Sejak Islam berdiri di dunia, belum pernah ada fitnah dan percobaan yang menimpa dunia Islam sedemikian besarnya seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Lebih-lebih pada akhir abad 13 Hijriyah atau akhir abad 19 Masehi, dimana fitnah dan percobaan itu mencapai puncaknya.
Asia dan Afrika yang penduduknya sebagian besar memeluk Islam, diserbu dan dikuasai oleh bangsa-bangsa Eropa. Tidak saja kekayaan buminya yang dihisap, bahkan rakyatnya pun ditindas, dijajah dan diperbudak.
Macam-macam tipu muslihat yang mereka gunakan, baik yang halus maupun kasar. “Divide et impera” adalah semboyan yang paling terkenal di zaman penjajahan. Senjata itu mereka gunakan untuk menindas dan menguasai rakyat. Sampai soal agama pun, mereka gunakan sebagai alat.
Di mana pun mereka datang, disebarkannya agama Kristen. Gereja-Gereja dibangun, sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit didirikan, Padri-Padri dan suster-suster didatangkan.
Orang-orang yang masuk Kristen diperlakukan dengan baik dan diberi jaminan hidup yang layak. Akibatnya banyak orang Islam yang kurang kuat imannya tertarik dan mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah Kristen.
Majalah Kristen “The Muslim World” yang terbit pada Juli 1936 menceritakan jumlah umat Islam yang masuk Kristen dengan perantaraan sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit di negara-negara yang sebagian besar penduduknya memeluk Islam, sebagai berikut:
“Di antara negara-negara yang besar pengaruhnya bagi Islam, pulau Jawalah yang banyak menghasilkan pemasukan dalam agama Kristen. Hasil pekerjaan ini terutama diperoleh dengan sekolah-sekolah, yang 80% muridnya terdiri dari anak-anak Islam. Dari tahun 1910 s/d 1925, Gereja Katolik menerima permintaan 10.000 orang Islam yang ingin masuk Kristen” (“The Muslim World” edisi XXVI, Juli 1936, hal. 226).
Sesungguhnya agama Kristen di Eropa tidak mempunyai kekuatan rohani lagi. Sebabnya, masyarakat Eropa memandang agama dan kehidupan sehari-hari sebagai dua lingkungan yang terpisah, yang masing-masing tak ada hubungannya satu sama lain.
Bagi orang-orang Kristen, agama itu terdiri daripada pengakuan serangkaian dogma, menjalankan serangkaian upacara, seperti misalnya mengunjungi Gereja pada tiap-tiap hari Minggu, mengikuti jamuan suci dan sebagainya. Ini sudah mencukupi seluruh lapangan (scope) agama. Di luar tembok Gereja, agama tidak mencampuri urusan sehari-hari.
Dunia Kristen menarik garis pemisah antara urusan agama (Kerk) dan urusan duniawi (Staat). Masing-masing seakan tak ada hubungan satu sama lain. Di satu sisi mereka menjalankan upacara Gereja untuk mencapai keselamatan rohani. Tetapi untuk mencapai keselamatan dunia di sisi lain, orang boleh mengambil alat apa saja, baik jujur atau kotor, dan hal ini tidak dianggap melanggar perintah agama.
Prinsip inilah yang mendatangkan kebejatan moral. Pelanggaran terhadap hak-hak manusia, penipuan, penghisapan, ketidakadilan dan seribu satu kejahatan seperti ini, timbul seperti cendawan.
Mereka berlomba-lomba memupuk KAPITAL. Untuk maksud ini mereka membangun industri-industri. Untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, mereka memeras tenaga buruh.
Untuk menyebarkan hasil produksi yang berlebih-lebihan mereka mencari pasaran di dunia. Negara –negara Asia-Afrika dijadikan pasaran hasil produksinya. Kebutuhan negara-negara Asia Afrika mempunyai cukup bahan mentah yang sangat diperlukan untuk memenuhi kelangsungan industrinya.
Untuk memonopoli bahan mentah dan pasaran hasil produksinya, mereka memperlakukan Asia-Afrika sebagai negara-negara jajahan. Mereka menjalankan politik “devide et impera,” politik “kerstening” (mengkristenkan rakyat), penindasan, kerja paksa dan sebagainya.
