan Kong Hu Cu sebagai “dewa pendidik.” Lebih lanjut dijelaskan:

“Setelah hancurnya dinasti Han, datanglah masa panjang dari kekacauan moral dan politik di Cina, dimana ajaran Kong Hu Cu seolah-olah kehilangan pegangan di antara para terpelajar. Kebanyakan dari mereka lari ke agama Tao dan agama Budha untuk mencari ilham. Tetapi usaha untuk melipatgandakan penuhanan kepada Kong Hu Cu semakin menjadi-jadi di kalangan pengikutnya dan saingannya. Pada tahun 178 M, patung Kong Hu Cu digunakan untuk pertama kalinya di Kelentang sebagai ganti dari ayat-ayat Kitab Suci. Selanjuntya hal ini diikuti dengan pembuatan patung-patung kayunya pada tahun 505 M. Pada tahun yang sama Kelentang yang pertama untuk menghormati Kong Hu Cu dibangun di kota Nan king. Ketika Cina dipersatukan kembali oleh Dinasti Tang pada abad ketujuh, pemujaan terhadap Kong Hu Cu benar-benar berdiri tegak” (Agama-Agama Besar Dunia, Darul Kutubil Islamiyah, 2002:137-138).

Kondisi yang diriwayatkan oleh Ulfat Azizus-Samad di atas tak jauh beda dengan yang dilukiskan dalam Quran Suci, “Kebobrokan telah timbul di daratan dan lautan karena usaha tangan manusia, agar Ia membuat mereka merasakan sebagian dari apa yang mereka lakukan, sehingga mereka mau kembali. Katakan: Berkelilinglah di bumi, lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang zaman dahulu! Mereka kebanyakan musyrik” (30:41-42). Yang dimaksud “daratan” adalah bangsa-bangsa yang belum pernah kedatangan Nabi Utusan Allah, seperti bangsa Arab; sedang yang dimaksud “lautan” adalah bangsa yang telah kedatangan Nabi Utusan Allah, seperti bangsa Israel, Persia, Arya dan Cina.

Menurut ayat suci tersebut kebanyakan umat agama dari bangsa-bangsa tersebut telah jatuh ke lembah kemusyrikan. Hal ini bisa terjadi karena agama-agama itu penjagaannya dipercayakan kepada para ulama dan pendeta seperti yang diperagakan oleh kaum Yahudi dan Kristen (5:44). Karena agama itu sumbernya Wahyu Ilahi, maka untuk menyucikan kembali agama-agama itu, Allah menurunkan Wahyu kepada Nabi Suci Muhammad saw yang keasli-murnian Wahyunya dilindungi oleh Allah Ta’ala sendiri (15:9; 41:41-42; 56:77-79; 85:21-22).

Oleh karena adanya perlindungan itu, maqam atau kedudukan mulia sebagai Chun Tzu atau pribadi ideal yang dahulu telah dilimpahkan kepada umat terdahulu di daratan Cina, kini dapat dicapai kembali lewat Quran Suci dan teladan Nabi Suci Muhammad saw.

Quran Suci dibuka dengan Surat Alfatihah yang di dalamnya terdapat tuntunan agar manusia memanjatkan doa “Pimpinlah kami ke jalan yang benar, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang mendapat murka dan bukan orang-orang yang tersesat” (1:5-7). Terkabulnya seseorang mencapai maqam sebagai nabi, shidiq, syuhda’ dan shalihin” (4:69) asal “jika kamu benar-benar cinta kepada Allah” yang manifestasinya adalah “ikutilah aku (Muhammad saw); Allah akan melindungi kamu dari dosa. Dan Allah itu Yang Maha-Pengampun, Yang Maha-penyayang” (3:31).

Jika umat Konfrusianis mengikuti Muhammad saw., ia tak akan kehilangan Kong Hu Cu, karena beliau tetap diimani. Tetapi jika mereka menolak dan mendustakan Nabi Suci Muhammad saw., sejatinya mereka menolak dan mendustakan Kong Hu Cu dan Kitab Sucinya, sebab kedatangan Nabi Suci Muhammad saw telah dinubuatkan oleh Kong Hu Cu dan termaktub dalam Kitab Sucinya (3:81-82).

