Tertarik membaca tulisan M. Shiddiq Al-Jawi berjudul Absurditas Penolakan Fatwa MUI (Kamis, 11 Agustus 2005) mendorong saya untuk memberikan tanggapan.
Dalam tulisannnya itu, M. Shiddiq Al-Jawi antara lain menyatakan, “Jika fatwa itu salah, tunjukkan ayat atau pun hadits yang berlawanan secara frontal dengan fatwa MUI itu. Kalau bisa, tunjukkan ayat atau pun hadits yang membenarkan ada nabi lagi setelah Muhammad saw. agar fatwa itu batal demi hukum.”
Ayat Qur’an yang berlawanan secara frontal dengan fatwa MUI jelas ada. Tetapi oleh karena sebagian ulama Islam berpendapat ada ayat-ayat Qur’an yang dihapus melalui teori nasikh-mansukh, maka jika pun ada orang yang bisa menunjukkan ayat-ayat seperti yang dimaksud oleh M. Shiddiq Al-Jawi, sangat boleh jadi MUI akan mengatakan bahwa ayat tersebut telah dihapus dan tidak berlaku lagi.
Demikian juga Hadits, boleh jadi juga akan diragukan kemutawatiran atau kesahihannya, baik dari segi matan maupun sanadnya. Lebih-lebih jika fatwa tersebut dianggap sebagai ijma’ ulama sedunia, tidak mustahil akan dianggap memiliki kekuatan hukum yang bahkan melebihi otoritas Qur’an dan Hadits Nabi saw.
Praktik seperti ini sudah sejak lebih dari seabad yang lalu telah terjadi di kalangan kita. Dan keadaan seperti inilah yang, agaknya, dikeluhkan oleh Rasulullah saw. seperti dalam QS. Al-Furqan [25]:30, “…. ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah memperlakukan Qur’an ini sebagai barang yang ditinggalkan.”
Untuk lebih jelasnya, dan sekaligus upaya menyosialisasikan fatwa tersebut, kiranya ada baiknya kalau Surat Keputusan Fatwa tersebut saya paparkan di sini.
Seperti lazimnya sebuah Surat Keputusan, keputusan fatwa MUI tentang Ahmadiyah diawali dengan konsiderasi yang terdiri dari tiga bagian, yakni menimbang (4 butir), mengingat (5 butir), dan memperhatikan (3 butir). Selengkapnya sebagai berikut:
Menimbang: (a) Bahwa sampai saat ini aliran Ahmadiyah terus berupaya untuk mengembangkan pahamnya di Indonesia, walaupun sudah ada fatwa MUI dan telah dilarang keberadaannya; (b) Bahwa upaya pengembangan paham Ahmadiyah tersebut telah menimbulkan keresahan masyarakat; (c) Bahwa sebagian masyarakat meminta penegasan kembali fatwa MUI tentang faham Ahmadiyah sehubungan dengan timbulnya berbagai pendapat dan berbagai reaksi di kalangan masyarakat; (d) Bahwa untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan menjaga kemurnian aqidah Islam, MUI memandang perlu menegaskan kembali fatwa tentang aliran Ahmadiyah.
Mengingat: (1) Firman Allah SWT., Muhammad itu sekali-sekali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi; dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Ahzab [33]: 40). (2) Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa (QS. Al-An’am [6]: 153). Hai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk …. (QS. Al-Maidah [5]: 105). (3) Hadits Nabi S.A.W.; A.l.: Rasulullah bersabda: Tidak ada Nabi sesudahku (HR. al-Bukhari). Rasulullah bersabda: “Kerasulan dan kenabian telah terputus; karena itu tidak ada Rasul maupun Nabi sesudahku (HR Tirmidzi).