Demikianlah kapitalisme dan imperialisme Eropa menjalankan role-nya di negara-negara Asia Afrika sampai bertus-ratus tahun lamanya. Akibatnya, rakyat Asia Afrika yang sebagian besar penduduknya terdiri orang-orang Islam, semakin bertambah melarat, bertambah bodoh, bertambah tipis imannya dan semakin terdesak ke belakang.
Inilah manifestasi fitnah dan percobaan besar yang dialami kaum Muslimin di akhir zaman.
Adalah persamaan kejadian, bahwa di saat-saat bangsa Eropa mendesak dunia Islam dengan segala rencananya untuk menindasnya sama sekali, kitab-kitab Hadits banyak memuat ramalan Nabi Suci tentang fitnah dan percobaan yang akan menimpa kaum Muslimin di akhir zaman: ramalan-ramalan yang tidak menyimpang serambut pun dengan apa yang sekarang sedang dialami oleh kaum Muslimin. Yakni ramalan-ramalan tentang zaman MATERIALISME, sebagai manifestasi fitnahnya DAJJAL dan YA’JUJ WA MA’JUJ.
Akan tetapi pada umumnya kaum Muslimin tidak tahu akan manifestasi daripada ramalan itu. Hanya Mirza Ghulam Ahmad, Mujaddid abad 14 Hijriyah sajalah yang diberitahu oleh Allah tentang rahasia ini.
Secara singkat, beliau menjelaskan bahwa ramalan ini bukan dongeng atau hikayat, melainkan kejadian sungguh-sungguh, yakni penyerbuan bangsa-bangsa Eropa dengan agama Kristennya ke seluruh dunia.
Nabi Muhammad saw. telah dianugerahi penglihatan tajam untuk dapat melihat peristiwa-peristiwa yang akan terjadi 1.300 tahun kemudian sejak masa hidupnya, seolah-olah peristiwa itu tengah terjadi di hadapan mukanya.
Mengingat pentingnya peristiwa ini, diharapkan agar kaum Muslimin tidak lagi bercekcok tentang perbedaan-perbedaan kecil, melainkan menaruh perhatian sebesar-besarnya akan pentingnya perjuangan menghadapi zaman Materialisme, Dajjal dan Ya’juj wa Ma’juj ini.
Secara singkat dapat diutarakan, bahwa DAJJAL dan YA’JUJ wa MA’JUJ adalah bangsa-bangsa Eropa dengan Agama Kristennya.
Adapun MATERIALISME adalah sebuah doktrin yang memandang materi sebagai satu-satunya kenyataan yang benar (the only reality), yang menjadi dasar segala sesuatu yang ada, dan segala apa yang terjadi. Jadi, menurut doktrin ini, dzat yang hakiki, yang kekal dan yang azali itu bukan Allah, melainkan Materi.
Doktrin MATERIALISME inilah yang menyebabkan timbulnya ATHEISME, KAPITALISME dan KOMUNISME. Demikian pula menimbulkan sikap skeptis (ragu-ragu) dan apatis (tidak perduli) akan agama.
Jadi, di zaman MATERIALISME, manusia sebagian besar tidak mengakui adanya Allah. Lebih-lebih dengan pesatnya kemajuan di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan, manusia menganggap dirinya dapat menguasai segala-galanya, dapat menaklukkan alam dan membuat apa-apa yang dikehendakinya.
Dengan demikian, manusia merasa tidak butuh lagi kepada Allah. Bahkan di zaman MATERIALISME ini manusia menjalankan politik konfrontasi dengan agama. Misalnya Karl Marx, yang menuding agama sebagai “candu bagi masyarakat.”
