Berita kematian Nabi saw. didengar para sahabat bagai halilintar di siang terik. Para sahabat tampak sukar menerima kenyataan bahwa Nabi yang mereka cintai, yang telah membawa perubahan begitu besar dalam kehidupan mereka, tiba-tiba meninggalkan mereka untuk selama-lamanya.
Bahkan seorang sahabat yang terkenal sangat rasional, Umar Ibnul-Khaththab, tiba-tiba seperti kehilangan akal. Ia tak bisa percaya bahwa Nabi telah wafat. “Tidak, itu cuma isu orang-orang munafik,” ujarnya dengan berang. “Demi Tuhan! Nabi tidak mati. Ia hanya pergi kepada Tuhannya seperti dulu. Ia pasti kembali. Sungguh celaka orang yang menyangka Rasul mati. Aku tak mau mendengar ocehan bahwa Rasul mati. Kecuali kalau dia ingin pedangku menebas kepalanya!”
Kesehatan Nabi Muhammad saw. memang sudah agak terganggu sejak beberapa hari sebelum ajalnya tiba. Sampai-sampai beliau tidak bisa ke luar kamar untuk memimpin sembahyang Jama’ah, dan meminta Abu Bakar mengimami shalat di masjid.
Dalam keadaan panik yang mencekam itu, Abu Bakar muncul. Sebenarnya ia baru saja bertemu dan omong-omong dengan Nabi di pembaringan beliau. Tapi ia tidak melihat tanda-tanda keadaan Nabi yang sebenarnya sangat kritis. Karena itu ia pamit pulang di pinggiran kota Madinah. Tak lama ia tiba di rumah, eh, datang berita Nabi telah wafat. Inna lillaahi wa inna ilaihi rooji’uun.
Segera ia bergegas ke Masjid Nabawi. Begitu tiba, tanpa berkata apa-apa ia langsung menuju kamar petak, tempat jenazah Nabi terbaring, persis hanya dengan melangkahi satu bendul pintu masjid. Itulah kamar Aisyah, istri Nabi, yang adalah putri Abu Bakar sendiri.
Di situ ia singkapkan kain penutup wajah Nabi. Ia cium keningnya, seraya berkata, “Alangkah harum wajah ini ketika masih hidup, dan tetap harum walau sudah meninggal.” Lalu wajah itu ia tutup kembali.
Tak terbayangkan, betapa pilu hatinya, betapa tangis di matanya. Namun, sebagai sahabat Nabi yang paling senior, ia tidak boleh ikut hanyut dalam kesedihan dan kebingungan. Karena itu ia segera keluar menemui para sahabat yang sedang dicekam suasana pilu.
Semua mata memandang kepadanya. Lalu dengan penuh wibawa ia berkata, “Saudara-saudara. Barangsiapa menyembah Muhammad, ketahuilah, kini ia sudah wafat. Tapi barangsiapa menyembah Allah, maka Ia tetap hidup dan tak mati!”
Dua kalimat yang cuma ia ucapkan. Tapi sangat mengena, sangat menyentuh kesadaran agama mereka. Mereka terdiam, seolah menunggu petunjuk mengenai apa yang harus dilakukan. Tapi Abu Bakar tidak mengatakan apa-apa, kecuali membacakan ayat al-Qur’an, “Muhammad hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu banyak rasul sebelum dia. Jika ia mati atau terbunuh, akankah kalian berbalik pungguh? Barangsiapa berbalik punggung, ia tak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah memberi balasan kebaikan kepada mereka yang bersyukur.”
Peristiwa di atas memperlihatkan siapa Abu Bakar. Orang yang tidak mudah kehilangan akal dan hanyut di bawah perasaan. Orang yang mampu menguasai diri dan mengendalikan situasi yang sangat kritis, sehingga orang-orang lain kembali kepada pikiran yang jernih.
Balai pertemuan Bani Sa’adah
Sepeninggal Nabi saw., timbul masalah baru yang lebih serius. Persoalan yang mengancam kesatuan umat Islam yang selama ini telah dibina Nabi saw. Ketika keluarga Nabi dan para sahabat tengah sibuk mengurus jenazah Nabi saw., beberapa orang tokoh Anshar berkumpul di Balai Pertemuan (saqifah) Bani Sa’idah. Mereka membicarakan soal suksesi, gerangan siapa yang lebih berhak menggantikan Nabi.