Memperhatikan: (1) Keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) Nomor 4 (4/2) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi, pada tanggal 10-16 Rabi’ al-Tsani 1406H./22-28 Desember 1985M tentang aliran Qadiyaniyah, yang antara lain menyatakan; bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qath’i dan disepakati oleh seluruh ulama Islam bahwa Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir. (2) Keputusan Majma’al-Fiqh Rabitha’ Alam Islami. (3) Keputusan Majma’al-Buhuts. (4) Keputusan MUNAS II MUI pada tahun 1980 tentang Ahmadiyah Qadiyaniyah. (5) Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005.
Berdasarkan tiga konsiderasi tersebut, MUI menetapkan keputusannya sebagai berikut:
- Menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).
- Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila-l haqq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadits.
- Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat ibadahnya.
***
Untuk menetapkan seseorang Muslim atau bukan diperlukan kriteria, ukuran atau ketentuan, yang sudah semestinya didasarkan pada Qur’an, sebagai sumber utama dan pertama dari seluruh ajaran dan syariat Islam, dan juga Hadits sebagai sumber kedua. Jika tidak ditemui pada keduanya, barulah Ijtihad, yang kalau hasil ijtihad ini disepakati oleh jumhur ulama menjadi Ijma’, dan yang terakhir adalah Qiyas, yakni analogi terhadap ketentuan Qur’an dan Hadits.
Dalam hal menentukan seseorang Muslim atau bukan, tidak diperlukan Ijma’ atau pun Qiyas — apalagi fatwa — karena ketentuan Qur’an dan Hadits sudah sangat jelas. Dalam QS An-Nisa’ [4]:94, Allah memerintahkan kita, “…. dan janganlah kamu berkata kepada orang yang memberi salam (secara Islam) kepada kamu: Engkau bukanlah orang mukmin.”
Bukan mukmin berarti kafir atau berada di luar Islam. Jadi seseorang yang telah mengucapkan salam secara Islam sudah termasuk mukmin. Ucapan salam yang diajarkan oleh Rasulullah saw. adalah “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”.
Di sejumlah ayat Qur’an juga dikatakan bahwa mukmin adalah yang beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Ayat lain mengatakan beriman kepada Allah, Rasul-rasulnya, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya. Hal ini kemudian dirumuskan menjadi Rukun Iman yang enam itu.
Ketentuan yang dikemukakan dalam Hadits untuk menilai seseorang Muslim atau bukan dirumuskan dalam Rukun Islam, yakni mengucapkan Dua Kalimat Syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji. Jadi untuk menentukan Ahmadiyah kafir, sesat, dan murtad, sudah seharusnya diukur dengan standar Qur’an dan Hadits.
Kemudian yang berkenaan dengan dalil yang membenarkan adanya nabi sesudah Nabi Muhammad saw., dengan redaksi yang berbeda-beda, cukup banyak Hadits Nabi saw. yang memberitahukan kepada kita akan datangnya seorang nabi sesudah Nabi Muhammad saw., yakni Nabi Isa atau Al-Masih Isa ibnu Maryam.
Salah satunya yang tidak diragukan otentisitasnya diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dengan sedikit perbedaan. Dalam Sahih Bukhari Hadits itu berbunyi, “Kaifa antum idza nazalab-nu Maryam fikum wa imamukum minkum (Bagaimana kamu jika Ibnu Maryam turun di dalam (di antara) kamu sebagai imam kamu dari (antara) kamu.” Sebagian besar umat Islam meyakini yang akan datang adalah Nabi Isa a.s. yang sebelum Nabi Muhammad saw. diutus kepada bangsa Israil.
Sampai di sini tuntutan M. Shiddiq Al-Jawi sudah terpenuhi. Dengan kata lain, fatwa MUI tentang Ahmadiyah harus batal demi hukum. Tetapi persoalannya tentu tidak sesederhana itu. Dengan klaim sebagai pewaris para nabi dan demi tanggung jawab kepada umat, nampaknya MUI bisa saja mengajukan klaim baru sebagai mufassir yang otoritatif terhadap ayat-ayat Qur’an dan Hadits Nabi saw.