 

Persamaan Kong Hu Cu dengan Nabi Suci Muhammad saw.

Quran Suci adalah Kitab Suci “yang di dalamnya terdapat kitab-kitab yang benar” (98:3), karena Allah telah mewahyukannya kepada Nabi Muhammad saw., seperti yang telah diwahyukan kepada Nuh dan para Nabi sesudahnya – termasuk Kong Hu Cu (4:163). Karena itu, pasti ada persamaan antara Nabi Muhammad saw. dengan para nabi sebelumnya, termasuk dengan Kong Hu Cu.

Berikut ini adalah beberapa persamaan antara ajaran Kong Hu Cu dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.:

  • Kong Hu Cu mengajarkan: “Hidup mengikuti Watak Sejati (Fithrah) itulah dinamai menempuh Jalan Suci. Bimbingan menempuh Jalan Suci itulah dinamai Agama (Din)” (Tiong Yong U:1). Kepada Cing Cu atau Cing Chan beliau bersabda, “Cham, ketahuilah Jalan Suciku itu satu, tetapi menembusi semuanya” Apa maksudnya? Cing Cu menjelaskan, “Jalan Guru tidak lebih dan tidak kurang, ialah Tiong (Satya) dan Kasih/teposeliro” (Lun Gi IV:15). Quran Suci menyatakan, bahwa Islam adalah din (agama) alam semesta (3:83) dan agama semua Rasul adalah agama yang tunggal (21:92; 23:52). Nabi Suci bersabda: “Para Nabi adalah satu ayah dari ibu yang berbeda-beda dan agama mereka adalah satu” (HR Bukhari).
  • Tentang insan kamil atau pribadi ideal (Chun Tzu), menurut Kong Hu Cu adalah orang yang “lestari menyukai kebajikan dan menggenapi Firman sampai akhir hayat” (Lun Gi VII:6). Menurut Islam, insan kamil itu orang yang mampu memperagakan Firman Tuhan, baik yang tersurat dalam Kitab Suci maupun yang tersirat di alam semesta (91:1-15).
  • Tentang sifat seorang susilawan atau shidiq dan cara mencapainya. Kong Hu Cu mengajarkan, “Seorang susilawan memuliakan tiga hal: memuliakan Firman Thian (Tuhan YME), memuliakan orang-orang besar (para suci) dan memuliakan sabda para Nabi” (Lun Gi XVI:8). Lagi, “Yang tidak mengenal Firman Thian, ia tidak dapat menjadi seorang susilawan. Yang tidak mengenal Lee (Kewajiban susila), ia tidak teguh pendirian. Dan yang tidak mengenal perkataan, ia tidak dapat mengenal manusia” (Lun Gi Xx:3). “Bersikap keraslah kepada diri sendiri, dan bersikap lemah kepada orang lain” (Lun Gi XV:15). Quran Suci menganjurkan orang-orang beriman agar bertakwa kepada Allah dan bersama orang-orang shidiq (9;118). Caranya menaati Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan menyertai orang-orang yang dikaruniai nikmat, yaitu para nabi, orang-orang tulus, orang-orang setia dan orang-orang lurus (4:69). Seseorang harus melakukan jihad akbar, yakni jihad melawan dirinya sendiri.
  • Menempuh jalan tengah. Kong Hu Cu mengajarkan, “Hati manusia sesungguhnya senantiasa dalam rawan, agar hati di dalam jalan suci itu sungguh misteri. Selalulah kepada Yang Saripati itu, Yang Esa itu, kokoh teguh peganglah tiang, yang tengah tepat” (Su King II, II, II:15). Quran Suci membimbing agar manusia memanjatkan doa agar dipimpin ke jalan yang benar, yakni jalan tengah, bukan ekstrem kanan yang mengundang murka Tuhan dan bukan pula yang ekstrem kiri yang menyesatkan (1:5-7). Oleh karena itu “Allah menjadikan kamu sebagai umat yang tengah agar menjadi saksi atas manusia dan Rasul menjadi saksi atas kamu” (2:143).[]

 

Oleh : KH Simon Ali Yasir | Sumber: Naskah Buku Ensiklopedia Ahmadiyah

Yuk Bagikan Artikel Ini!

Comment here