Lebih dari Marx, Lenin berkata: “Setiap ketidakmampuan orang bodoh, yang tidak mengerti hukum alam, menimbulkan kepercayaan dalam jiwanya akan hal-hal gaib yang bohong, seperti misalnya adanya sorga di akhirat. Setiap pikiran tentang agama, setiap pikiran tentang Tuhan, dan setiap sangkaan bahwa Tuhan itu ada, merupakan kejahatan yang paling berbahaya, suatu penyakit yang paling gila. Maka dari itu, Marxisme yang berdasarkan Materialisme sama sekali tidak percaya pada Tuhan, dan dengan tegas serta keras berlawanan dengan semua agama. Marxisme akan memerangi semua agama. Terlebih dahulu agama-agama yang berorganisasi akan dibasmi, dan akhirnya semua agama yang ada di dunia.”
Demikianlah kekafiran manusia di zaman MATERIALISME. Oleh karena bangsa-bangsa Eropa menguasai hampir seluruh dunia, maka pengaruh MATERIALISME inilah pula yang menguasai hampir seluruh dunia.
Sementara itu, ada golongan kecil dari umat kita yang lazim disebut “Kaum Terpelajar”. Mereka meminum susu pendidikan Barat. Sekalipun golongan ini masih mengaku beragama Islam, namun memandang rendah azas-azas agama Islam, seperti shalat, zakat, puasa dan haji.
Mereka berpendapat bahwa hanya Baratlah segala kebajikan, ketinggian, keutamaan, kebesaran dan kebenaran. Baik dan buruk ditentukan menurut ukuran Kebendaan, dan “asal Barat pasti baik.”
Bagi mereka, agama Islam hanya diperlukan diwaktu perkawinan, kematian dan selamatan. Bagi mereka Allah sudah tidak menjadi perhatian lagi.
Sekarang bagaimana mengenai umat Islam sendiri? Keadaan mereka adalah sama seperti yang dilukiskan oleh Nabi Suci tiga belas abad yang lampau dalam setidaknya dua hadits berikut ini:
“Sesungguhnya akan datang kepada manusia suatu zaman yang Islam hanya akan tinggal namanya saja, dan Qur’an hanya tinggal tulisannya. Masjid-masjid mereka memang ramai, tetapi sepi dari petunjuk. Para ulama mereka lebih buruk daripada apa yang ada di kolong langit. Fitnah-fitnah akan timbul dari mereka, dan kepada mereka jua fitnah-fitnah itu kembali” (Misykatul Masyabih, hal. 38).
“Manusia akan bergilingan dalam kekayaan, akan tetapi orang yang tahu akan hukum Islam sedikit sekali. Para khatib di masjid-masjid cerdik dan licik, dan para pembaca Qur’an, suka menipu dan berpura-pura. Mereka memalingkan muka dari agama, dan menguraikan hal-hal keduniaan. Mereka makan dunia bagaikan api memakan kayu. Akan tetapi ingatlah, Neraka pasti menjadi tempat orang-orang ini, karena dalam tempat penyiksaan inilah orang-orang kejam dan lalim akan dilemparkan” (Kanzul-‘Ummal, jilid 5, hal. 217).
Alangkah sesuainya ramalan tersebut dengan keadaan umat Islam sekarang ini: “Islam hanya tinggal namanya.” Memang menurut statistik, jumlah umat Islam masih besar. Akan tetapi mereka hanya namanya saja umat Islam, tetapi jiwanya tidak dihayati oleh Ruh Islam.
Mereka mengerjakan juga syari’at agama, akan tetapi yang dipentingkan hanya bentuk-bentuk lahir dan upacara-upacara saja. Ruh Agama dan angan-angan Allah Yang Hidup, tidak dihiraukan sama sekali.
Mereka menjadi penyembah kubur, penyembah Pir (Ustadz) dan Mullah (Ulama). Kyai-kyai dianggapnya sebagai penguasa agama dan wasilah atau perantara Tuhan. Jubah yang melambai-lambai, sorban yang besar dan tasbih yang panjang, dianggap sebagai tanda atau atribut orang yang dekat dengan Allah.
Lantas, “Qur’an hanya tinggal tulisannya”. Alangkah sesuainya ramalam ini dengan keadaan kita sekarang. Qur’an dibacanya tiap-tiap hari dengan lagu yang merdu. Bahkan di mana-mana diadakan pertandingan baca Al-Qur’an dengan pemberian hadiah bagi para pemenangnya.