***
Perbedaan antara Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore adalah persoalan prinsip fundamental akidah Islam. Pemikiran yang dikembangkan oleh Ahmadiyah Lahore adalah bahwa kenabian telah mencapai puncak kesempurnaannya pada diri Nabi Muhammad saw. dan oleh karena itu tidak diperlukan nabi lagi sesudah beliau. Jika ada nabi lagi berarti kenabian Muhammad saw. belum sempurna.
Itulah makanya, Ahmadiyah Lahore juga menolak sikap ambiguitas umat Islam umumnya yang menolak ada nabi sesudah Muhammad saw., tetapi pada saat yang bersamaan menantikan datangnya Nabi Isa. Maka dengan logika yang paling sederhana pun orang akan berkesimpulan bahwa dalam hal ini Ahmadiyah Lahore konsisten dengan QS. Al-Ahzab [33]:40, yang digunakan oleh MUI sebagai landasan pengafiran (takfir) terhadap Ahmadiyah.
Dengan menafikan fakta perbedaan antara Ahmadiyah Qadian dan Lahore, fatwa itu sungguh-sungguh absurd, karena bukan saja tidak ada relevansinya dengan akidah golongan Ahmadiyah aliran Lahore, melainkan juga tampak sangat tendensius, bahkan terkesan sekedar memenuhi pesanan.
QS Al-An’am [6]: 153 (yang dijadikan dalil pada konsiderasi fatwa MUI butir kedua pada bagian mengingat) tidak ada relevansinya untuk dipakai sebagai dasar keputusan fatwa. Kalau dihubungkan dengan dua ayat sebelumnya dalam ruku’ itu, maka yang dimaksud dengan kata-kata “jalan-Ku yang lurus” adalah tidak menyekutukan Allah, berbuat baik kepada kedua orangtua, tidak membunuh anak karena takut melarat, tidak dekat-dekat dengan perbuatan keji, tidak membunuh jiwa yang dilarang oleh Allah kecuali dalam membela keadilan (ayat 151), tidak dekat-dekat pada harta anak yatim kecuali dengan cara yang benar, memenuhi takaran dan timbangan, berkata yang benar sekalipun terhadap keluarga sendiri, dan menepati perjanjian (ayat 152).
Demikian juga QS. Al-Maidah [5]: 105. Ayat ini justru memberi jaminan kepada orang-orang yang mendapat petunjuk tidak akan mendapat mudarat dari orang-orang sesat. Jika pun Ahmadiyah benar-benar sesat, seharusnya tidak perlu takut karena tidak akan memberi mudarat kepada orang-orang yang beriman dan mendapat petunjuk.
Apakah MUI tidak beriman dan tidak mendapat petunjuk sehingga harus takut kepada Ahmadiyah? Tentu tidak begitu. Saya yakin tidak seorang pun yang meragukan keimanan para ulama yang tergabung dalam MUI.
***
Sebagai sebuah surat keputusan yang memiliki konsekuensi hukum, sudah seharusnya fatwa MUI di atas menggunakan kata-kata yang sejelas-jelasnya dan selengkap-lengkapnya. Memang harus diakui ada hal-hal yang secara teknis agak sulit dimasukkan dalam surat keputusan itu, tetapi tetap harus ada penjelasan di luar teks surat keputusan.
Misalnya, soal “pelarangan Ahmadiyah” di bagian “menimbang,” butir (a). Kalau memang pernah ada pelarangan terhadap keberadaan Ahmadiyah, semestinya disebutkan tanggal dan nomor surat pelarangan serta lembaga atau pejabat yang melarang. Lalu soal “keresahan” di butir (b), MUI harus memberikan bukti-bukti atau data-data yang secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan tentang terjadinya keresahan yang ditimbulkan oleh penyebaran paham Ahmadiyah. Tak ketinggalan, soal “sebagian masyarakat” di butir (c), MUI seharusnya memberikan rincian tentang “siapakah” sebagian masyarakat yang meminta penegasan kembali fatwa MUI tentang faham Ahmadiyah tahun 1980 beserta alasannya itu.