Sebagai penduduk pribumi Madinah, wajar kalau di antara mereka ada yang berpendapat bahwa pemimpin sesudah Nabi mestinya diangkat dari kalangan Anshar. Dan mereka mencalonkan Sa’d bin Ubadah.
Abu Bakar waktu itu termasuk yang sedang berada di rumah Nabi. Umar-lah yang datang menemuinya, memberitahunya soal orang-orang Anshar itu, dan mengajaknya bersegera ke Saqifah Bani Sa’idah. Abu Bakar berkeberatan, karena ingin ikut mengurus jenazah Nabi. Tapi Umar menganjurkan untuk menyerahkannya kepada Ali, sepupu sekaligus menantu Nabi, sebab perkara yang dibicarakan orang-orang Anshar itu dianggap gawat.
Maka terjadilah dialog yang hangat antara pihak Abu Bakar dan Umar dengan tokoh-tokoh Anshar. Abu Bakar mengusulkan agar Umar atau Abu Ubaidah yang dipilih sebagai pengganti Nabi. Tapi Abu Ubaidah menolaknya sembari menutup muka, karena merasa pantas mengemban tugas yang berat itu.
Sementara itu, dengan tangan bergetar, Umar berkata, “Demi Allah. Aku lebih suka diseret ke panggung lalu dipancung, meski tak salah apapun, daripada disuruh memimpin umat, selagi masih ada Abu Bakar.”
Rupanya pengaruh kata-kata Umar ini besar juga. Siapapun tak bisa membantah, Abu Bakarlah sahabat Nabi yang paling akrab dengan beliau. Ia paling senior. Ia termasuk orang yang paling awal menerima dakwah Nabi. Dialah satu-satunya sahabat yang diajak Nabi menemani beliau ketika hijrah dari Mekah ke Madinah.
Dan terakhir, ketika Nabi sakit menjelang ajal, Abu Bakar pula yang diminta untuk menggantikan Nabi menjadi imam shalat. Karena itulah, akhirnya mereka sepakat memilih Abu Bakar sebagai pengganti (khalifah) Rasul. Dan umat Islam terhindar dari fitnah perpecahan.
Wafatnya Nabi telah menyebabkan timbulnya kekhawatiran di kalangan sahabat tentang adanya ancaman dari luar. Sebagian umat bahkan akan segera membangkang terhadap kekuasaan pusat di Madinah. Kalau bukan karena figur Abu Bakar, sukar dibayangkan parahnya keadaan sepeninggal Nabi saw.
Ibnu Mas’ud, salah seorang sahabat Nabi yang terkenal, di belakang hari memberikan kesaksian atas peranan Abu Bakar itu. “Setelah Rasulullah wafat, sungguh kami berada dalam keadaan yang nyaris binasa. Kalau saja tiada pertolongan Tuhan kepada kami dengan kehadiran Abu Bakar,” ujarnya.
Ekspedisi Usamah
Beberapa hari menjelang wafat, Nabi telah memerintahkan Usamah memimpin sebuah ekspedisi tentara ke Syam. Umar menyarankan agar ekspedisi itu dibatalkan, atau setidaknya ditunda. Mengingat situasi kritis yang terjadi. Demikian pula para sahabat. Para sahabat masih berusaha meyakinkan, bahwa kepergian ekspedisi itu akan mengurangi kekuatan Madinah. Dan mereka menyarankan agar kekuatan di Madinah tetap dijaga utuh.
Abu Bakar bisa memahami kegelisahan para sahabat itu. Tapi ia punya pendapat sendiri. Sebagai orang yang diberi kepercayaan menggantikan Nabi, ia tidak ingin memulai kepemimpinannya dengan membatalkan keputusan Nabi saw. “Teruskan ekspedisi Usamah,” perintahnya. “Demi Allah, meskipun akan diterkam serigala, aku akan tetap melaksanakan rencana yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw.”
Keputusan Abu Bakar meneruskan ekspedisi itu bukan tanpa perhitungan. Dalam fikirannya, pembatalah ekspedisi itu justru bisa memberi kesan kepada pihak luar bahwa meninggalnya Rasulullah telah menimbulkan persoalan di kalangan umat. Hal ini, dalam perkiraannya, bisa mengundang serangan musuh.