Akan tetapi mereka tidak memakainya sebagai pedoman hidup. Jika mereka hendak memperbaiki hidupnya, dicarinya pedoman di luar Al-Qur’an. Keadaan inilah yang dikeluhkan Nabi Suci, sebagaimana terang dalam sabda Al-Qur’an berikut ini:
“Dan Rasul (Muhammad saw.) berkata: Duhai Tuhanku, sesungguhnya kaumku memperlakukan Qur’an ini sebagai barang yang ditinggalkan” (QS 25:30).
Jika umat Islam zaman permulaan menjadi besar karena mereka menggunakan Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya, maka kemunduran dan kemerosotan umat Islam akhir-akhir ini, pasti disebabkan karena mereka meninggalkan Al-Qur’an.
“Masjid-masjid mereka memang ramai, akan tetapi sunyi dari petunjuk”, ramalan ini juga tepat sekali mengisyaratkan masjid-masjid kita sekarang ini. Mereka puas dengan puji-pujian dan wirid-wiridan bahasa Arab, sekalipun mereka tidak mengerti arti maksudnya. Mereka bagaikan burung beo yang menirukan perkataan-perkataan yang ia sendiri tidak mengerti arti maksudnya.
“’Ulama-‘Ulama mereka lebih buruk daripada apa yang ada di kolong langit. Fitnah akan timbul dari mereka, dan kepada mereka fitnah-fitnah itu kembali”. Kata-kata ini dijelaskan oleh Hadits berikutnya.
Bacalah kutipan Hadits tersebut di atas. Kata-kata ini juga mengisyaratkan keadaan para ulama kita sekarang. Jika di zaman Islam permulaan, kaum Muslimin mempunyai lapang dada dan bebas mengeluarkan pendapat-pendapat yang berlain-lainan, para ulama zaman sekarang mudah sekali mengafirkan orang lain, karena berlainan pendapat.
Padahal Nabi Suci sendiri bersabda: “Perbedaan (pendapat) di antara umatku adalah rahmat.”
Jadi, Nabi Suci tidak melarang adanya perbedaan pendapat, bahkan menyebutnya sebagai rakhmat. Alangkah bijaksananya Nabi Suci.
Dengan adanya kebebasan mengemukakan pendapat, umat Islam zaman permulaan terkenal sebagai pelopor dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Orang-orang seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, Ibnu Haitam, Ibnu Bajah, Ibnu Arabi adalah sebagian dari beratus-ratus ulama yang namanya terkenal di seluruh dunia karena penemuan-penemuan dan karya-karyanya yang mengagumkan.
Akan tetapi para ulama zaman sekarang justru malah menutup pintu ijtihad. Akibatnya, umat Islam menjadi semakin mundur dan merosot segala-galanya. Mereka dilarang menggunakan KEMERDEKAAN BERFIKIR. Mereka dianjurkan supaya bertaqlid saja pada para ulama salaf.
Padahal, dimana tak ada kemerdekaan berfikir, di situlah tempat KEJAHILAN dan PERBUDAKAN ROHANI. Perbudakan rohani itu selamanya menyebabkan PERBUDAKAN JASMANI. Dan tidak akan ada kemerdekaan jasmani, jika tidak ada kemerdekaan rohani.
Inilah asal mulanya mengapa umat Islam di seluruh dunia kehilangan kemerdekaan umat dan negerinya. Hal ini disebabkan karena salahnya pimpinan para ulama yang diisyaratkan dalam Hadits tersebut.
Apakah ini bukan fitnah bagi umat Islam zaman sekarang yang kehilangan kehormatan dan kekuasaan di dunia? Fitnah ini, selain karena Dajjal dan Ya’juj wa Ma’juj, terjadi pula karena adanya fatwa para ulama yang buruk-buruk itu. Akibatnya, keburukan fitnah itu kembali kepada para ulama itu sendiri.
Pendek kata, dunia Islam sekarang ini benar-benar menghendaki pembaharuan dan pengembalian kepada kemuliannya yang asli. Ajaib sebesar ajaib, jika Allah tidak memenuhi janjinya.[]
Dinukil dari “Qanun Asasi Gerakan Ahmadiyah Indonesia,” hlm. 40-52
Comment here