Soal dalil pada QS Al-Ahzab ayat 40, sebagaimana dikutip di Bagian mengingat butir (1), Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Lahore) meyakini secara mutlak ayat itu, bahwa Muhammad SAW. adalah penutup para nabi. Keyakinan seperti ini bukan dicetuskan baru-baru ini, melainkan sejak terjadinya perpecahan Ahmadiyah tahun 1914. Bahkan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad pun dalam tulisan-tulisannya menyatakan demikian. Bahwa di kemudian hari ada pengikut beliau yang membuat keyakinan lain, adalah tanggung jawab mereka sendiri.
Lantas berkenaan dengan persoalan di butir (2), tidak akan dijumpai suatu bukti bahwa Ahmadiyah Lahore menyebabkan cerai-berai di kalangan umat Islam. Prinsip yang diikuti dan dijalankan oleh Ahmadiyah Lahore adalah: “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. 2: 256), yakni bahwa Ahmadiyah Lahore menjalankan aktivitas dakwah Islamnya dengan penuh kedamaian. Hal ini diakui, paling tidak, oleh seorang orientalis, H.A.R. Gibb, dalam bukunya Modern Trens in Islam. Tidak pernah ditemui catatan oleh siapa pun bahwa Ahmadiyah Lahore melakukan aktivitas dakwah Islam dengan kekerasan.
Prinsip lain bahwa “Sesungguhnya semua kaum Mukmin adalah saudara” (QS. Al-Hujurat [49]:10. Ahmadiyah Lahore memberikan toleransi yang sebesar-besarnya terhadap perbedaan pendapat dalam masalah keagamaan, lebih-lebih terhadap fiqih. Kepada orang Islam yang bahkan tidak menjalankan syariat Islam pun tidak dimusuhi, apalagi dilempari batu.
Bagi Ahmadiyah Lahore, musuh Islam bukanlah orang, dan bukan pula golongan, melainkan kemusyrikan, kemunafikan, kekafiran, kefasikan, dan seterusnya, yang hal ini bisa berada di dalam hati orang non-Islam dan bisa juga berada di dalam hati orang Islam.
Sikap Ahmadiyah Lahore terhadap masalah fiqih adalah moderat, akomodatif dan toleran. Besarnya toleransi yang diberikan oleh Ahmadiyah Lahore didasarkan pada QS. An-Nisa’ [4]: 94 “Janganlah kamu berkata kepada orang yang memberi salam (secara Islam) kepada kamu: Engkau bukanlah orang beriman.” Prinsip lain lagi bahwa apabila terjadi perselisihan, maka diselesaikan dengan cara dialogis dengan memberikan argumentasi berdasarkan Qur’an dan Hadits. Hal tersebut didasarkan pada perintah Qur’an, “jika terjadi perselisihan dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah atau Hadits).
Ahmadiyah Lahore pantang mengganggu orang yang sedang beribadah, meskipun bukan menyembah Allah. Apalagi kalau mereka menyembah Allah, pasti sangat dihormati. Ahmadiyah Lahore juga pantang merusak tempat ibadah agama apa pun, lebih-lebih masjid, sebagaimana diajarkan oleh QS. Al-Hajj [22]:40.
Kemudian, menanggapi butir (3) dari konsideran fatwa MUI di atas, menurut keyakinan Ahmadiyah Lahore, Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi, karena kenabian telah tertutup pada diri Nabi Muhammad saw. Bahwa ia benar-benar pernah membuat pengakuan sebagai nabi, ini dijelaskannya sendiri bahwa kata itu bukan dalam arti istilah syar’i, melainkan secara metaforis saja. Begitu pun jika masih sulit diterima, ia menyuruh menghapus, dan dianggap tidak pernah ada, setiap kata nabi yang terdapat dalam buku-bukunya dan menggantinya dengan kata muhaddats.
Terlepas dari penjelasan seperti itu, Ahmadiyah Lahore meyakini kemutlakan Nabi Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul terakhir, dan Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi.