Aksi para pembangkang
Abu Bakar sangat menyadari tugas utamanya sebagai khalifah. Demi tugas itu pula, tokoh yang terkenal lembut dan hampir tak pernah bisa menahan tangis bila membaca Qur’an ini, tak segan-segan bertindak tegas.
Berita wafatnya Rasulullah saw. segera tersiar ke seluruh wilayah. Beberapa suku berpikir punya kesempatan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Madinah. Mereka menolak menyetorkan zakat ke pusat. Abu Bakar menganggap sikap ini sangat berbahaya. Ia pun lantas mengajak para sahabat untuk berunding soal ini.
Sebagian sahabat, termasuk Umar bin Khaththab, berpendapat tidak perlu diambil tindakan keras kepada para pembangkang itu. Sebaliknya mereka perlu dibujuk dan diberi peringatan terlebih dulu. “Bagaimana engkau akan memerangi kaum yang masih meyakini bahwa tak ada Tuhan kecuali Allah? Padahal Rasulullah telah mengatakan, siapapun yang mengikrarkannya akan terpelihara darah dan hartanya?” demikian tanya Umar.
Tapi sebagian sahabat lain, termasuk Abu Bakar sendiri, berpendapat bahwa mereka harus segera ditindak. Dan tindakan yang lembut akan mereka anggap sebagai kelemahan pusat. Anggapan itu bisa menjalar ke suku-suku lain.
Setelah mendengar alasan kedua pihak, Abu Bakar memutuskan mengirim pasukan. Ia lantas berseru, “Demi Allah. Andaikata mereka menghalangi aku mengambil hanya tali mengikat unta yang dahulu mereka setorkan kepada Rasulullah, mereka akan kuperangi!”
Pemerintahan terbuka
Terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah ternyata sangat tepat. Ia figur yang sanggup memelihara keutuhan umat. Pikirannya jernih, sikapnya lembut, namun tegas.
Untuk membangun pemerintahan yang berwibawa, Abu Bakar telah menunjukkan garis politiknya. Dalam pidato pelantikannya selaku khalifah, pertama-tama ia mengingatkan bahwa pengangkatannya bukan atas keinginannya sendiri. Ia dipilih atas keinginannya sendiri. Ia dipilih atas dasar kesepakatan.
“Aku diserahi mandat untuk memimpin kalian, sedangkan aku bukan orang yang terbaik di antara kalian,” demikian ia memulai pidatonya sesaat setelah terpilih menjadi Khalifah.
Kedua, dalam pidatonya itu Abu Bakar menekankan bahwa kekhalifahannya bersifat terbuka. Bahkan ia mengundang umat untuk memberikan kritik. “Kalau aku bertindak benar, dukunglah aku. Sebaliknya, bila aku bertindak keliru, luruskanlah.”
Ketiga, ia menekankan pentingnya pemerintahan yang bersih. Ia berkata, “Kejujuran adalah amanat, sedangkan kecurangan adalah khianat.”
Aspek lain yang penting dicatat dalam pidato itu adalah komitmennya terhadap kaum dhu’afa, rakyat kecil yang sering diberlakukan tidak adil. Dengan tegas ia menyatakan, “Orang-orang yang lemah adalah kuat dalam pandanganku, sehingga aku akan mengembalikan hak-hak mereka. Orang-orang yang kuat adalah lemah dalam pandanganku, sehingga merebut kembali hak-hak orang yang mereka ambil.”
Khalifah Abu Bakar menekankan prinsip rule of law. Abu Bakar menggelari dirinya sebagai Khalifatur-Rasul, artinya Pengganti Rasul. Dan sebutan itu pas untuknya. Memang ia tidak sempat melakukan tindakan-tindakan besar. Masa pemerintahannya sangat singkat, hanya dua setengah tahun. Tetapi ia telah berperan sebagai lambang penyelamat umat. Dan umat yang diselamatkan itu adalah generasi pertama Islam.[]
Penulis : Drs. Djohan Effendi
Sumber : Media Komunikasi Warga GAI No. 09 Tahun 1991 hlm 22-26.
Comment here