Terakhir, mengenai bagian memperhatikan butir (1), Keputusan OKI yang dimaksud MUI itu jelas-jelas menyebut Aliran Qadiyaniyah, yakni yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad. Jadi Ahmadiyah Lahore tidak termasuk di dalamnya.
Seperti halnya pada butir (2) dan (3), semestinya disebutkan pokok-pokok keputusannya seperti pada butir satu sehingga lebih jelas. Kalau tidak, dapat diasumsikan bahwa pada butir (2) dan butir (3) isinya sama dengan butir (1). Jika memang demikian, maka yang diputuskan sebagai murtad dan keluar dari Islam oleh Majma’ a-Fiqh Rabithah Alam Islami dan Majma’al-Buhuts hanyalah Ahmadiyah Qadian, tidak termasuk Ahmadiyah Lahore.
Fatwa MUI tahun 1980 yang menyatakan Ahmadiyah sebagai jama’ah di luar Islam, sesat dan menyesatkan, semata-mata didasarkan atas 9 (sembilan) buku tentang Ahmadiyah. Sembilan buku yang dimaksud tidak disebut sama sekali, baik judul, pengarang, maupun penerbitnya.
Ketika fungsionaris Ahmadiyah Lahore Indonesia yang dipimpin oleh Prof. Dr. H. Ahmad Muhammad bersilaturahmi kepada Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 10 Januari 1981, yang antara lain ingin meminta penjelasan mengenai sembilan buku tentang Ahmadiyah itu, tetapi dengan alasan Buya HAMKA tidak bisa hadir dalam silaturahmi itu, empat petinggi MUI yang ada tidak mau menjelaskan sama sekali, kecuali hanya berjanji untuk menyampaikan masalah itu kepada Buya HAMKA, dan berjanji pula kepada fungsionaris Ahmadiyah Lahore bahwa sewaktu-waktu akan diundang untuk klarifikasi.
Kenyataannya, hingga hari ini belum pernah ada undangan untuk maksud itu. Sementara itu tidak satu ayat Qur’an dan Hadits pun yang mendasari keputusan fatwa itu tahun 1980 itu.
***
Saya menduga, fatwa itu tidak akan berjalan efektif, bahkan kalau pun MUI menggunakan otoritas pemerintah. Pemerintah, dengan pertimbangan politik, memang bisa melarang keberadaan organisasi yang bernama Ahmadiyah, baik Lahore maupun Qadian. Oleh karena Indonesia bukan negara agama (Islam), maka nampaknya di tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara pun tidak akan bersedia mengadili perkara agama, meskipun menurut hemat saya, sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim dan merupakan jumlah terbesar di seluruh dunia, akan menjadi sarana yang sangat bagus bagi proses pembelajaran umat, seperti yang pernah terjadi di Afrika Selatan.
Yang jelas, dalam sejarah perkembangan pemikiran keagamaan, tidak pernah ada yang bisa dilarang oleh siapa pun. Diorganisasikan atau tidak, pemikiran keagamaan akan menyebar bagaikan virus. Boleh jadi, tanpa label “Ahmadiyah,” aliran pemikiran ini justru akan semakin berkembang luas, mengingat pemberian nama Ahmadiyah pun, dalam sejarahnya, merupakan keterpaksaan karena tuntutan keadaan.
Di Eropa dan Amerika, tanpa label Ahmadiyah, Islam bisa diterima dengan baik, meskipun mereka tahu bahwa Islam mereka berasal dari orang-orang Ahmadiyah. Di sisi lain, Ahmadiyah tidak memiliki track record sebagai pembuat kerusakan di muka bumi dengan peledakan bom atau sejenisnya. Dakwah Islam melalui tindak kekerasan dan teror dipastikan tidak akan berhasil. Marilah saling berlomba dalam berbuat kebaikan.[]
Oleh: Mulyono | Sekretaris Pedoman Besar Gerakan Ahmadiyah Indonesia
Comment here